Hasil Pencarian :: Kembali

Ditemukan 34347 dokumen yang sesuai dengan query ::  Simpan CSV
cover
Audrey Rakhshanda Putri; Pembimbing: Hendra; Penguji: Mila Tejamaya, Rizki Rahmawati
Abstrak:

Bising merupakan salah satu bahaya yang memajan pekerja di aktivitas pekerjaan. Salah satu dampak dari pajanan bising yang melebihi standar (> 85 dBA) di tempat kerja adalah dampak yang tidak berhubungan dengan fungsi pendengaran (non-auditori). Tiga sub-gangguan non-auditori, seperti gangguan fisiologi, psikologi, dan komunikasi berpengaruh terhadap kinerja dan ketidaknyamanan pekerja dalam bekerja. Berbeda dengan gangguan auditori, gangguan non-auditori dapat diobservasi meskipun tingkat bising di area kerja berada di bawah 85 dBA. Batas pajanan bising di dalam ruangan adalah 55 hingga 65 dBA menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 48 Tahun 2016.
PT X sebagai perusahaan manufaktur yang bergerak di sektor agroindustri berisiko terpajan bising, termasuk pekerja di ruang kendali. Hasil pengukuran bising di ruang kendali Pabrik NPK Granulasi dan Phonska PT X berada pada rentang 58,8 hingga 71,5 dBA. Tingkat bising tersebut berisiko menimbulkan gangguan non-auditori pada pekerja di ruangan, yakni operator. Oleh sebab itu, dilakukan penelitian untuk mengetahui gangguan non-auditori dan faktor yang mempengaruhinya pada operator di ruang kendali.
Penelitian ini dilakukan dengan metode cross-sectional pada 66 operator yang bekerja di ruang kendali Pabrik NPK Granulasi dan Phonska PT X pada bulan April hingga Mei 2025. Variabel dependen dan independen yang diteliti adalah gangguan non-auditori, faktor tingkat pajanan bising (tingkat bising dan durasi pajanan), faktor individu (usia, masa kerja, perilaku merokok, dan riwayat penyakit), serta faktor perilaku (penggunaan APT dan pajanan bising di luar pekerjaan).
Hasil penelitian menunjukkan 92,4% responden mengalami gangguan non-auditori dengan rincian 45,5% mengalami gangguan fisiologi, 86,4% psikologi, dan 83,3% komunikasi. Hasil analisis dengan metode Mann-Whitney dan Kruskal-Wallis memperlihatkan perbedaan yang signifikan terhadap skor gangguan non-auditori berdasarkan kelompok masa kerja (p = 0,047) dan riwayat penyakit (p = 0,009); skor gangguan fisiologi berdasarkan kelompok usia (p = 0,031), masa kerja (p = 0,012), dan riwayat penyakit (p = 0,014); skor gangguan psikologi berdasarkan kelompok masa kerja (p = 0,024), riwayat penyakit (p = 0,021), dan pajanan bising di luar aktivitas pekerjaan (p = 0,047); serta skor gangguan komunikasi berdasarkan kelompok riwayat penyakit (p = 0,011). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya, dimana gangguan non-auditori tetap dapat dialami oleh responden meski bising di bawah 85 dBA. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengendalian, seperti memastikan tingkat pajanan bising di ruang kendali memenuhi persyaratan perundangan dan menambah bahan peredam bising di dalam desain ruang kendali.


Noise is recognized as one of the occupational hazards to which workers are frequently exposed. When noise exposure goes above the standard limit (>85 dBA), it can lead to effects that are not related to hearing, known as non-auditory effects. These effects are usually divided into three types: physiological, psychological, and communication-related. Non-auditory effects can impair work performance and contribute to discomfort in the workplace. Unlike auditory effects, non-auditory effects can be observed even when the noise level in the work area is below the health threshold. According to Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 48 Tahun 2016, the indoor noise exposure limit ranges from 55 to 65 dBA. PT X is a manufacturing company in the agroindustry sector which is at risk of noise exposure. Its workers, including those in the control rooms, are potentially exposed to indoor noise. The noise levels in the control room of the NPK Granulation and Phonska Plant at PT X are in the range from 58,8 to 71,5 dBA. Control room operators may be at risk of non-auditory effects due to indoor noise exposure that exceeds the standard. Therefore, this study aimed to examine the non-auditory effects, noise exposure levels, individual factors, and behavioral factors among control room operators at the NPK Granulation and Phonska Plant of PT X in 2025. This study was conducted using a cross-sectional method on 66 operators working in the control room of NPK Granulation and Phonska Plant at PT X from April to May 2025. Data collection was conducted from April to May 2025. The dependent and independent variables studied were non-auditory effects, noise-exposure levels (noise intensity and duration), individual factors (age, length of employment, smoking habits, medical history), and behavioral factors (use of HPD and noise exposure outside work). The results showed 92,4% of respodents experienced non-auditory effects, with 45,5% reporting physiological effects, 86,4% psychological effects, and 83,3% communication effects. The Mann-Whitney and Kruskal-Wallis tests showed significant differences in non-auditory effect scores based on length of employment (p = 0,047) and medical history (p = 0,009); in physiology effect scores based on age (p = 0,031), length of employment (p =  0,012), and medical history (p = 0,014); in psychological effect scores based on length of employment (p = 0,024), medical history (p = 0,021), and noise exposure outside of work (p = 0,047); in communication effect scores based on medical history (p = 0,011). Therefore, it is necessary to implement control measures, such as ensuring that the level of noise exposure in the control room within the regulatory limits and incorporating both sound-absorbing as well as sound-insulating materials into the control room design.

Read More
S-12125
Depok : FKM UI, 2025
S1 - Skripsi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Febi Zifa Murti; Pembimbing: Hendra; Penguji: Mila Tejamaya, Rizki Rahmawati
Abstrak:
Paparan debu yang tinggi di lingkungan kerja, terutama debu PM2,5, dapat meningkatkan risiko gangguan pernapasan pada pekerja. PT X sebagai produsen pupuk memiliki potensi paparan debu yang cukup tinggi, terutama pada tahap-tahap proses produksinya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara konsentrasi paparan debu PM2,5 dengan gejala gangguan saluran pernapasan pada pekerja pabrik pupuk NPK Granulasi. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan melibatkan 96 responden yang tersebar di tiga pabrik, yaitu NPK II, III, dan IV. Variabel independen meliputi konsentrasi PM2,5, durasi paparan, usia, masa kerja, riwayat penyakit pernapasan, kebiasaan merokok, dan penggunaan alat pelindung diri (APD), sedangkan variabel dependen adalah gejala gangguan saluran pernapasan. Pengumpulan data dilakukan melalui dua metode, untuk konsentrasi PM2,5 diukur menggunakan alat DustTrak, sedangkan data mengenai variabel lain seperti durasi paparan, usia, masa kerja, riwayat penyakit pernapasan, kebiasaan merokok, penggunaan APD, dan gejala gangguan pernapasan diperoleh melalui kuesioner yang diisi oleh responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi PM2,5 di ketiga pabrik melebihi Nilai Ambang Batas (NAB) yang ditetapkan berdasarkan Permenkes No. 70 Tahun 2016. Selain itu, ditemukan bahwa 59,4% responden mengalami gejala gangguan saluran pernapasan, yang menandakan adanya potensi bahaya terhadap kesehatan pekerja. Namun, dari seluruh variabel yang dianalisis, hanya kebiasaan merokok yang menunjukkan hubungan yang signifikan dengan gejala gangguan saluran pernapasan (p = 0,003). Sementara itu, variabel lain seperti konsentrasi PM2,5, durasi paparan, usia, masa kerja, riwayat penyakit pernapasan, dan penggunaan APD tidak menunjukkan hubungan yang signifikan secara statistik. Berdasarkan temuan ini, dapat disimpulkan bahwa kebiasaan merokok merupakan faktor risiko utama yang berhubungan dengan gangguan saluran pernapasan pada pekerja. Meski demikian, fakta bahwa konsentrasi PM2,5 melebihi NAB menunjukkan bahwa lingkungan kerja tetap mengandung risiko yang perlu ditangani secara serius. Oleh karena itu, PT X perlu memperkuat upaya edukasi dan pengendalian terhadap kebiasaan merokok di lingkungan kerja. Selain itu, pemantauan rutin terhadap paparan debu PM2,5 dan pengawasan ketat terhadap kepatuhan penggunaan APD perlu terus dilakukan secara konsisten, guna mencegah risiko kesehatan lainnya.


High dust exposure in the workplace, particularly PM2.5 dust, can increase the risk of respiratory disorders among workers. PT X, as a fertilizer manufacturer, has a high potential for dust exposure, especially during several stages of the production process. This study aims to analyze the relationship between PM2.5 dust concentration and respiratory symptoms among workers at the NPK Granulation fertilizer plant. This research employed a cross-sectional design involving 96 respondents from three factories: NPK II, III, and IV. The independent variables included PM2.5 5 concentration, duration of exposure, age, length of employment, history of respiratory illness, smoking habits, and the use of personal protective equipment (PPE). The dependent variable was the presence of respiratory symptoms. Data collection was carried out using two methods: PM2.5 concentration was measured with a DustTrak device, while information on other variables including exposure duration, age, work history, respiratory illness history, smoking habits, PPE use, and respiratory symptoms was gathered through a questionnaire completed by the respondents. The results showed that PM2.5 concentrations in all three plants exceeded the Threshold Limit Value (TLV) set by the Indonesian Ministry of Health Regulation No. 70 of 2016. Furthermore, 59.4% of the respondents reported experiencing respiratory symptoms, indicating a potential health hazard for workers. However, among all the variables analyzed, only smoking habits showed a statistically significant association with respiratory symptoms (p = 0.003). Other variables, such as PM2.5 concentration, exposure duration, age, length of employment, history of respiratory illness, and use of PPE, did not demonstrate a significant statistical relationship. Based on these findings, it can be concluded that smoking habits are the primary risk factor associated with respiratory disorders among workers. Nevertheless, the fact that PM2.5 levels exceeded the TLV highlights that the work environment still poses a serious health risk. Therefore, PT X should strengthen its efforts in smoking control and education within the workplace. In addition, regular monitoring of PM2.5 dust exposure and strict supervision of PPE compliance must be consistently enforced to prevent other potential health risks.
Read More
S-12104
Depok : FKM UI, 2025
S1 - Skripsi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Qonita Hanifa; Pembimbing: Baiduri Widanarko; Penguji: Fatma Lestari, Khaerani Suci Lestari
Abstrak:

Kebisingan merupakan salah satu bahaya fisik di tempat kerja yang berpotensi
menimbulkan gangguan auditori ataupun nonauditori. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis hubungan antara pajanan kebisingan, karakteristik pekerja (usia, lama kerja,
status merokok, status penggunaan alat pelindung telinga, dan kebiasaan penggunaan
perangkat audio), dan gangguan auditori – nonaudtiroi di pabrik X tahun 2025. Penelitian
ini menggunakan desain cross-sectional dengan pendekatan kuantitatif. Data
dikumpulkan melalui kuesioner dan data sekunder dari perusahaan. Data diolah
menggunakan uji chi-square dengan software SPSS 22.0 untuk melihat adanya hubungan
signifikan secara statistik antara variabel independen dan variabel dependen. Hasil
penelitian mendapatkan prevalensi gangguan auditori sebesar 6%; gangguan komunikasi
68%; gangguan psikologis 59%; dan gangguan fisiologis 24%. Tidak ada variabel
independen yang berhubungan dengan gangguan auditori. Hubungan signifikan secara
statistik hanya ditemukan antara variabel intensitas kebisingan dengan gangguan
komunikasi (p= <0,001); gangguan psikologis (p=0,004); dan gangguan fisiologis (p=
<0,001) serta variabel durasi pajanan (p=0,036); usia (p=0,019); dan lama kerja (p=0,035)
dengan gangguan fisiologis. Temuan ini menegaskan pentingnya pengendalian
kebisingan dan peningkatan kepatuhan terhadap penggunaan alat pelindung telinga di
area kerja. Perusahaan juga disarankan untuk memperkuat program konservasi
pendengaran serta meningkatkan edukasi tentang bahaya kebisingan guna melindungi
kesehatan pendengaran pekerjanya.

Occupational noise is a common physical hazard that may lead to both auditory and non auditory health effects. This study aimed to examine the relationship between noise  exposure, worker characteristics (age, length of service, smoking status, use of hearing  protection devices, and audio device usage), and the occurrence of auditory and non auditory disorders among workers at Factory X in 2025. A quantitative cross-sectional  design was employed. Data were collected through structured questionnaires and  company records. Statistical analysis was conducted using chi-square tests via SPSS  version 22.0 to assess associations between independent and dependent variables. The  findings revealed a prevalence of 6% for auditory disorders, 68% for communication  disorders, 59% for psychological disorders, and 24% for physiological disorders. No  independent variables were significantly associated with auditory disorders. However,  significant relationships were found between noise intensity and communication  (p<0.001), psychological (p=0.004), and physiological disorders (p<0.001). Additionally,  exposure duration (p=0.036), age (p=0.019), and length of service (p=0.035) were  significantly associated with physiological disorders. These findings underscore the  importance of effective noise control and improving worker compliance in using hearing  protection. The company is encouraged to enhance its hearing conservation program and  noise hazard education efforts to protect worker’s auditory health.

 

Read More
S-12017
Depok : FKM UI, 2025
S1 - Skripsi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Eky Susilowati; Pembimbing: Fatma Lestari; Penguji: Dadan Erwandi, Hendra, Adrianus Pangaribuan, Ivan Stevanus Chandra
Abstrak:

Industri farmasi merupakan industri yang memiliki risko kebakaran dan ledakan yang sangat besar karena penanganan beragam bahan kimia cair, padatan, dan gas yang mudah terbakar serta bahan kimia berbahaya lainnya. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengklasifikasikan area berbahaya berdasarkan standar IEC 60079-10-2 serta menganalisis tingkat risiko kebakaran dan ledakan debu dalam proses granulasi pada fasilitas Non Betalactam (Multi Product Facility). Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif semi kuantitatif yang bertujuan untuk mengklasifikasikan area berbahaya pada proses granulasi berdasarkan standar IEC 60079-10-2 dan menentukan tingkat risiko kebakaran dan ledakan debu dalam tahapan pencampuran (mixing) dengan menggunakan metode Dow’s Fire Explosion Index. Populasi ini melibatkan semua bahan kimia berbahaya dan peralatan yang digunakan pada proses pembuatan obat di PT. X. Combustible dust yang digunakan dalam proses granulasi pada fasilitas Non Betalactam Facility (Multi Product Facility) berupa bahan aktif farmasi dan eksipien, seperti methyldopa hydrate, paracetamol, loperamide hydrochloride, diazepam, domperidone, prednisolone micronised, magnesium stearate. polyvidone 30, sodium starch glycolate, dan amylum maydis. Minimum Ignition Energy (MIE) yang dimiliki oleh semua bahan aktif berbeda-beda nilainya sesuai hasil uji laboratorium eksternal dengan nilai yang paling sensitif terhadap penyalaan, yaitu diazepam, methyldopa hydrate, loperamide hydrochloride, domperidone dan prednisolone micronised yang mempunyai nilai MIE 1-3 mj yang dapat menyebabkan ledakan kuat hingga sangat kuat jika memenuhi konsentrasi Minimum Explosive Concentration (MEC). Sehubungan dengan hal itu, sebelum menentukan klasifikasi area berbahaya, sangat penting untuk mengidentifikasi sumber penyalaan di area proses tersebut. Adapun sumber penyalaan tersebut bersumber dari peralatan listrik, listrik statis, dan friction/mechanical spark. Klasifikasi area berbahaya dengan kategori zona dalam proses granulasi pada fasilitas Non Betalactam (Multi Product Facility) terdiri dari zona 20 di setiap dalam chamber/container peralatan, zona 21 di setiap bukaan hopper/charging unit, tempat perilisan debu dengan radius satu meter dan zona 22 di luar zona 21 di dalam ruangan proses granulasi. Tingkat risiko kebakaran dan ledakan debu pada proses granulasi (mixing) dengan menggunakan metode granulasi basah (hybrid mixture) berdasarkan metode Dow’s Fire and Explosion Index adalah risiko sedang (moderate) dengan total skor 95,1762 dengan radius paparannya sebesar 29,010 meter dan estimasi kerugiannya mencapai Rp 1.467.276.735.672. Oleh karenanya, sangat penting untuk melakukan mitigasi risiko sehingga risiko kebakaran dan ledakan debu di area proses ini berada pada risiko yang rendah.


 

The pharmaceutical industry is an industry that has a very large risk of fire and explosion due to the handling of a variety of flammable liquid, solid and gaseous chemicals as well as other hazardous chemicals. The general objective of this study is to classify hazardous areas based on IEC 60079-10-2 standards and to analyze the risk level of fire and dust explosion in the granulation process at the Non Betalactam facility (Multi Product Facility). This research is a semi-quantitative descriptive study that aims to classify hazardous areas in the granulation process based on IEC 60079-10-2 standards and determine the risk level of fire and dust explosion in the mixing stage using the Dow's Fire Explosion Index method. This population includes all hazardous chemicals and equipment used in the drug manufacturing process at PT. X. Combustible dust used in the granulation process at the Non Betalactam Facility (Multi Product Facility) is in the form of active pharmaceutical ingredients and excipients, such as methyldopa hydrate, paracetamol, loperamide hydrochloride, diazepam, domperidone, micronised prednisolone, magnesium stearate. polyvidone 30, sodium starch glycolate, and amylum maydis. The Minimum Ignition Energy (MIE) that all active ingredients have a different value according to the results of external laboratory tests with values that are most sensitive to ignition, namely diazepam, methyldopa hydrate, loperamide hydrochloride, domperidone and micronised prednisolone which have an MIE value of 1-3 mj which can cause a strong to very strong explosion if it meets the Minimum Explosive Concentration (MEC) concentration. In this regard, before determining the classification of a hazardous area, it is very important to identify the source of ignition in the process area. The ignition sources come from electrical equipment, static electricity, and friction/mechanical spark. Classification of hazardous areas with the category of zones in the granulation process at Non Betalactam facilities (Multi Product Facility) consists of zone 20 in each equipment chamber/container, zone 21 in each opening of the hopper/charging unit, a dust release area with a radius of one meter and zone 22 outside zone 21 in the granulation process room. The risk level of fire and dust explosion in the granulation process (mixing) using the wet granulation method (hybrid mixture) based on the Dow's Fire and Explosion Index method is moderate risk with a total score of 95.1762 with an exposure radius of 29.010 meters and an estimated loss of IDR 1,467. 276,735,672. Therefore, it is very important to carry out risk mitigation so that the risk of fire and dust explosion in this process area is at a low risk.

Read More
T-6749
Depok : FKM-UI, 2023
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Rr. Asri Wahyuningsih; Pembimbing: Robiana Modjo; Penguji: Laksita Ri Hastiti, Fetrina Lestari
Abstrak:
Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran fatigue dan hubungannya dengan faktor risiko terkait pekerjaan dan faktor risiko tidak terkait pekerjaan di PT X. Penelitian ini menggunakan desain studi cross-sectional dengan metode kuantitatif dan analisis deskriptif. Penelitian ini dilakukan kepada 373 operator dump truck yang tersebar di 8 site project di PT X pada Februari – Agustus 2022. Variabel dependen penelitian ini adalah faktor risiko terkait pekerjaan (masa kerja dan beban kerja) dan faktor risiko tidak terkait pekerjaan (umur dan tingkat pendidikan). Data yang dipergunakan di dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh melalui pengisian kuesioner Multidimentional Fatigue Inventory 20 (MFI-20) secara daring (online). Hasil menunjukan bahwa 67,3% responden mengalami fatigue. Keluhan fatigue cenderung dialami oleh operato dump truck yang memiliki masa kerja ≥ 10 tahun, beban kerja mengoperasikan 1 jenis dump truck, berumur ≥ 30 tahun, dan tingkat pendidikan SMA/SMK.

This study aims to seek fatigue image and its correlation with work-related risk factors and non-work-related risk factors in PT X. This study uses a cross-sectional study design with quantitative methods and descriptive analysis. This study was conducted with 373 dump truck operators spread across eight site projects in PT X in February – August 2022 as subjects. The study's dependent variables were work-related risk factors (work and workload) and non-work-related risk factors (age and education level). The data used in this study are secondary data obtained by filling out the Multidimensional Fatigue Inventory 20 (MFI-20) questionnaire online. Results showed that 67,3% of respondents experienced fatigue. Fatigue complaints tend to be experienced by dump truck operators with a working period of ≥ 10 years, a workload of operating 1 type of dump truck, an age of ≥ 30 years, and an educational level of SMA/SMK.
Read More
S-11212
Depok : FKM-UI, 2023
S1 - Skripsi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Husairi; Pembimbing: Doni Hikmat Ramdhan; Penguji: Baiduri Widanarko, Muhammad Novie Anshari
Abstrak: Operator haul truck merupakan salah satu pekerjaan yang berisiko tinggi untuk mengalami kelelahan kerja (fatigue) disebabkan oleh penerapan shift kerja, gangguan kuantitas dan kualitas tidur, serta pengaruh berbagai faktor lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara shift kerja, kuantitas dan kualitas tidur, serta faktor-faktor yang berhubungan dengan keluhan fatigue pada operator haul truck. Desain studi cross-sectional digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan kuisioner Fastigue Assessment Scale (FAS), pengukuran tingkat stress menggunakan alat cocorometer, serta pengukuran kuantitas dan kualitas tidur menggunakan alat fitbit di antara 196 responden laki-laki yang bekerja sebagai operator haul truck. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara kuantitas tidur (OR = 3,222, p = 0,028) dan kualitas tidur (OR = 2,800, p = 0,025) dengan kelelahan, sedangkan shift kerja tidak memiliki hubungan yang signifukan dengan kelelahan. Faktor risiko lain yang juga memiliki hubungan signifikan dengan kelelahan pada operator haul truck di PT X adalah beban mental (OR = 2,296, p = 0,027), lingkungan kerja (OR = 2,400, p = 0,014), monotoni pekerjaan (OR = 3,371, p = 0,002), usia (OR = 2,708, p = 0,005), dan sleep hygiene (OR = 3,840, p = 0,001).
Kata Kunci: Kelelahan; Fatigue Assessment Scale (FAS); Shift Kerja; Tidur; Fitbit

Operator haul truck Haul truck operator is one of the high-risk occupations in experiencing fatigue caused by the implementation of shift work, sleep quantity and quality disturbance, other related factors. The objective of this study was to analyze the relationship between shift work, quantity and quality of sleep, and other factors associated with fatigue on the haul truck operator. A cross-sectional study was conducted in this study using questionnaires of Fatigue Assessment Scale (FAS), measurement of stress using cocorometer, and measurement of sleep quantity and quality using fitbit among 196 male respondents who work as haul truck operator. The result of this study shown there is a significant correlation between the quantity of sleep (OR = 3,222, p = 0,028) and fatigue, also between the quality of sleep (OR = 2,800, p = 0.025) and fatigue. However, shift work has no significant correlation with fatigue. Other factors, including mental workload (OR = 2,296, p = 0,027), work environment (OR = 2,400, p = 0,014), monotonous work (OR = 3,371, p = 0,002), age (OR = 2,708, p = 0,005), and sleep hygiene (OR = 3,840, p = 0,001) also have significant correlation with operator fatigue in PT X.
Keywords: Fatigue; Fatigue Assessment Scale (FAS); Shift Work, Sleep; Fitbit; Haul truck operator
Read More
S-9883
Depok : FKM UI, 2018
S1 - Skripsi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Rahmah Aulia Natawijaya; Pembimbing: L. Meily Kurniawidjaja; Penguji: Baiduri, Devi Dwirantih
S-4663
Depok : FKM-UI, 2006
S1 - Skripsi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Jessica Natalie Basaria Malau; Pembimbing: Chandra Satrya; Penguji: Mila Tejamaya, Agrian Novaldi Mokodompit
Abstrak:
Kelelahan kerja merupakan perasaan lelah yang menyebabkan penurunan kemampuan kerja. Meski dapat ditemukan di setiap sektor industri, beberapa sektor lebih rentan terhadap kondisi ini karena kombinasi dari berbagai faktor risiko. Salah satunya adalah sektor tambang. Hingga saat ini, penelitian terkait kelelahan kerja di pertambangan belum banyak dilakukan pada pekerja mine support. Divisi X sebagai salah satu divisi mine support PT X telah mengalami insiden boat di mana kelelahan kerja terindikasi sebagai salah satu faktor laten. Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran komprehensif mengenai kejadian kelelahan kerja serta faktor risikonya, baik terkait kerja maupun tidak terkait kerja, yang dialami oleh operator boat di Divisi X PT X tahun 2023. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan desain penelitian deskriptif. Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner Subjective Self Test oleh Industrial Fatigue Research Committee, wawancara mendalam, pengisian formulir, dan dokumentasi. Informan terdiri atas informan utama, yaitu operator boat, sejumlah lima orang dan informan kunci, yaitu supervisor operator boat, sejumlah satu orang. Variabel yang diteliti terdiri dari kelelahan kerja, faktor risiko terkait kerja (pengalaman kerja, desain kerja, durasi kerja, waktu istirahat, shift kerja, dan lingkungan kerja), serta faktor risiko tidak terkait kerja (durasi tidur, kualitas tidur, dan waktu perjalanan). Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa semua operator boat Divisi X PT X mengalami kelelahan kerja tingkat ringan atau sedang, dengan faktor risiko terkait kerja yang dialami adalah desain kerja, durasi kerja, waktu istirahat, shift kerja, dan lingkungan kerja. Sementara faktor risiko tidak terkait kerja adalah durasi tidur, kualitas tidur, dan waktu perjalanan.

Work fatigue refers to the feeling of tiredness that resulted in reduced work performance. While this condition can be found in every industrial sector, some are more susceptible than others due to the combination of risk factors. Such example is the mining industry. Research on work fatigue in mine support workers is currently limited. Division X, one of the mine support division in PT X, has recently experienced a boat incident in which work fatigue was indicated as a latent factor. This research aims to provide a comprehensive overview of work fatigue experienced by boat operators in Division X of PT X in 2023, along with its related risk factors, both work- and non-work-related. This research uses qualitative method with descriptive design. Data is collected through Subjective Self Test questionnaire by Industrial Fatigue Research Committee, in-depth interviews, data form, and documentation. Informants consist of five boat operators as main informants and one direct supervisor as key informant. Variables studied consist of work fatigue, its work-related risk factors (work experience, work design, work duration, rest time, shift work, and work environment), and non-work-related risk factors (sleep duration, sleep quality, and commuting time). Result shows that all boat operators in Division X of PT X experience mild to moderate occupational fatigue, with work-related risk factors found being work duration, rest time, shift work, and work environment. Meanwhile, non-work-related factors include sleep duration, sleep quality, and commuting time.
Read More
S-11443
Depok : FKM-UI, 2023
S1 - Skripsi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Zahratunnisa; Pembimbing: Baiduri Widanarko; Penguji: Fatma Lestari, Rezki Kurnianto
Abstrak:
Stres kerja merupakan respons fisik dan emosional yang merugikan akibat ketidakseimbangan antara tuntutan pekerjaan yang dirasakan dengan sumber daya, kemampuan, serta kebutuhan individu dalam mengatasinya. Berdasarkan penelitian terdahulu, stres kerja merupakan permasalahan global dengan prevalensi tinggi di berbagai sektor dan profesi. Risiko serupa juga dialami oleh pekerja kantoran yang menghadapi tekanan dari beban kerja kompleks, tuntutan tinggi, serta jam kerja fleksibel. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan faktor psikososial dan faktor individu terhadap kejadian stres kerja pada karyawan PT X, sebuah perusahaan manufaktur di DKI Jakarta. Faktor yang diteliti adalah faktor individu, faktor konteks kerja, dan faktor konten kerja. Penelitian menggunakan desain cross-sectional dengan pengumpulan data melalui kuesioner. Analisis data meliputi uji chi-square untuk hubungan bivariat dan regresi logistik untuk variabel dengan kategori >2 menggunakan SPSS 22.0 guna mengidentifikasi pengaruh faktor independen terhadap stres kerja. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa prevalensi stres kerja sedang di PT X adalah sebesar 8,7%. Hubungan signifikan (p-value<0,05) ditemukan pada 8 faktor, yaitu jenis kelamin, status pernikahan saat ini, status kepegawaian, pengembangan karier, home-work interface, lingkungan dan peralatan kerja, beban/kecepatan kerja, serta jadwal kerja. Oleh karena itu, diperlukan penerapan manajemen stres kerja yang holistik, terutama pada faktor yang berhubungan dengan stres kerja, untuk mencegah kejadian stres kerja yang lebih besar serta meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan pekerja.

Work related stress is a harmful physical and emotional response resulting from an imbalance between perceived job demands and available resources, individual capabilities, and coping needs. Previous research shows it’s a prevalent global issue across professions and sector, including office workers facing complex workloads, high demands, and flexible schedules. This cross-sectional study examined psychosocial (work context and content) and individual factos influencing work related stress among employees at PT X, located in DKI Jakarta, that is a manufacturing company, using questionnaire data analyzed with chi-square test and logistic regression (SPSS 22.0). Results indicated an 8,7% moderate stress prevalence, with significant associations (p<0,05) found for gender, marital status, employment type, career development, work-home interface, work environment, workload, and work schedules. These findings support the need for holistic stress management interventions targeting these factors to improve employee welbeing and productivity.
Read More
S-11979
Depok : FKM-UI, 2025
S1 - Skripsi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Rekha Putra Atarita; Pembimbing: Robiana Modjo, ; Penguji: Mila Tejamaya, Muhammad Fachri
S-8998
Depok : FKM UI, 2015
S1 - Skripsi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
:: Pengguna : Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
Library Automation and Digital Archive