Ditemukan 39429 dokumen yang sesuai dengan query :: Simpan CSV
Background: The national Early Detection of Hepatitis B (DDHB) program for pregnant women is a key strategy to prevent mother-to-child transmission (MTCT) of hepatitis B. With approximately 90% of infants born to HBsAg-positive mothers developing chronic hepatitis B, immunization remains crucial but does not fully eliminate the risk of transmission. This study aimed to analyze risk factors contributing to hepatitis B in children, develop a probability model for its occurrence, and evaluate the implementation of the DDHB program as a preventive and control measure for MTCT. Methods: This study employed an explanatory mixed-methods approach. The quantitative component used a retrospective cohort design involving 166 mother-child pairs, where mothers were confirmed to have hepatitis B infection (HBsAg-positive) through antenatal care (ANC) screening. The qualitative component utilized a case study design with in-depth interviews conducted with 23 informants. The research was carried out in Makassar City and Gowa Regency, South Sulawesi Province. Result: A multivariate analysis using a binomial GLM with a log link was conducted to calculate the adjusted risk ratio (aRR) for factors associated with hepatitis B in children. The results indicated that mothers with high HBV-DNA levels (>106 copies/mL) had a significantly increased risk of transmitting HBV to their children (aRR=2.9, 95%CI=1,37-6,20). Children who did not receive hepatitis B immunoglobulin (HBIg) (aRR = 5.6, 95%CI=2,28-13,76), did not vaccinate HB-0 (aRR = 2.9, 95%CI=1,37-6,20), did not vaccinate HB-1 (aRR = 10.44, 95%CI=5,23-20,87), or did not vaccinate HB-2 (aRR = 12.11, 95%CI=5,21-28,35) were at significantly higher risk of HBV infection. Additionally, children born to mothers with high HBV-DNA levels (>106 copies/mL) who did not receive HBIg, HB-0, HB-1, and HB-2 vaccines had a 94% probability of hepatitis B occurrence. Conclusion: These findings emphasize the importance of the DDHB program for pregnant women in identifying HBV-DNA levels to facilitate antiviral therapy as needed. Furthermore, the administration of HBIg and hepatitis B vaccines (HB-0, HB-1, and HB-2) to infants is highly effective in reducing the risk of MTCT, making it a vital strategy in preventing hepatitis B infections in children. Recommendation: The DDHB program should be comprehensively optimized, starting with screening for pregnant women, conducting HBV-DNA testing on pregnant women who are HBsAg reactive, and enhancing the coverage of HBIg administration and implementation of the hepatitis B vaccination (HB-0, HB-1, and HB-2) for children.
Masalah penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) merupakan salah satu masalah besar dan kebanyakan terjadi pada kelompok usia produktif yang sampai saat ini belum dapat diatasi. Pada tahun 2001 pengguna Napza di Indonesia mencapai lebih dari 2 juta jiwa dengan kematian akibat Over Dosis sebanyak 17.16 %. Sebagian besar pengguna yaitu 1.3 juta jiwa tinggal di wilayah Jakarta dan diperkirakan 35 % siswi SMU dari 64 sekolah di Jabotabek ditemukan sebagai pengguna berat dan pengedar Napza.Penelitian ini bertujuan untuk melihat berapa besar kontribusi penggunaan tehnik parenteral terhadap kejadian terpapar virus Hepatitis B dan C pada populasi pengguna Napza di Pusat Pemulihan Napza di wilayah Jabotabek. Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan cross sectional, dengan jumlah sampel 201 orang di dapat dari catatan medis penderita yang dirawat dari Januari - November 2001.Hasil penelitian didapatkan Prevalensi kejadian terpapar virus Hepatitis B sebesar 43.6% dan prevalensi kejadian terpapar virus Hepatitis C sebesar 69.1%, untuk hubungan kejadian terpapar virus Hepatitis B didapatkan hasil: Tidak ada hubungan bermakna antara penggunaan tehnik parenteral dengan kejadian terpapar virus Hepatitis B setelah dikontrol variabel lain dengan risiko 2A68 (CI 0.893-5.262). Untuk Hepatitis C ada hubungan bermakna secara statistik antara penggunaan tehnik parenteral dengan kejadian terpapar virus Hepatitis C setelah dikontrol variabel lain dengan risiko lebih tinggi yaitu 37.334 kali lebih tinggi (CI 12.455 - 11L911). Dapat disimpulkan bahwa tehnik parenteral memberikan kontribusi sebesar 44.7 % untuk menyebabkan kejadian terpapar virus Hepatitis B dan 92 % untuk menyebabkan kejadian terpapar virus Hepatitis C.Saran yang diberikan berupa : informasi tentang bahaya penggunaan Napza dan bahaya tambahan dari penggunaan jarum suntik dan alat sayat (tehnik parenteral) bersama-sama, gerakan lintas sektor untuk meminimasi distribusi dan utilisasi Napza, saat ini kita mungkin harus mulai terbuka untuk membuat klinik-klinik khusus yang dapat mengakomodasi kepentingan pengguna melalui kontrol terhadap pemakaian dan tehnik penggunaan terutama untuk pengguna lama yang sulit direhabilitasi dan untuk pengguna kambuhan. Tetapi yang jauh lebih penting dari itu adalah memperkuat fungsi dan peran keluarga agar keluarga dapat melakukan deteksi dini terhadap tanda-tanda penggunaan Napza untuk mencegah penggunaan berlanjut.Daftar bacaan: (1976 - 2001)
Contribution of Parenteral Technique due to Hepatitic B and Hepatitic C Viral Expose at Drug Users in Centre of Rehabilitation 2001Narcotics, Psychotropic and others addictives (NAPZA) abuse problem is one of the biggest problems and it's happen to productive period in life and have not solved yet. In 2001 there is more than 2 million people use NAPZA with 17.16% mortality caused over dose. A lot of drug users about 1.3 million people live in Jakarta and estimated at 35% of them are SMU students from 64 schools in Jabotabek as chronic users and seller.Objective for this research to know contribution of parenteral technique due to Hepatitic B and C Viral expose at drug users population whom rehabilized in centre of rehabilitation in Jabotabek. This research use cross sectional design, sample size 201 users have been rehabilized, collecting data come across Laboratories examinations and justify with medical diagnose in medical records.Results from this research are Prevalence rate for Hepatitic B viral expose occur to 43.6% and Prevalence rate for Hepatitic C viral expose occur to 69.1%. There are not significant relationships between parenteral techniques to be Hepatitic B Viral expose after controlled by another variables with 2.168. 95% CI (0.893-5.262) and There are a significant relationships between parenteraI technique to be Hepatitic C Viral expose after controlled by another variables with 37. 95% CI (12.55-111.911). Conclusion for this research are : Parenteral technique gives 44.7 % contribute to Hepatitic B viral ekspose and 92% contribute to Hepatitic C viral expose.Suggestion of this research are: Give right information about effect using NAPZA and addictive hazard from use parenteral technique and laserate aids together. Intersector action to minimize distribution and utilization drugs. Today we must be make specialize clinics to accommodate users by control about using and parenterel technique to chronical users and relapse users. But one of very important thing are makes family function and role to early detection the symptom of using drugs to prevent chronic users.References: 30 (1976-2001)
Latar belakang: Tenaga kesehatan berpotensi untuk terkena Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus HepatitIs C, dan Virus Hepatitis B yang penularannya lewat darah. Tertusuk jarum suntik dapat membahayakan tenaga kesehatan di rumah sakit. Tujuan: Diketahuinya riwayat tertusuk jarum suntik yang berhubungan dengan terjadinya kejadian Hepatitis B atau C pada tenaga kesehatan di RS Dr.Kariadi Semarang Tahun 2008. Metode: Desain cross sectional dengan melakukan wawancara dan pengambilan darah pada 225 kelompok terpapar (kelompok riwayat tertusuk jarum suntik >2 kali) dan 225 kelompok riwayat tertusuk jarum suntik < 2 kali). Analisis data univariat, bivariat dan multivariat dengan interaksi dan confounding. Hasil dan diskusi: Riwayat tertusuk jarum suntik >2 kali berisiko 48,99 kali untuk mengalami Hepatitis B atau C dibandingkan dengan riwayat tertusuk jarum suntik < 2 kali dengan POR sebesar 48,99 95%CI (9,494-252,85) P value 0,000 dan terdapat satu variabel confounding yaitu frekuensi menyuntik yang dapat mendistorsi efek riwayat tertusuk jarum suntik dengan kejadian Hepatitis B atau C. Kesimpulan dan saran: Tenaga kesehatan yang riwayat tertusuk jarum suntik >2 kali dalam 6 bulan memperbesar risiko mengalami kejadian Hepatitis B atau C bila dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang riwayat tertusuk jarum suntik < 2 kali dalam 6 bulan, setelah dikendalikan oleh Riwayat Medis, Paparan Pekerjaan Modis, Unit kerja, Lama Kerja, Jenis Kelamin, Frekuensi Menyuntik, dan Kewaspadaan Universal di RS Dr. Katiadi Tabun 2008. Di anjurkan supaya tenaga kesehatan di RS Dr. Kariadi tidak sampai tertusuk lebih dari satu kali agar tidak terkena Hepatitis B atau C dengan cara meningkatkan praktek pencegahan infeksi, melakukan general check up dimana pemeriksaan Hepatitis B atau C termasuk didalamnya dan dilakukan setahun sekali, bagi tenaga kesehatan yang tertusuk jarum suntik lebih dan sekali sebaiknya segera memeriksakan diri secepatnya untuk mengetahui lebih dini apakah mengalami Hepatitis B atau C, dan sebaiknya tenaga kesehatan dalam sebulan menyuntik tidak lebih dari 8 kali agar tidak mengalami hepetitis B atau C.
Background: Healthcare workers (HCWs) are potentially at risk for human immunodefiCiency virus (HIV), Hepatitis B virus (HBV) and Hepatitis C virus (HeV) infection through occupational exposures to blood and bloody body fluids. Needle stick injuries put healthcare workers at risk of life-threatening infections such as Hepatitis C and Hepatitis B. Aims: A study was designed to determine the risk of needle stick injuries of Hepatitis B Virus (HBV) or Hepatitis C virus (HCV) infections among health care workers in Dr. Kariadi Hospital 2008. Method: Designed cross sectional by interview and blood examination on 225 exposed group (had needle stick injuries more than once in. 6 month ago) and on 225 unexposed group (had needle stick injuries less than twice in 6 month ago). Analysis of data univariate, bivariate and multivariate with interaction and confounding. Results: Needle stick injuries more than once related to Hepatitis B or C with POR 48,99 95%CI (9,494-252,85) P value 0,000 and frequencies of suturing is a confounder. Conclusion: Needle stick injuries more than once related to Hepatitis B or C after controlled by medical history, duration of working, exposure on medical occupation, workplace, sex, universal precautions. and frequencies of suturing. Suggested to health care workers in Dr. Kariadi Hospital do not get needle stick injuries more than once in order to prevent Hepatitis B or C by increasing universal precautions, do general check up including Hepatitis B and C, health care workers who had needle stick injuries more than once are supposed to immediately check up for early diagnostic Hepatitis B or C, and suggested to saturing not more than eight times in a month.
Tujuan : penelitian ini adalah untuk menggambarkan seberapa besar proporsi kejadian malaria ibu hamil dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di high incidence area dan medium incidence area di Kabupaten Nias Tahun 2005.
Metode : Penelitian ini menggunakan rancangan kroseksional dengan data primer, dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2005. Sampel penelitian adalah ibu hamil yang dalam satu bulan terakhir belum pernah minum obat anti malaria. Besar sampel 440 orang ibu hamil masing-masing 220 orang di high incidence area dan 220 orang di medium incidence area. Pengambilan sampel dengan multistage random sampling Analisis dilakukan untuk mengambarkan proporsi dan faktor determinan kejadian malaria di masing-masing area. Variabel yang diteliti adalah kejadian malaria, graviditas, paritas, usia kehamilan, usia ibu, pekerjaan, pengetahuan, pemakaian obat nyamuk dan pakaian tertutup anggota badan.
Hasil : Proporsi kejadian malaria pada ibu hamil di HIA adalah 36,36%, MIA 31,36% dan HIA+MIA 33,86%, dan ibu hamil yang mengalami gejala klinis dalam sebulan terakhir di HIA 10,90% dan MIA 35,45%. Proporsi kehamilan pertama dan menderita malaria di HIA adalah 48,28%, sedangkan di MIA adalah 47,80%. Proporsi paritas 1 dan menderita malaria di HIA adalah 44,64% sedangkan di MIA adalah 48%. Proporsi usia kehamilan 14-27 minggu di HIA adalah 41,76%, sedangkan di MIA adalah 31,07%. Ibu hamil yang berusia < 20 tahun dan sakit malaria 31,25%, sedangkan di MIA adalah 30,77%. Ibu hamil yang bekerja diluar rumah dan sakit malaria di HIA adalah 39,33%, sedangkan di MIA adalah 32,31%. Ibu hamil yang tidak atau kadang-kadang menggunakan obat nyamuk dan menderita malaria di HIA 44,64% dan 37,93%, sedangkan di MIA adalah 40,74% dan 37,04%. Ibu hamil yang tidak atau kadang-kadang menggunakan pakaian tertutup anggota badan dan menderita malaria di HIA adalah 48,68% dan 33,85%, sedangkan di MIA adalah 38,18% dan 34,78%.
Kesimpulan : Kejadian malaria ibu hamil tidak ada perbedaan bermakna antara kedua area. Faktor determinan kejadian malaria ibu hamil adalah graviditas, pengetahuan, pemakaian obat nyamuk dan pakaian tertutup anggota badan.
Kata Kunci : Malaria ibu hamil, prevalensi, graviditas, paritas, kroseksional.
Background : Malaria is a public health problem which very serious for pregnant women. Pregnant women is more exposed to malaria infection compared with non-pregnant women. Pregnant women malaria prevalence on world estimated 10%-65%. Pregnant women on epidemic area in the world estimated more than 23 million people. Malaria danger on pregnant women beside can corrupt mother's health such as anemia, heavy malaria toward death, also infant miscarriage, infant death, low birth weight, and etcetera. Pregnant women malaria prevalence on Indonesia had not been detected because of information and research limitation.
Objective : This research?s aim is to describe malaria proportion on pregnant women and influence factors on high incidence area and medium incidence area in Nias district year 2005.
Methods : This research using cross-sectional design with primer data, conducted in May till June 2005. Research sample is pregnant women which in the last month never been drinking anti-malaria medicine. Sample quality 440 pople pregnant women each 220 people on high incidence area and 220 people on medium incidence area. Sample was taken by multistage random sampling. Analysis was conducted to describe proportion and malaria determinant factor on each area. Research variable are malaria itself, gravidity, parity, pregnancy age, mother's age, occupation, knowledge about malaria, usage of insect killer and closed outfit.
Results : Proportion malaria on pregnant women in HIA was 36,36%, MIA 31,36% and HIA+MIA 33,86% and pregnant women that suffer clinics symptom for the last month in HIA 10,90% and MIA 35,45%. First pregnancy proportion and suffer malaria in HIA was 48,28%, while on MIA was 47,80%. One (1) parity proportion and suffer malaria on HIA was 44,64% while on MIA was 48%. Pregnancy age proportion 14-27 weeks on HIA was 41,76%, while on MIA was 31,07%. Pregnant women under 20 year old and suffer from malaria 31,25%, while on MIA was 30,77%. Pregnant women that work outside house and suffer from malaria on HIA was 39,33%, while on MIA was 32,31%. Pregnant other that rarely or not using insect killer and suffer from malaria on HIA 44,64% and 37,93%, while on MIA was 40,74% and 37,04%. Pregnant women that not or rarely using closed outfit and suffer from malaria on HIA was 48,68% and 33,85%, while on MIA was 38,18% and 34,78%.
Conclusions : Malaria on pregnant women in high incidence area and medium incidence area no relation signifikant. Malaria determinant factor on pregnant women are gravidity, knowledge about the danger of malaria for pregnant women, usage of insect killer and closed outfit.
Keywords: Malaria on pregnant women, prevalence, gravidity, parity, crossectional.
