Abstrak
Latar belakang: Praktik peresepan yang baik merupakan bagian penting dari penggunaan obat yang rasional. Persentase resep dengan injeksi merupakan salah satu indikator penggunaan obat WHO. Persentase resep dengan injeksi di RS St. Carolus pada tahun 2016 mencapai 56%. Hasil ini lebih tinggi dari yang direkomendasikan. Hal ini menimbulkan pertanyaan faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan peresepan obat injeksi. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran penggunaan obat injeksi dan pengendalian penggunaannya, serta penerapan kebijakan tentang obat injeksi di Unit Rawat Inap RS St. Carolus. Metode: Penelitian ini merupakan studi kuantitatif dengan metode cross-sectional dan studi kualitatif deskriptif. Penggalian informasi lebih lanjut dilakukan dengan melakukan penelitian kualitatif untuk melengkapi penelitian kuantitatif. Hasil: Faktor-faktor yang berhubungan dengan peresepan injeksi secara statistik adalah diagnosis serta panduan praktik klinis (PPK) dan clinical pathway (CP). Kebijakan Pelayanan Farmasi RS St. Carolus tidak membahas secara khusus mengenai pengendalian obat injeksi. Sosialisasi kebijakan ini pun belum optimal, begitu pula dengan sosialisasi PPK dan CP. Tenaga apoteker klinis yang ada belum mencukupi kebutuhan. Peran Panitia Farmasi dan Terapi di RSSC saat ini lebih kepada sistem formularium. Kesimpulan: Persentase pasien rawat inap RS St. Carolus periode Januari- Maret 2019 yang diresepkan obat dengan sediaan injeksi sebesar 85.7%. Kebijakan penggunaan obat injeksi yang ada saat ini tercantum dalam Kebijakan Pelayanan Farmasi, dimana didalamnya hanya terdapat prosedur peresepan. Tidak ada kebijakan khusus penggunaan obat injeksi. Prosedur pengendalian obat yang tertuang dalam kebijakan atau pedoman belum dimiliki oleh RS St. Carolus. Oleh karena itu diperlukan kombinasi intervensi dalam bentuk kebijakan dan edukasi untuk mengendalikan penggunaan obat injeksi di Unit Rawat Inap RS. St. Carolus.