Ditemukan 41424 dokumen yang sesuai dengan query :: Simpan CSV
Menyadari semakin terbatasnya kemampuan pemerintah utamanya dalam hal pembiayaan, maka berkembanglah konsep kemitraan dengan swasta dalam pembangunan kesehatan di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian kasus yang dilakukan di RSUD "X" yang bermitra dengan pihak swasta. Pengumpulan data dilakukan dengan 2 cara yaitu secara kuantitatif dengan mencatat data keuangan yang ada dan kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam dengan informan terpilih. Perhitungan biaya di PKS dilakukan dengan dua cara yaitu Full Cost (menghitung biaya yang seharusnya dikeluarkan oleh PKS) dan Variabel Cost (menghitung biaya yang benar-benar dikeluarkan oleh oleh PKS).Hasil Penelitian menunjukkan bahwa kemitraan yang dijalin antara RSUD "X" dengan pihak swasta dalam membangun gedung rawat inap dengan fasilitas VIP (PKS) adalah dengan sistem B.0.T yaitu bagi hasil selama 10 tahun dari hasil sewa kamar dengan formula 60% pihak swasta dan 40% pihak RSUD "X". Pengelolaan PKS dilakukan oleh Koperasi Pegawai RSUD "X".Dari penelusuran biaya pada tahun 2001 diperoleh bahwa biaya total di PKS pada tahun 2001 adalah sebesar Rp. 2.912.323.106,-(Full Cost) dan Rp.2.225.133.800,-(Variabel Cost). Biaya terbesar di PKS adalah biaya operasional yaitu sebesar 80,91% dari seluruh biaya yang ada(Full Cost). Sedangkan biaya operasional terbesar adalah untuk alokasi biaya personil yaitu 53,35% dari total biaya operasional yang ada. Total pendapatan PKS pada tahun 2001 adalah Rp.2.894.887.000,-. Adapun CRR PKS tahun 2001 adalah 99,40% (Full Cost) dan 130,10% (Variabel Cost). Pada tahun 2001 PKS tidak menghasilkan SHU atau PKS dalam keadaan defisit yaitu sebesar (Rp.I7.436.106,-) (Full Cost). Tetapi apabila dihitung secara Direct Cost, PKS mendapatkan SHU sebesar Rp.669.753,200,-.Dari hasil wawancara mendalam diperoleh informasi bahwa PKS tidak melakukan subsisdi silang kepada RSUD "X". Trend pendapatan dan pengeluaran PKS sejak mulai didirikan sampai tahun 2001 terlihat relatif meningkat baik yang dihitung secara current price maupun constant price. Dari hasil forecasting selama 10 tahun (1996-2005) menunjukkan bahwa dari kemitraan tersebut, pihak investor mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 872.849.930,- sedangkan pihak RSUD "X" mengalami kerugian sebesar Rp.3.108.259.938,-.Dengan melihat hasil forecasting dapat diketahui bahwa investor swasta merupakan pihak yang paling diuntungkan dalam kemitraan tersebut. Dan pemerintah dalam hal ini RSUD "X" merupakan pihak yang dirugikan. Salah satu harapan dalam kerjasama atau kemitraan dengan swasta di lingkungan RSUD "X" adalah terwujudnya subsidi silang dari PKS kepada RSUD "X" , namun dalam kenyataannya subsidi silang tersebut lama sekali tidak terwujud.
Government-Private Partnership in Hospital Services in Financing and Cross Subsidy Perspective (Case Study in Hospital "X")Constraints of the government to finance healthcare services had ignited the concept of government - private sector partnership in hospital services. This study is a case study in a district government hospital "Z" which had started partnering with private sector in developing a new in-patient hospital service (PKS). Data collection has been done using quantitative data collection and qualitatively explored using in-depth interviews with selected informants. Cost calculations in PKS were done using two methods: full cost (calculating the costs that should have been borne by PKS) and direct cost (calculating the costs that has actually been borne by PKS).The partnership of this district hospital with private sector took place in the form of private sector build a new VIP in-patient building using BOT arrangement for 10 years period. Revenue from bed usage will be divided 60% to the private investor and 40% to the hospital. The cost of PKS services in 2001 was Rp. 2,912,323,106 (full cost) and Rp. 2,225,133,800 (direct cost). Operating cost has the highest share of the total cost (full cost). Within the operating cost category, staff cost ranks first with 53.35%.Total revenue of PKS in 2001 was Rp 2,894,887,000. Cost Recovery Rate of the PKS in 2001 was 99.40% (full cost) and 130.10% (direct cost). PKS in the year 2001 was deficit (Rp. 17, 436, 106,-) (full cost). But if calculation by direct cost, PKS gain profit Rp. 669,753,200).From the in-depth interview, it was found that cross subsidy was not take place from PKS to the hospital. Trends of the revenue and costs of PKS from its beginning to 2001 were found increasing both in current and constant price. From forecasting, for a period of 10 years (1996-2005), it was found that from this partnership private investor will gain Rp. 872,849,930,- and the hospital would loose Rp. 3,108,259,938.From the forecasting, it was found that the private investor will gain benefit from this partnership while the hospital will not. One of the reasons from the development of government-private partnership in this hospital is to provide cross subsidy from the PKS to the hospital. However, this notion has not been realized so far.
Jumlah keseluruhan dana kesehalan yang ada di Kota Banda Aceh pasca Tsunami 2004 sang/at banyak dan terus mcngalami peningkatan dari tahun 2005 s/d 2007 terutama yang berasal dari Pemerintah. Pada kenyataannya dana tersebut belum merata pendistxibusiannya dalam mencakup keseluruhan program. Hal ini dapat diiihat dari Laporan Tahunan Dinkes Kota Banda Aceh tahun 2005 s/d 2007, dimana jumlah kasus penyakit menuiar masih tinggi padahal dari Laporan Realisasi Anggaran ternyata masih ada danasiaayang belum nabisdismp. Penelitian ini bertujuan untuk mendapat gambaran pcndanaan kesehatan melalui institusi kesehatan di Kota Banda Aceh, berdasarkan sumber pendanaan, pengelola dana, penyedia pelayanan, fungsi peiayanan, mata anggaran dan penerima manfaat dari tiap kegiatan kesehalan untuk tahun anggaran 2006-2007. Ruang lingkup penelitian dilakukan di Kota Banda Aceh meliputi Dinas Kesehatan dan RSU meuraxa, yang kesemuanya bersumber dari sektor publik.Pcngumpulan data dilakukan dengan kajian dokumen dan melakukan wawancara mendalam dengan informan terpilih. Hasil studi ini menunjukkan bahwa jumiah pendanaan total sektor keschatan cenderung meningkat dan jumlah pcndanaan perkapita di Kota Banda Aceh telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Depkes R.I, dan standar Bank Dunia (1993), tetapi belum mencukupi jika diiihat dari standar yang ditetapkan oleh WHO. Walaupun jumlah dana yang direalisasikan di sektor kesehatan cenderung meningkat, tetapi dalam penggunaan dana di tiap kegiatan kesehatan masih kurang tepat sasaran. Dimana dana yang ada, temyata dalazn penggunaannya lcbih besar digunakan untuk membayar gaji dan honor petugas serta untuk keperluan pengadaan pcralatan dan perlengkapan kantor. Di dalam tiap kegiatan pembangunan kesehatan yang dilaksanakan oleh tiap subdin, belum terkoordinasi dengan baik kamna tidak adanya program prioritas yang ditetapkan oleh pengambil kebijakan di tingkat dinkes dan RS, sehingga terkesan tiap kegiatan yang dilaksanakan kurang terkoordinasi dan kurang sampai ke masyarakat. Disarankan kepada Pemerintah Kota, Bappeda dan DPRK Kota Banda Aceh, dalam menetapkan kebijakan alokasi anggamn supaya berdasarkan atas sektor-sektor prioritas daerah yang telah ditctapkan dalam RPJM, sehingga' selctor kesehatan yang menjadi salah satu sektor prioritas daerah mendapatkan proporsi pendanaan yang mcmadai. Dan kepada Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit Meuraxa Kota Banda Aceh agar dalam melakukan penyusunan pengalokasian dana kesehatan, lebih men gutamakan kegiatan-kegiatan pembangunan kesehatan yang membed banyak manfaat kepada masyarakat.
The total health financing in Banda Aceh City after Tsunami in 2004 was abundant and getting increase from 2005 to 2007, mostly fiom govemment. In fact, the fimd was still not evenly distributed to cover all of programs. Banda Aceh City Health District Annual Report’s 2005-2007 showed that communicable disease cases were stili high although in Budget Realization Report was a rest ofthe fund that has not been spent yet. The research was aimed to desribe health financing through health institution in Banda Aceh City, based on financing sources, financing agent , provider, function, line item budgeting and beneiiciaries Hom every health -programs in 2006-2007 budget years.'l'he research was conducted in Health District oiiice and Meuraxa Public Hospital Banda Aceh City, whose the hind resource were from public sector and employed basic realizationof alocation. Data were collected by documentation study and depth interview with selected informant. The result showed 1.hat the number of health sector financing tend to increase and _ the number of per capita iinancing in Banda Aceh City has met the standar determined by Health Department R.I. and the standar of World Bank (1993), but hasn’t met standar determined by WHO. However, eventhough realization ofthe Iinancing tend to increase in health sector, fund utilization in every health program was still not addressed its target. The vast majority of available timd was spent on the oiiicer wage and incentive and office equipments. Health development conducted by every sub office was still not well coordinated due to there no priority of the program determined by policy maker in every health department and hospital hierarchy, so that it seemed as though every program in coordination and less to touch the society. It is suggested to City Government, the institution of development plan and parliament of Banda Aceh City in speciiying policy of allocation health financing that based on to area preference sectors which has been specified in RPJM, so that health sector gets proportion of adequate financing. And to Public Health Service and Hospital Meuraxa Banda Aceh City in expection of -doing compilation of allocation health financing, more majoringly development activitys of health giving many benefits to public.
Dalarn era desentralisasi, bidang kesehatan menjadi sepenuhnya kewenangan dan tanggung jawab Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan pembangunannya untuk mencapai peningkatan derajat kesehatan masyarakat di wilayahnya. Sebagai konsekwensinya pemerintah Kabupaten/Kota harus menyusun kebijakan dalam upaya pembangunan kesehatan, termasuk di dalamnya kebijakan pembiayaan kesehatan yang bersurnber dari pemerintah. Sistem pembiayaan kesehatan di daerah perlu dikembangkan agar isu pokok dalam pembiayaan kesehatan daerah, yaitu mobilisasi, alokasi dan efisiensi pembiayaan dapat terselenggara dengan baik sehingga menjamin pemerataan. mutu, efisiensi dan kesinambungan pembangunan kesehatan daerah. Tersedianya data tentang pembiayaan kesehatan menjadi sangat penting karena sangat mempengaruhi proses pembuatan keputusan untuk penentuan kebijakan dan strategi pembiayaan kesehatan daerah. Sampai saat ini belum pernah dilakukan analisis pembiayaan kesehatan yang bersumber pemerintah di Kota Sukabumi sceura lengkap. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui berapa besar alokasi pembiayaan kesehatan dalam satu tahun, secara total maupun per kapita, sumber pernbiayaan, dan bagaimana peruntukannya dilihat dari jenis belanja, line item, mata anggaran, sub mata anggaran, unit pengelola, unit pengguna, program dan jenis biaya serta alokasi pembiayaan untuk program-program essensial. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Sukabumi pada Dinas Kesehatan, RSUD dan instansi terkait yang menjadi pengelola pembiayaan kesehatan bersumber pemerintah. Studi ini menggunakan pendekatan District Health Account (DHA). Analisis pembiayaan kesehatan menggunakan data alokasi pembiayaan tahun anggaran 2006. Hasil analisis menunjukkan bahwa total pembiayaan kesehatan bersumber pemerintah di Kota Sukabumi adalah sebesar Rp 71410_033,100,- dan Rp 58.866.442.000,- (78,04%) bersumber dari APBD. Pembiayaan kesehatan per kapita (gaji/tunjangan, investasi, dan pemeliharaan tidak dihitung) adalah sebesar Rp 155.920,- Dilihat dari peruntukannya, alokasi pernbiayaan di Kota Sukabumi, Dinas Kesehatan dan RSUD, proporsi belanja publik lebih besar dari belanja aparatur, kecuali di RSUD antara belanja aparatur dan publik hampir seimbang, sebagian besar dialokasikan untuk belanja operasional Proporsi belanja investasi lebih besar dari belanja pemeliharaan. Proporsi pembiayaan kesehatan bersumber APED mencapai 17,00% dari total APED Kota Sukabumi. Dengan menggunakan angka estimasi Bank Dunia (biaya kesehatan Rp 41.17 / kapita/tahun), maka alokasi pembiayaan kesehatan di Kota Sukabumi sudah memenuhi ketentuan tersebut. Sementara itu untuk membiayai program-program essensial di Dinas Kesehatan, baru mencapai 6,74% dari total annum Dinas Kesehatan atau 15,74 % dari kebutuhan sesuai estimasi Bank Dunia. Untuk memenuhi laiteria pemerataan, mutu, efi.siensi dart kesinambungan pembangunan kesehatan di Kota Sukabumi, diperlukan analisis lebih lanjut terutama untuk mengetahui alokasi pada mata anggaran dan sub mata anggaran apa saja, agar indikator outcome, benefit, impact program dapat tercapai.
In decentralization era, health department becomes an authority and responsible for district/city fully in implementing development to improve public health level in their area. As consequence, district/city government must arrange a policy to develop health, included health cost policy which comes from government. Health cost system at district mast be developed in order main issue on health cost of district, such as mobilization, allocation, and cost efficiency can implement well so it can guarantee a generalization, quality, efficiency, and continuity of district health development. Applying data of health cost becomes a most important thing because it can affect a policy making process to determine policy and cost strategy of district health program. Until now, it has not been conducted a health cost analysis yet which comes from government of Sukabumi completely. Therefore, this study is conducted to know how much health cost allocation for one year totally or each capita, cost resource, and how its function if it is seen from outcome type, line item, budget, sub budget, organizer unit, user unit, program and cost type and cost allocation for essential programs. This study was conducted at Health Service, RSUD and related instance in Sukabumi which became a health cost organizer which came from government. This study used a District Health Account (DHA) method. Health cost analysis used a cost allocation data on budget period of 2006. Analysis result indicated that health cost totally which comes from government of Sukabumi are 75.410.033.100 rupiah and 58.866442.000 rupiahs (78,04%) come from APED. Health cost every capita are 155.920,- rupiahs (salary/subsidy, infestation and conservancy are not accounted). If it was seen from its function, cost allocation at Health Service and RSUD of Sukabumi, proportion of public outcome is bigger than government officer outcome, except proportion of government officer outcome and public outcome at RSUD are balance, most of them is allocated for operational outcome. Proportion of infestation outcome is bigger than conservancy outcome. Proportion of health cost which comes from 'APBD is 17,00% of APED in Sukabumi totally. By using an estimation rate of World Bank (health cost is 41.171 every capita/every year), so health cost allocation of Sukabumi is out of rule. While for essential programs cost at Health Service, there are 6,74% of total budget at Health Service or 15,74% of the needs based on World Bank estimation. It is important a further analysis to fulfil/ criterion of generalization, quality, efficiency and health development continuity in Sukabumi especially for knowing budget and sub budget allocation so program indicators of outcome, benefit, and their impact can reach.
