Ditemukan 28414 dokumen yang sesuai dengan query :: Simpan CSV
Muhammad Jaini, Ratna Setyaningrum, Rudi Fakhriadi
JPKMI Vol.1, No.1
Banjarbaru : FK Universitas Lambung Mangkurat - IAKMI, 2014
Indeks Artikel Jurnal-Majalah Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
☉
Aisya Noor Ghaida ; Pemibmbing; Budi Hartono; Penguji: Ririn Arminsih Wulandari, Heri Nugroho
Abstrak:
Read More
Sick Building Syndrome (SBS) merupakan kumpulan gejala yang dialami individu akibat paparan lingkungan dalam ruang yang tidak sehat, termasuk kualitas udara yang buruk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara parameter kualitas udara dalam ruang—meliputi konsentrasi kapang, suhu, dan kelembapan relatif—dengan kejadian SBS pada pengguna laboratorium di Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Sebanyak 86 responden dari lima laboratorium berpartisipasi, dengan karakteristik mayoritas berusia 20–24 tahun dan memiliki waktu paparan lebih dari 4 jam per hari di laboratorium. Pengukuran parameter lingkungan dilakukan di 10 titik, mencakup dua titik per laboratorium, dan data gejala SBS dikumpulkan melalui kuesioner. Uji Chi-Square menunjukkan bahwa 77,9% responden mengalami gejala SBS, namun tidak terdapat hubungan signifikan antara parameter lingkungan yang diuji dan kejadian SBS. Nilai p untuk kapang, suhu, dan kelembapan berturut-turut adalah 0,877; 0,705; dan 0,795. Meskipun tidak signifikan secara statistik, beberapa rasio odds menunjukkan kecenderungan risiko. Temuan ini menekankan pentingnya pengelolaan kualitas udara dalam ruang di lingkungan akademik untuk mengurangi potensi risiko kesehatan jangka panjang.
Sick Building Syndrome (SBS) refers to a set of symptoms experienced by individuals due to prolonged exposure to poor indoor environmental conditions, including substandard air quality. This study aimed to assess the relationship between indoor air quality parameters—mold concentration, temperature, and relative humidity—and the occurrence of SBS among laboratory users at the Faculty of Engineering, Universitas Indonesia. A total of 86 respondents participated, primarily aged 20–24 years, with most spending over four hours daily in laboratory spaces. Environmental measurements were taken from 10 sampling points, covering two points in each of the five laboratories. SBS symptoms were collected through structured questionnaires. Chi-square analysis revealed that 77.9% of respondents reported experiencing SBS symptoms. However, no statistically significant association was found between the tested environmental parameters and SBS occurrence, with p-values of 0.877 for mold, 0.705 for temperature, and 0.795 for humidity. Although not statistically significant, several odds ratios indicated a potential risk trend. These findings highlight the importance of maintaining healthy indoor air quality in academic laboratory environments to mitigate potential long-term health effects among occupants.
Sick Building Syndrome (SBS) refers to a set of symptoms experienced by individuals due to prolonged exposure to poor indoor environmental conditions, including substandard air quality. This study aimed to assess the relationship between indoor air quality parameters—mold concentration, temperature, and relative humidity—and the occurrence of SBS among laboratory users at the Faculty of Engineering, Universitas Indonesia. A total of 86 respondents participated, primarily aged 20–24 years, with most spending over four hours daily in laboratory spaces. Environmental measurements were taken from 10 sampling points, covering two points in each of the five laboratories. SBS symptoms were collected through structured questionnaires. Chi-square analysis revealed that 77.9% of respondents reported experiencing SBS symptoms. However, no statistically significant association was found between the tested environmental parameters and SBS occurrence, with p-values of 0.877 for mold, 0.705 for temperature, and 0.795 for humidity. Although not statistically significant, several odds ratios indicated a potential risk trend. These findings highlight the importance of maintaining healthy indoor air quality in academic laboratory environments to mitigate potential long-term health effects among occupants.
S-12050
Depok : FKM-UI, 2025
S1 - Skripsi Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
☉
Oke Ila Lia Yuliyanti; Pembimbing: Dewi Susanna; Penguji: Laila Fitria, Ririn Arminsih Wulandari, Ony Linda, Aria Kusuma
Abstrak:
Read More
Sick Building Syndrome (SBS) adalah penyakit yang disebabkan oleh kondisi kerja yang tidak sehat. Keluhan iritasi selaput lendir, kelelahan, dan sakit kepala membaik saat bekerja di dalam gedung dan hilang sepenuhnya saat meninggalkan gedung. Kualitas udara merupakan masalah penting bagi orang-orang yang bekerja di industri dan perkantoran dan menghabiskan banyak waktu di dalam ruangan. Kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi oleh sistem ventilasi dan akumulasi polutan udara dari lingkungan dalam dan luar ruangan. Hasil survey pada karyawan universitas dari 152 responden, 56 responden (36,8%) yang mengalami kasus SBS. Responden wanita, berusia antara 21-30 tahun, bekerja kurang dari sama dengan 5 tahun (38,5%), tidak mempunyai kebiasaan merokok dalam ruangan (37,2%) dan mempunyai kondisi psikososial yang baik (37%) adalah responden yang berisiko paling tinggi. Setiap harinya semua kegiatan di Univertas swasta dilakukan selama ≥ 8 jam di ruangan tertutup yang menggunakan AC. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kualitas fisik udara dengan kejadian Sick Building Syndrome (SBS) di salah satu Universitas Swasta Jakarta 2024. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross-sectional dan menggunakaan pengukuran kualitas udara. Hasil analisis bivariat dengan uji chi-square didapatkan bahwa variabel yang berhubungan dengan kejadian keluhan gejala SBS yaitu usia (nilai p = 0,035; POR = 0,778; 95% CI = 0,265-2,280), masa kerja (p = 0,000; POR = 0,948; 95% CI = 0,370-2,427), dan pencahyaan (p = 0,000; POR = 0,881; 95% CI = 0,296-2,622). Sedangkan variabel yang tidak berhubungan secara signifikan dengan kejadian keluhan SBS yaitu jenis kelamin (p = 4,223) dan lama kerja (p = 1,101. Kampus diharapkan menyelenggarakan sesi penyuluhan atau pelatihan mengenai gejala-gejala Sick Building Syndrome (SBS) dan cara-cara pencegahannya. Staf dan dosen yang lebih sadar akan kualitas udara dan dampaknya dapat lebih mudah mengenali masalah kesehatan yang mungkin muncul.
Sick Building Syndrome (SBS) is an illness caused by unhealthy working conditions. Complaints of mucous membrane irritation, fatigue and headaches improve when working in the building and disappear completely when leaving the building. Air quality is an important issue for people who work in industries and offices and spend a lot of time indoors. Indoor air quality is affected by ventilation systems and the accumulation of air pollutants from indoor and outdoor environments. Survey results on university employees out of 152 respondents, 56 respondents (36.8%) experienced SBS cases. Female respondents, aged between 21-30 years, working less than equal to 5 years (38.5%), do not have a habit of smoking indoors (37.2%) and have good psychosocial conditions (37%) are respondents who are at highest risk. Every day all activities in private universities are carried out for ≥ 8 hours in closed rooms that use air conditioning. This study aims to analyse the relationship between physical air quality and the incidence of Sick Building Syndrome (SBS) at a private university in Jakarta 2024. This study is a quantitative study with a cross-sectional design and uses air quality measurements. The results of bivariate analysis with the chi-square test found that the variables associated with the incidence of complaints of SBS symptoms are age (p value = 0.035; POR = 0.778; 95% CI = 0.265-2.280), tenure (p = 0.000; POR = 0.948; 95% CI = 0.370-2.427), and lighting (p = 0.000; POR = 0.881; 95% CI = 0.296-2.622). Meanwhile, variables that were not significantly associated with the incidence of SBS complaints were gender (p = 4.223) and length of employment (p = 1.101). The campus is expected to organise counselling or training sessions on the symptoms of Sick Building Syndrome (SBS) and ways to prevent it. Staff and lecturers who are more aware of air quality and its impact can more easily recognise health problems that may arise.
T-7363
Depok : FKM-UI, 2025
S2 - Tesis Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
☉
Muhamad Ratodi, Tien Zubaidah, Lenie Marline
HSJI Vol. 8, No. 2
Jakarta : Lembaga Penerbit Balitbangkes NIHRD, 2017
Indeks Artikel Jurnal-Majalah Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
☉
Rachma Aditria Suci; Pembimbing: Ririn Arminsih Wulandari; Penguji: Budi Haryanto, Sari Hasanah
Abstrak:
Sick Building Syndrome (SBS) merupakan salah satu masalah yang sering dialami oleh penghuni di gedung perkantoran. SBS dapat disebabkan karena kualitas udara dalam ruang dan karakteristik individu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara jumlah total koloni bakteri di udara dalam ruang dengan kejadian SBS di Arsip Nasional Republik Indonesia. Digunakan desain studi cross sectional, variabel independen yaitu jumlah total koloni, variabel confounding yaitu suhu, kelembaban relatif, pencahayaan, usia, jenis kelamin, masa kerja, riwayat alergi dan kebiasaan merokok. Analisis statistik memberikan hasil proporsi kejadian SBS pada pegawai di Arsip Nasional Republik Indonesia Tahun 2019 sebesar 60%. Dari 9 variabel yang diuji, hanya variabel usia (OR= 0,43; 95%CI= 0,189-0,969) yang berhubungan signifikan secara statistik.
Kata kunci: Sick Building Syndrome, Bakteri, Kualitas Udara dalam Ruang
Read More
Kata kunci: Sick Building Syndrome, Bakteri, Kualitas Udara dalam Ruang
S-10029
Depok : FKM UI, 2019
S1 - Skripsi Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
☉
Nur Annisa Sophianingrum; Pembimbing: Haryoto Kusnoputranto; Penguji: Al Asyary, Cucu Cakrawati Kosim
Abstrak:
Sick Building Syndrome (SBS) adalah kejadian timbulnya sejumlah gejala akut mirip alergi yang dirasakan individu dalam suatu gedung dan akan berangsur menghilang setelah meninggalkan gedung. Penghuni apartemen adalah kelompok yang rentan, terutama selama melaksanakan Work From Home (WFH). Tujuan penelitian adalah menganalisis hubungan antara WFH dan variabel lainnya dengan kejadian SBS pada penghuni apartemen di Jakarta Selatan. Penelitian menggunakan desain cross-sectional dengan jumlah sampel 152. Variabel independen adalah waktu dalam rumah per hari, usia, jenis kelamin, riwayat penyakit, kondisi unit, lokasi apartemen, suhu, ventilasi alami, ventilasi mekanik, ETS, merokok aktif, memasak dalam rumah, membersihkan rumah, dan menggunakan bahan kimia. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 71,7% responden mengalami SBS, dengan gejala umum paling banyak dialami. Uji chi-square menunjukkan WFH tidak berhubungan dengan kejadian SBS (p=0,66), namun berhubungan dengan gejala membran mukosa (p=0,032; OR=2,33) dan kulit (p=0,008; OR=3,27). Variabel yang berhubungan dengan SBS adalah suhu (p=0,012), ventilasi mekanik (p=0,032), jenis kelamin (p=0,027), riwayat penyakit (p=0,024), dan membersihkan rumah (p=0,011). Disimpulkan bahwa WFH tidak berhubungan dengan kejadian SBS, namun berhubungan dengan gejala SBS spesifik. Sedangkan faktor karakteristik individu, perilaku, dan kualitas udara dalam ruangan (KUDR) berhubungan dengan SBS. Perlu dilakukan perawatan ventilasi dan pembersihan unit apartemen secara rutin untuk menjaga KUDR dan mencegah SBS. <hr Sick Building Syndrome (SBS) is several acute allergy-like symptoms experienced by individuals in a building and gradually disappear after leaving the building. Apartment occupants are vulnerable group, especially when doing Work From Home (WFH). The purpose of this study was to analyze the relationship between WFH and other variables with SBS among apartment residents in South Jakarta. This study used cross-sectional design with 152 samples. Independent variables in this study were time spent in house daily, age, gender, history of illness, unit condition, apartment location, temperature, natural ventilation, mechanical ventilation, ETS, smoking, indoor cooking, house cleaning, and using chemical products. Results showed 71.7% respondents experienced SBS, with general symptoms being the most prevalent. Chi-square test showed WFH had no relationship with SBS (p=0.66) but was associated with mucous membranes (p=0.032; OR=2.33) and skin (p=0.008; OR=3.27) symptoms. Variables related with SBS were temperature (p=0.012), mechanical ventilation (p=0.032), gender (p=0.027), history of illness (p=0.024), and house cleaning (p=0.011). In conclusion, WFH is not related with SBS, but is related with specific SBS symptoms. Individual characteristics, behavior, and IAQ factors are related with SBS. It is necessary to do ventilations maintenance and clean the units daily to maintain good IAQ and prevent SBS.
Read More
S-11050
Depok : FKMUI, 2022
S1 - Skripsi Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
☉
Duniantri Wenang Sari; Pembimbing: Mila Tejamaya; Penguji: Fatma Lestari, Eko Pudjadi
S-5625
Depok : FKM UI, 2009
S1 - Skripsi Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
☉
Fitri Amalia; Pembimbing: Fatma Lestari; Penguji: Mila Tejamaya, Eko Pudjadi
S-5800
Depok : FKM UI, 2009
S1 - Skripsi Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
☉
Yuli Yuliastri; Pembimbing: Erwandi, Dadan
M-1764
[s.l.] :
[s.n.] :
s.a.]
D3 - Laporan Magang Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
☉
Bunga Oktora; Pembimbing: Haryoto Kusnoputranto; Penguji: Laila Fitria, Ary Hikmasari
S-5436
Depok : FKM-UI, 2008
S1 - Skripsi Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
☉
