Abstrak
Pada tahun 2022, kasus kematian akibat rabies (Lyssa) di Kabupaten Buleleng, Bali, meningkat sebanyak 1.200%. Rabies dapat menyerang manusia di berbagai umur dan jenis kelamin serta hewan berdarah panas. Namun, belum ada cara pengobatan yang ditemukan untuk penyakit ini baik pada manusia maupun hewan. Gejala klinis rabies selalu berujung pada kematian. Mengingat tingginya ancaman rabies terhadap kesehatan dan ketentraman masyarakat, diperlukan upaya pencegahan dan pengendalian penyakit ini secara intensif. Untuk merencanakan program penanganan rabies yang lebih efektif di Kabupaten Buleleng, sebuah penelitian dilakukan dengan fokus pada perilaku pasien lyssa dalam kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara mendalam dan telaah dokumen. Hasil penelitian menunjukkan perilaku pasien lyssa yang sebagian besar adalah kurangnya pelaporan kepada fasilitas kesehatan setelah digigit hewan dan pengobatan luka sendiri tanpa mengikuti prosedur yang benar. Peran pemerintah dalam implementasi Surveilans Berbasis Masyarakat dinilai belum optimal. Komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai penanganan GHPR juga belum dilakukan secara memadai oleh tenaga kesehatan dari Dinas Kesehatan dan puskesmas setempat, meskipun telah ada kerja sama dengan Dinas Pertanian Kabupaten Buleleng. Faktor sikap, kepercayaan, dan pengetahuan berpengaruh terhadap perilaku pasien lyssa, sedangkan faktor ketersediaan dan keterjangkauan fasilitas pelayanan kesehatan sudah memadai tetapi bukan menjadi faktor yang berpengaruh terhadap perilaku pasien. Meskipun telah ada anjuran dari tenaga kesehatan, Dinas Pertanian, dan tokoh masyarakat, serta media penyuluhan, faktor penguat ini belum optimal dalam memengaruhi perilaku pasien lyssa dalam meninjaklanjuti GHPR.
In 2022, cases of death due to rabies (Lyssa) in Buleleng Regency, Bali, increased by 1,200%. Rabies can affect humans of various ages and genders, as well as warm-blooded animals. However, there is still no discovered treatment for this disease, both in humans and animals. Clinical symptoms of rabies invariably lead to death. Given the significant threat of rabies to public health and tranquility, intensive efforts are required for prevention and control of this disease. To design a more effective rabies management program in Buleleng Regency, a study focused on the behavior of lyssa patients in cases of Rabies Transmitting Animal Bites (GHPR) was conducted. This study used a qualitative approach with in-depth interviews and document analysis as methods. The research findings indicate lyssa patients' behaviors, mostly involving underreporting to healthcare facilities after being bitten by animals and self-treatment of wounds without proper procedures. The government's role in implementing Community-Based Surveillance is considered suboptimal. Communication, information, and education regarding GHPR handling have also not been adequately conducted by health professionals from the Health Department and local health centers, despite collaborations with the Agriculture Department of Buleleng Regency. Attitude, belief, and knowledge influence lyssa patients' behaviors, while the availability and accessibility of healthcare facilities are sufficient but not influencing factors. Although recommendations from healthcare workers, the Agriculture Department, community leaders, and educational media exist, these reinforcement factors have not yet optimally impacted lyssa patients' behavior in response to GHPR.