Hasil Pencarian :: Kembali

Ditemukan 23828 dokumen yang sesuai dengan query ::  Simpan CSV
cover
Lili Musnelina; Ppromotor: Hasbullah Thabrany; Kopromotor: Mardiati Najib, Pradana Soewondo, Ratu Ayu Dewi Sartika, Teti Indrawati, Asri C. Adisasmita, Pujiyanto, Ahmad Fuad, Delina Hasan
D-358
Depok : FKM-UI, 2017
S3 - Disertasi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Adenan; Promotor: Zulkifli Djunaidi; Kopromotor: Fatma Lestari, Sutanto Priyo Hastono; Penguji: Budi Hartono, L. Meily Kurniawidjaja, Herlina J. EL- Matury, Kusnendi Soehardjo, Suparni
Abstrak:

Keselamatan kerja pada jalur hauling di industri pertambangan batubara merupakan aspek penting yang memerlukan perhatian serius, mengingat tingginya risiko kecelakaan kerja pada aktivitas pengangkutan material. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kecelakaan kerja dan menyusun model pencegahan berbasis Human Factor Analysis and Classification System for Mining Industry (HFACS-MI) serta metode investigasi Australian Transport Safety Bureau (ATSB). Pendekatan campuran digunakan dalam penelitian ini, dengan data kuantitatif diperoleh melalui survei terhadap 420 operator dump truck di tiga perusahaan tambang terbuka di Kalimantan, serta data kualitatif dari wawancara mendalam, Focus Group Discussion (FGD), dan observasi langsung di lapangan. Analisis regresi linier berganda digunakan untuk menguji pengaruh enam variabel independen faktor eksternal, pengaruh organisasi, kepemimpinan tidak berkeselamatan, pengendalian risiko, kondisi lingkungan, dan tindakan individu terhadap kecelakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh variabel memiliki pengaruh signifikan, dengan kepemimpinan tidak berkeselamatan dan kondisi lingkungan sebagai faktor dominan penyebab kecelakaan. Temuan ini mengindikasikan perlunya penguatan pengawasan, perbaikan perilaku kerja operator, serta peningkatan kualitas jalur hauling. Model pencegahan yang diusulkan menitikberatkan pada penguatan kepemimpinan, pengendalian risiko, dan perawatan infrastruktur hauling secara berkelanjutan untuk menurunkan angka kecelakaan kerja di sektor pertambangan.


 

Occupational safety in hauling roads within the coal mining industry is a critical aspect that requires serious attention, considering the high risk of work accidents during material transportation activities. This study aims to analyze the factors influencing occupational accidents and to develop a preventive model based on the Human Factor Analysis and Classification System for Mining Industry (HFACS-MI) and the Australian Transport Safety Bureau (ATSB) investigation method. A mixed-method approach was used, with quantitative data collected through a survey of 420 dump truck operators across three open-pit mining companies in Kalimantan, and qualitative data gathered from in-depth interviews, focus group discussions (FGDs), and direct field observations. Multiple linear regression analysis was employed to assess the influence of six independent variables external factors, organizational influence, unsafe leadership, risk control, environmental conditions, and individual actions on work accidents. The results indicated that all variables had a significant effect, with unsafe leadership and environmental conditions emerging as the dominant contributing factors. These findings highlight the need to strengthen supervision, improve operator behavior, and enhance the quality of hauling road infrastructure. The proposed accident prevention model emphasizes the reinforcement of leadership roles, risk control management, and continuous improvement of hauling infrastructure to reduce the incidence of occupational accidents in the mining sector.

Read More
D-589
Depok : FKM-UI, 2025
S3 - Disertasi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Martya Rahmaniati Makful; Promotor: Sudijanto Kamso; Kopromotor: Tris Eryando, Purnawan Junadi, Ratna Djuwita, Purwantyastuti, Raldi H. Koestoer, Artha Budi Duarsa, Suwarta Kosen
Abstrak: Tuberkulosis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama di dunia, termasuk di Indonesia. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB, dengan menerapkan strategi DOTS. Sejalan dengan kebijakan pembangunan nasional, pelaksanaan strategi pengendalian TB nasional diprioritaskan pada daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan terutama yang belum memenuhi target penemuan kasus dan keberhasilan pengobatan. Terdapat lima provinsi dengan TB paru tertinggi dan dua tertinggi yaitu Provinsi Jawa Barat (0.7%), Papua (0.6%). Akses pelayanan kesehatan pasien TB menunjukan ketidakmerataan, dimana hanya ada di wilayah perkotaan dan berada pada ekonomi tinggi. Permasalahan dalam penelitian ini adalah masih ditemukan pasien TB yang tidak mendapatkan akses pelayanan kesehatan. Keterbatasan akses pelayanan kesehatan pasien TB dapat disebabkan oleh kondisi individu yang berbeda-beda serta adanya perbedaan kondisi fisik (geografis). Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan model spasial akses pelayanan kesehatan di provinsi Jawa Barat dan Papua.
 
Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dan menggunakan data yang berasal dari Riset Kesehatan Dasar 2013. Lokasi penelitian di 2 provinsi yaitu di provinsi Jawa Barat dan provinsi Papua. Analisis penelitian dengan menggunakan regresi logistik untuk melihat pengaruh karakteristik individu terhadap akses pelayanan kesehatan dan analisis spasial statistik menggunakan Geographically Weighted Regression (GWR) untuk melihat spasial akses pelayanan kesehatan. Akses pelayanan kesehatan adalah pasien TB yang melakukan pemeriksaan dahak, foto rontgen dan mendapatkan obat anti TB.
 
Akses pelayanan kesehatan pasien TB di provinsi Papua masih rendah. Karakteristik individu yang mempengaruhi akses pelayanan kesehatan adalah asuransi kesehatan, pekerjaan, menikah, mengetahui ketersediaan fasilitas kesehatan. Model spasial akses pelayanan kesehatan menghasilkan dua jenis variabel pembentuknya, yaitu adanya variabel lokal dan variabel global. Variabel lokal adalah variabel yang mempunyai pengaruh unsur kewilayahannya terhadap akses pelayanan kesehatan, sedangkan variabel global merupakan variabel yang berpengaruh di tingkat provinsi.
 
Masih rendahnya pasien TB yang melakukan akses pelayanan dapat disebabkan oleh sulitnya pasien TB dalam mencapai fasilitas kesehatan, terutama di wilayah dengan perbedaan geografis. Sehingga perlunya ada kebijakan dalam menyiapkan sarana dan prasarana kesehatan pasien TB, yaitu dengan mulai memasukan tenaga kesehatan terlatih di bidang tuberkulosis pada seluruh fasilitas pelayanan kesehatan.
 

Tuberculosis is a major public health problem in the world, including in Indonesia. Finding and curing the patients are the best way of preventing transmission of TB by implementing the DOTS strategy. Implementation of the national TB control strategy prioritized in remote, border and island especially TB patients who do not meet the target case detection and treatment success. There are two of provinces with the highest and second highest TB namely west Java province (0.7%) and Papua (0.6%). Accessibility to health services of TB patients showed inequality, which only exist in urban areas and at high economic status. The problem in this research is find the of TB patients who do not get accessibility to health services. Limited accessibility to health services of TB patients could be caused by conditions different individuals as well as differences in physical conditions (geographic). The purpose of this study is to setup a spatial model of accessibility to health services in the province of West Java and Papua.
 
This study used a cross-sectional design and data derived from the Basic Health Research in 2013 (RISKESDAS). Research sites in the provinces of West Java and Papua. Research analysis applied logistic regression to determine the effect of individual characteristics of accessibility to health services and statistical spatial analysis using the Geographically Weighted Regression (GWR) for a model of spatial accessibility to health services.
 
Accessibility to health care is the patient of TB sputum examination, x-rays and getting anti-TB. Accessibility to health services of TB patients in the province of Papua remains low. Individual characteristics that affect accessibility to health care are health insurance, employment, marriage, the availability of health facilities. Spatial models of accessibility to health services generate two types of constituent variables, the local variables and global variables. Local variables are variables that influence the spatial element of accessibility to health services, while global variables are variables that influence at the provincial level.
 
The low TB patients who do accessibility services may be caused by the difficulty in the of TB patients to health facilities, especially in the areas with geographical differences. Thus the need for a policy in preparing health facilities TB patients, i.e. to start entering trained health personnel in the field of tuberculosis in the entire health care facility.
Read More
D-389
Depok : FKM-UI, 2018
S3 - Disertasi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Evi Martha; Promotor: Hadi Pratom; KoPromotor: Kemal Nazaruddin Siregar, Meutia F. Swasono; Sudarti Kresno, Rulina Suradi, Anna Alisyahbana, Dwi Susilowati, Endang L. Achadi, Agustin Kusumayati
D-258
Depok : FKM-UI, 2012
S3 - Disertasi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Nova Riyanti Yusuf; Promotor: Hasbullah Thabrany; Kopromotor: Sabarinah B Prasetyo, Suzy Yusnah Dewi; Penguji: Rita Damayanti, Dumilah Ayuningtyas, Sasanto Wibisono, Firdiansjah, Bryon Joseph Good
D-398
Depok : FKM-UI, 2019
S3 - Disertasi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Setiorini; Pembimbing: Purnawan Junadi; Penguji: Dumilah Ayuningtyas, Heru Susmono
Abstrak: Skripsi ini menganalisa utilisasi dan biaya klaim rawat inap PT BGS dan PT XYZ periode polis 2011-2012 di PT Asuransi Allianz Life Indonesia menurut usia,jenis kelamin, diagnosa, status peserta, LOS (lenght of stay), dan tipe provider. Penelitian ini bersifat kuantitatif menggunakan design study crossectional.
 
Hasil penelitian menunjukkan bahwa utilisasi dan biaya klaim pada PT BGS didominasi oleh peserta dengan usia dewasa produktif, berstatus employee, berjenis kelamin laki-laki, dengan diagnosa certain infectious and parasitic disease, biaya klaim tertinggi terdapat pada usia dewasa produktif. Sedangkan untuk PT XYZ, utilisasi dan biaya klaim didominasi oleh peseta dengan usia dewasa produktif, berjenis kelamin perempuan, berstatus peserta child, dan biaya klaim tertinggi pada usia dewasa produktif.
 

 
This study aims to analyze utilization and inpatient claim cost of PT BGS and PT XYZ in PT Asuransi Allianz Life Indonesia 2011-2012 Policy Periode based on age, gender, diagnose, member status, LOS (lenght of stay), and tipe of provider. This study is a cross sectional study with descriptive design through a quantitative approach.
 
The result of this study showed that PT BGS is dominated by productive age , in men gender, with certain infectious and parasitic disease, the highest of claim is in productive age. Thus, PT XYZ is dominated by productive age , in female gender, with certain infectious and parasitic disease, the highest of claim is in productive age.
Read More
S-8018
Depok : FKM-UI, 2013
S1 - Skripsi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Kusworo; Pembimbing: Zulkifli Djunaedi; Penguji: Fatma Lestari, I Made Sudarta, Deddy Syam
Abstrak:

Berbagai cara dan pendekatan penerapan sistim menejemen K3 telah dikembangkan, akan tetapi kecelakaan kerja masih terus terjadi terutama dalam dunia kerja Industri. Dalam kurun waktu 10 tahun terahir angka Kecelakaan Kerja dunia masih tidak berubah secara signifikan . Konstruksi merupakan sektor industri yang mempunyai tingkat bahaya dan risiko kecelakaan kerja yang tinggi. Data menunjukkan bahwa selama berlangsungnya kegiatan pekerjaan pada tahun 2010-2011 di PT. XM telah terjadi peningkatan kejadian Kecelakaan Kerja dari 46 kejadian (2010) menjadi 98 kejadian (2011) atau terjadi peningkatan sebesar 52 kasus (113%). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui asosiasi faktor-faktor kecelakaan kerja proyek konstruksi pada PT. XM selama periode waktu 20102011. Metodologi penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional dengan sumber data sekunder yang didapat dari laporan investigasi kecelakaan yang tercatat di PT. XM selama tahun 2010-2011. Jumlah sampel yang digunakan dari data sekunder yaitu seluruh sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan seteah mengalami proses cleaning yaitu sebanyak 98 sampel. Sampel penelitian dianalisis secara univariat (distribusi frekuensi) dan bivariat (uji chi-quare). Analisis hubungan dilakukan dengan melihat nilai p terhadap α untuk melihat tingkat kemaknaan hubungan. Dari 98 sampel yang diteliti, sebagian besar kecelakaan yang terjadi merupakan kecelakaan jenis medical treatment accident (48%), disusul kemudian oleh jenis first aid accident (46,9%), dan lost time accident (5,1%). Adapun factor penyebab yang diduga menjadi penyebab terjadinya kecelakaan dengan frekuensi terbanyak yaitu factor briefing yang tidakcukup untuk bekerja (88) dan kurang pengawasan (81). Secara signifikan diketahui tidak ada factor yang diketahui berhubungan secara signifikan dengan timbulnya kecelakaan kerja di PT. XM selama tahun 2010-2011 (p val > 0,05). Berdasarkan hasil tersebut diatas maka sebaiknya pihak manajemen terkait lebih aktif berperan khususnya dalam fungsi pengawasan, mengoptimalkan sosialisasi dan pembinaan yang terkait dengan safety di tempat kerja, dilain pihak pekerja juga diharapkan dapat turut serta dalam menciptakan suasana yang aman dan sehat di tempat kerja, disiplin dalam menggunakan APD dan meningkatkan pengetahuan penerapan safety dilokasi kerja Kata kunci: Faktor-faktor penyebab kecelakaan kerja, konstruksi.


 Various ways and approaches to Ocupational Health and Safety application management system has been developed, but accidents still occur, especially in the industrial workforce. In the last 10 years the world's number of Accidents still did not change significantly. Construction of an industrial sector that has the level of danger and high risk of work accidents. The data show that during work activities in 2010-2011 at PT. XM has been an increased incidence of Occupational Accidents met 46 events (2010) to 98 events (2011) or an increase of 52 cases (113%). The research was conducted to determine the association of these factors on the construction project work accident  at PT. XM during the time period 2010-2011. Methodology of This study uses cross-sectional study design with secondary data sources are obtained from accident investigation reports are recorded in the PT. XM during the years 2010-2011. The number of samples used secondary data from the entire sample that met the inclusion criteria and had established after the cleaning process as many as 98 samples. The samples were analyzed by univariate (frequency distribution) and bivariate (chi-quare test). Relationship analysis done by looking at the p value of significance level α to see the relationship. Of the 98 samples studied, the majority of the accidents was the crash accident type of medical treatment (48%), followed by first aid type of accident (46.9%), and lost time accident (5.1%). The factors causing the alleged cause of the accident with the highest frequency factor insufficient briefing for work (88) and lack of supervision (81). Significantly there are no known factors that are known to be significantly associated with incidence of occupational accidents in the PT. XM during the years 2010-2011 (val p> 0.05). Based on the above it should be related to more active management role in the oversight function in particular, to optimize socialization and training related to safety in the workplace, Supervision to practical safety on site also need to enforcing by management to ensure occupational health and safety at all of the works, on the other workers are also expected to participate in creating a safe and healthy workplace, discipline in the using PPE and enhance the application of knowledge of safety on work place Key words: The factors that cause workplace accidents, construction

Read More
T-3650
Depok : FKM-UI, 2012
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Santi Purna Sari; Promotor: Budi Hidayat; Kopromotor: Mardiati Nadjib, Pradana Soewondo; Penguji: Ratu Ayu Dewi Sarika, Hasbullah Thabrany, Retnosari Andrajati
Abstrak:
Diabetes melitus sebagai penyakit kronis dengan prevalensi tinggi, memerlukan biaya besar sehingga menjadi masalah kesehatan masyarakat utama di seluruh dunia. Terapi kombinasi metformin dengan obat lini kedua semakin meningkat saat ini terutama dengan golongan obat baru seperti penghambat dipeptidil peptidase-4 (DPP-4i). Peningkatan penggunaan obat baru yang lebih mahal seiring dengan peningkatan insiden diabetes melitus tipe 2, secara signifikan berdampak terhadap belanja kesehatan suatu negara, termasuk Indonesia. Penelitian terkait efektivitas biaya terapi kombinasi metformin-DPP4i dan metformin+sulfonilurea selayaknya tersedia di Indonesia, mengingat data biaya dan efektivitas sangat ideal jika menggunakan data primer dari negara sendiri. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi efektivitas biaya terapi kombinasi metformin-DPP4i dan metformin+sulfonilurea pada pasien diabetes melitus tipe 2. Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan data dari rekam medis dan sistem informasi rumah sakit. Sampel penelitian terdiri dari 60 pasien diabetes melitus tipe 2 rawat jalan yang mendapatkan terapi kombinasi metformin+DPP4i dan 30 pasien metformin+sulfonilurea periode Januari 2018-Juni 2019. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan efektivitas terapi kombinasi dalam pencapaian HbA1c<7% tanpa hipoglikemia sebesar 36,6% dengan perbedaan total biaya terapi Rp.2.340.768, sehingga diperoleh Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER) sebesar Rp.63.955/1% efektivitas. Analisis multivariat dengan regresi logistik menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh signifikan terhadap efektivitas tersebut adalah durasi dan komplikasi setelah dikontrol oleh variabel pekerjaan, pola konsumsi dan indeks masa tubuh, dan penggunaan antidiabetik oral lainnya. Model Markov dibangun berdasarkan progresivitas penyakit diabetes melitus dengan time horizon 25 tahun, sehingga diperoleh hasil bahwa penggunaan terapi metformin+DPP-4i memberikan tambahan tahun hidup berkualitas yang disesuaikan (QALY) selama 2,29 tahun. Terapi kombinasi metformin+DPP4i cost effective untuk pasien diabetes melitus tipe 2 dengan nilai ICER Rp.24.948.213/QALY dibawah threshold Rp.172.282.122. Perlunya kebijakan di tingkat Kementerian dan Lembaga untuk mendukung pelaksanaan studi evaluasi ekonomi menggunakan real world data sehingga menjamin akses data yang berkualitas

Diabetes melllitus is one of the most prevalent and costly chronic diseases globally, thereby being a major public health problem worldwide. The combination of metformin with a second-line treatment regimen is increasing, in particular with newer drug - Dipeptidyl peptidase-4 inhibitors (DPP-4i). The choice of high cost treatment regimen and the incidence of type-2 diabetes mellitus (T2DM) impose an economic burden on national health expenditure worldwide, including Indonesia. Thus, a cost-effectiveness evidence for the use of Metformin+DPP-4i should be conducted in Indonesia, considering data collection from our own country and in comparison with the combination use of Metformin + Sulfonylurea. This study assessed the cost-effectiveness of dipeptidyl peptidase-4 inhibitors compared to sulfonylureas in combination with metformin in patients with T2DM. This retrospective cohort study utilized data from medical records and hospital information system. Statistical analysis comparing those treatments was then performed utilising multivariate regression and Markov models. 60 outpatients with T2DM and a filled prescription for a combination treatment of either a DPP-4 inhibitor or 30 a sulfonylurea together with metformin during the time period January 2018 to end of June 2019 were identified. Of the 90 patients, 36,6% achieved endpoint of an HbA1c <7% without hypoglycemia, calculating incremental cost of Rp.2,340,768. Thus, the incremental cost-effectiveness ratio (ICER) was Rp.63,955/1% effectiveness. When applying logictic regression analysis, the study revealed that variables associated with the effectiveness included duration of diabetes and diabetes-related complications correlating with other factors such as occupation, dietary patterns, body mass index and others oral antidiabetic. A Markov model was constructed with a 25-year time horizon observing disease progress status. Therefore, metformin+DPP-4i therapy would provide an additional 2.29 years of quality adjusted life years (QALY). Metformin + DPP4i combination therapy is cost effective for type 2 diabetes mellitus patients with an ICER of Rp.24,948,213/QALY below the threshold of Rp.172,282,122. Requirement of policy at Ministry or Institution level to ensure proper quality data access will help carry out economic evaluation research using real world data.
Read More
D-466
Depok : FKM-UI, 2022
S3 - Disertasi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Sobirin; Pembimbing: Dian Ayubi; Penguji: Agustin Kusumayati, Iid Rochendy
Abstrak:

Salah satu penyakit yang dijadikan sebagai patokan penggunaan obat rasional adalah ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut), jika penyakit ini tidak mendapatkan pengobatan tidak benar dan tidak tepat, kemungkinan ISPA akan berlanjut menjadi pnemoni. Banyak penelitian menyatakan bahwa antibiotik diberikan dengan tidak benar pada penderita ISPA non pnemoni. Evaluasi Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka melaporkan, tabun 2006 tingkat penggunaan antibiotik di puskesmas pada penderita ISPA non pnemoni mencapai 53,8% Desain penelitian ini cross sectional, Pengambilan data menggunakan kuesioner angket (self administration) dan dilengkapi dengan daftar monitoring peresepan diagnosis ISPA non pnemoni. Proporsi petugas kesehatan di puskesmas yang memberikan antibiotik pada penderita ISPA non pnemoni di Kabupaten Majalengka tahun 2007 sebesar 75,2%. Proporsi karakteristik individu dominan pada petugas kesehatan yagn berumur muda (8,3%), tanaga medis (77,8%), masa kerja baru (76,9%), tidak pernah mendapat pelatihan (78,4%), pengetahuan kurang (78,8%), dan mempunyai sikap negativ (96,3%). Sedangkan karakteristik organisasi lebih dominan pada petugas kesehtan yang kurang didukung Kepala Puskesmas (88,5%), tidak pernah disupervisi (80,7), tidak ada buku pedoman pengobatan dasar (80,0%), dan kecukupan obat kurang (75,4%). Variabel yang dominan/utama berhubungan denagn perilaku pemberian antibiotik pada penderita ISPA non pnemoni adalah variabel sikap. Variabel konfondingnya ada variabel suspenvisi. Dinas Kesehatan, agar meningkatkan supervisi pengobatan rasional yang diarahkan pada anjurnn penggunaan buku pedoman pengobatan dasar, perlunya pelatihan pengobatan rasional dengan peserta minimal 3 orang petugas pelayan pengobatan dari puskesmas dan petugas dari pelayanan kesebatan swasta serta lebih meningkatkan freknensi evaluasi penggunaan obai rasional di puskesmas disertai umpan balik rutin setiap tiga bulan sekali. Kepala puskesmas lebih mendukung upaya pengobatan rasional dan mengevaluasi secara rutin dan mensosialisasikan obat rasional kepada masyarekat yang berkunjung ke puskesmas. Perlunya penelitian dengan metode Dislrusi Kelompok Terarah (DKl) meliputi aspek kebijakan sistem perencanaan dan pengelolaan obat di puskesmas.


One of the discase that become a standard of rational medicine using is ISPA (Acute Respiratory Infection), if this discase do not obtain correct and exact mediacation, ISPA possibility will continue become pneumonic. Many reserches state that antibiotic gave invorrectly to ISPA non-pneumonic patient reach 53,8%. This research is using cross sectional design. Data gathering is using self-administration questioner and completed with prescription monitoring list of ISPA non-pneumonic diagnosis. Health staffs proportion in puskesmas that give antiviotic to ISPA non-pneumonic patient in Majalengka District year 2007 is 75,2%. This proportion is dominant in young health staff (8,3%), medical staff (77,8%), new work length (76,9%), never participate in training (78,4%), lack of education (78,9%) and negative attitude (96,3%). Antibiotic distribution is dominant in health staffs that less supported by puskesmas chief (88,5%), never supervised (80,7%), no standard medication guidance (80,0%) and lack of medicine availability (75,4%). Dominant variable that related with giving antiviotic behavior to ISPA non-pneumonic patient are age, attitude, availability of standard medication guidance book. support from puskesmas chief and health agency supervislon. The most dominant variable related with giving antibiotic behavior is staffs attitude (OR = 8.134). Suggested to Health Agency increasing rational medicine supervision that directed on using standard medication guidance book, require rational medicine training with minimal participants of 3 medication staffs from puskesmas and staffs from private health service also increasing frequency of rational medicine using evaluation in puskesmas along with routine feedback once evecy 3 months. Puskesmas chief is more supporting effort of rational medication and evaluating rontinely and socializing rational medication to public that visiting puskesmas. Require research with Directed Group Discussion (DKT) method including aspect of planning system policy and medicine management in puskesmas.

Read More
T-2576
Depok : FKM-UI, 2007
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Susi Mariana Hutauruk; Pembimbing: Budi Hidayat; Penguji: Pujiyanto, Galopong Sianturi, Sri Indriastuti
Abstrak:

Survey BPS menunjukkan ballwa secara nasional, rata~rata biaya perbulan yang dikeluarkan rumah tangga untuk rawat jalan adalah Rp l5.667,00.- dan propinsi yang memiliki rata-rata biaya rawat jalan perbulan tertinggi adalah DKl Jakarta (Rp36.506,00.-). Sebenarnya biaya-hiaya tersebut dapat dikurangi hila masyarakat memiliki perilaku yang menguntungkan kesehatan dirinya dan keluarganya misalnya dengan menyusui bayinya secara ASI eksidusif srunpai 6 bulan tanpa makanan dan minuman lain kecuali obat dan vitamin, Pemerintah menargetkan penggunaan ASI eksklusif menjadi 80% pada tahun 2000 namun keoyataannya data SDKJ menUI1iukkan bahwa pada tahun 2002 terdapat hanya 39~5% ibu yang menyusui bayinya secara eksklusif dan bayi Indonesia rata-rata hanya mendapat ASI eksklusif sampai usia I ,6 bulan saja. Bayi yang mendapat ASI eksklusif selama 4-5 bulan hanya 14%. Penelitian yang dilakukan Yayasan HeUen KeUer Intemasional tahun 2002 menunjukkan bahwa persentase Jama pemberian ASI ekslusif di Jakarta selama 4-5 bulan hanya 3%. Penelitian ini merupakan evaluasi ekonomi yang bertujuan metlhat gambaran dan perbandingan biaya pemberian AS! eksklusif dan pemberian susu fonnuia pada bayi umur 4 bulan, perbandingan dan perbedaan biaya rawat jalan kedua kelompok tersebut temmsuk. pcrbt:daan frekuensi sakit, lama hari sakit, frekuensi rawat jalan antara kedua kclompok itu dan menghitung penghematan biaya rawar jalanflya. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan stud! cross~secOonal, dengan jumlah sampEL minimum masing-masing kelompok adalah 21 orang bayi berumur 4 bulan yang datang ke praktek dokter spesialis anak RB Alvernia RaWlU!Iangun Jakarta Timur bulan Maret April2007. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata biaya pemberian ASI eksldusif adalah Rp 2.164.219.- dan rata-rata biaya pemberian susu fonnula Rp 3.558.470.-. Sedangkan rata-rata biaya rawat jalan bayi dengan ASI eksklusif adalah Rp 98.720, dan rata-ratanya pada bayi dengan susu formula adalah Rp 165.857.- (rntio I : 1,7) Perhitungan cost saving adalah selisih antara cost without programe dan cost with programe yang besamya adalah Rp 1.461.388.-. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada perbadaan bermakna antam kedua biaya rawat jalan ini. Rata-rata frekuensi sakit dan frekuensi rawat jalan pada bayi ASI eksldusif adalah 0,7 dan susu formula adalah 1,0. Sedangkan rata-rata lama bali sakit pada bayi dengan ASI eksklusif adalah 2 bali, dan susu formula adalab 4 bali. Hasil uji statistik menunjukkun tidak ada perbedaan bermakna frekuensi sakit, frekuensi rawat jalan dan lama hari sakit antara bayi dengan ASI eksklusif dan bayi dengun susu formula 0-4 bulan. Artinya semua perbedaan yang teljadi hanyalah by clumce atau faktor kebetulan belaka dan diduga disebabkan jurniah sampel yang kecil. Akkirnya disarankan agar penelitian ini dapat diianjutkun oleh peneliti lain untuk menghitung cost benefit ASI eksklusif secara komperhensif baik rawat inap dan mwat jalan, dengan menggunakan opportunity cost yang sebenamya. Juga diharapkun penelitian ianjutan dengan sampel yang lebih besar dan variatif yang mungkin dapat rnenghasilkan uji statistik yang signifikan.


BPS survey shows that nationally, average month expenditure that domestic expend for outpatient is Rp. 15.667 .00.- and province that bas the highest average outpatient expenditure is DKI Jakarta (Rp. 36.506,00.-). Actually those costs could decreased if public has health benefit behavior and their family such as breast: feeding with exclusive ASI to 6 months without foods and other drinks except medication and vitamins, Government 1s targeting exclusive ASI to 80% in 2000 but apparently SDKI data shows that in 2002 there's only 39,5% mother who breastfeeding their children exclusively and averagely Indonesian baby only got exclusive ASI only until 1,6 months. Baby that got exclusive ASI for 4-5 months is only 14%. Research conducted International Hellen Keller Foundation year 2002 shows that exclusive ASI duration percentage in Jakarta for 4-5 months only 3%. This research is an economical evaluation that aim to see description and equivalent cost of ASI exclusive t,-,}ver and giving formula milk to 4 months baby, equivalence and difference of outpatient cost those two groups include sick frequency difference. sick day duration. outpatient frequency between those two groups and calculating economize outpatient cost. Tills research conducted by using cross sectional study design, with minimal total sample from each groups are 21 babies with 4month ages that come to specialty doctor practice of children at RB Alvernia Rawamangun East Jakarta month March-April 2007. Research result shows average exclusive ASI cost giver is Rp. 2.164.219 and average formula of milk giver is Rp. 3.558.470. While average outpatient cost of haby with exclusive ASI is Rp. 98.720, and average on baby with formula milk ir.Rp. 165.857 {ratio 1 : J, 7). Cost saving calculation is difference between costs without program and cost with program as much as Rp. l.46L388. Statistical test result shows that there is no significance difference between those two outpatient cost. Average sick frequency and outpatient frequency on baby with exclusive ASI is 0,7 and formula milk is 1,0. While average sick duration on baby with exclusive ASI is 2 days, and formula milk is 4 days. Statistic test result shows that there is no significance difference of sick frequency~ outpatient frequency and sick duration between baby with exclusive ASI and baby with formula milk 0-4 months. It means all the difference that occurred is only by chance or completely coincidence and estimated cause by minor total samples. Finally, suggested for other researcher continue this research to determine cost benefit of exclusive ASI comprehensively include inpatient and outpatient with using the real opportunity cost. Suggested too the continues research using a larger samples and more variative. so that maybe statistical test result become significant.

Read More
T-2697
Depok : FKM-UI, 2007
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
:: Pengguna : Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
Library Automation and Digital Archive