Paparan debu yang tinggi di lingkungan kerja, terutama debu PM2,5, dapat meningkatkan risiko gangguan pernapasan pada pekerja. PT X sebagai produsen pupuk memiliki potensi paparan debu yang cukup tinggi, terutama pada tahap-tahap proses produksinya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara konsentrasi paparan debu PM2,5 dengan gejala gangguan saluran pernapasan pada pekerja pabrik pupuk NPK Granulasi. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan melibatkan 96 responden yang tersebar di tiga pabrik, yaitu NPK II, III, dan IV. Variabel independen meliputi konsentrasi PM2,5, durasi paparan, usia, masa kerja, riwayat penyakit pernapasan, kebiasaan merokok, dan penggunaan alat pelindung diri (APD), sedangkan variabel dependen adalah gejala gangguan saluran pernapasan. Pengumpulan data dilakukan melalui dua metode, untuk konsentrasi PM2,5 diukur menggunakan alat DustTrak, sedangkan data mengenai variabel lain seperti durasi paparan, usia, masa kerja, riwayat penyakit pernapasan, kebiasaan merokok, penggunaan APD, dan gejala gangguan pernapasan diperoleh melalui kuesioner yang diisi oleh responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi PM2,5 di ketiga pabrik melebihi Nilai Ambang Batas (NAB) yang ditetapkan berdasarkan Permenkes No. 70 Tahun 2016. Selain itu, ditemukan bahwa 59,4% responden mengalami gejala gangguan saluran pernapasan, yang menandakan adanya potensi bahaya terhadap kesehatan pekerja. Namun, dari seluruh variabel yang dianalisis, hanya kebiasaan merokok yang menunjukkan hubungan yang signifikan dengan gejala gangguan saluran pernapasan (p = 0,003). Sementara itu, variabel lain seperti konsentrasi PM2,5, durasi paparan, usia, masa kerja, riwayat penyakit pernapasan, dan penggunaan APD tidak menunjukkan hubungan yang signifikan secara statistik. Berdasarkan temuan ini, dapat disimpulkan bahwa kebiasaan merokok merupakan faktor risiko utama yang berhubungan dengan gangguan saluran pernapasan pada pekerja. Meski demikian, fakta bahwa konsentrasi PM2,5 melebihi NAB menunjukkan bahwa lingkungan kerja tetap mengandung risiko yang perlu ditangani secara serius. Oleh karena itu, PT X perlu memperkuat upaya edukasi dan pengendalian terhadap kebiasaan merokok di lingkungan kerja. Selain itu, pemantauan rutin terhadap paparan debu PM2,5 dan pengawasan ketat terhadap kepatuhan penggunaan APD perlu terus dilakukan secara konsisten, guna mencegah risiko kesehatan lainnya.
High dust exposure in the workplace, particularly PM2.5 dust, can increase the risk of respiratory disorders among workers. PT X, as a fertilizer manufacturer, has a high potential for dust exposure, especially during several stages of the production process. This study aims to analyze the relationship between PM2.5 dust concentration and respiratory symptoms among workers at the NPK Granulation fertilizer plant. This research employed a cross-sectional design involving 96 respondents from three factories: NPK II, III, and IV. The independent variables included PM2.5 5 concentration, duration of exposure, age, length of employment, history of respiratory illness, smoking habits, and the use of personal protective equipment (PPE). The dependent variable was the presence of respiratory symptoms. Data collection was carried out using two methods: PM2.5 concentration was measured with a DustTrak device, while information on other variables including exposure duration, age, work history, respiratory illness history, smoking habits, PPE use, and respiratory symptoms was gathered through a questionnaire completed by the respondents. The results showed that PM2.5 concentrations in all three plants exceeded the Threshold Limit Value (TLV) set by the Indonesian Ministry of Health Regulation No. 70 of 2016. Furthermore, 59.4% of the respondents reported experiencing respiratory symptoms, indicating a potential health hazard for workers. However, among all the variables analyzed, only smoking habits showed a statistically significant association with respiratory symptoms (p = 0.003). Other variables, such as PM2.5 concentration, exposure duration, age, length of employment, history of respiratory illness, and use of PPE, did not demonstrate a significant statistical relationship. Based on these findings, it can be concluded that smoking habits are the primary risk factor associated with respiratory disorders among workers. Nevertheless, the fact that PM2.5 levels exceeded the TLV highlights that the work environment still poses a serious health risk. Therefore, PT X should strengthen its efforts in smoking control and education within the workplace. In addition, regular monitoring of PM2.5 dust exposure and strict supervision of PPE compliance must be consistently enforced to prevent other potential health risks.