Ditemukan 30080 dokumen yang sesuai dengan query :: Simpan CSV
Filariasis (Penyakit Kaki Gajah) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria, yang hidup di saluran dan kelenjar geiah bening (sistem linafatik) dan dapat menyebabkan gejala klinis dan/atau kronis yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk, Dad basil survei darah jari pada tahun 2001 prevalensi (Mf rate) di Sulawesi Tengah 4,1 %. Survei darah jari yang dilakukan di 4 desa yang ada di Kecamatan Ampibabo pada tahun 2005 oleh Dinas Kesehatan Parigi Moutong di dapat Microfilaria rate tertinggi desa Ampibabo yaitu 32,3%, terendah di desa Lemo yaitu 16,3%. Sementara desa Sidole 22 % dan desa Tolole 26 %. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan faktor demografi (umur,jenis kelamin, jenis pekerjaan, pendidikan), faktor pengetahuan dan perilaku (kebiasaan pemakaian kelambu, kebiasaan bermalam di kebun pada waktu panen, kebiasaan memakai pakaian saat pergi ke kebun, pemakaian obat anti nyamuk dan kebiasaan keluar malam) dan faktor lingkungan (tempat perindukan dan konstruksi dinding rumah) dengan kej adian Filariasis Malayi. Penelitian ini menggunakan desain studi kasus kontrol. Sampel penelitian diambil dari hasil pemeriksaan survei darah jari. Jumlah kasus sebanyak 116 orang dan jumlah kontrol sebanyak 116 orang. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa faktor determinan yang berhubungan dengan kejadian Filarisis malayi adalah pengetahuan dengan nilai OR 4,8 (95% CI: 1,535 - 15,419), Pemakaian kelambu dengan OR 9,4 (95% CI: 2,969-29,926), kelengkapan pakaian saat pergi kekebun dengan OR 3,3 (95% CI: 1,069-10,343) dan kebiasaan keluar rumah pada malam hari dengan OR 26,2 (95% CI: 7,247-95,170). Dan faktor risiko yang paling dominan adalah kebiasaan keluar rumah pada malam hari. Dari hasil penelitian ini disarankan perlu dilaksanakan penyuluhan yang intensif dengan melibatkan semua kelompok potensial yang ada di masyarakat. Masyarakat disarankan berperilaku sehat seperti memakai kelambu pada waktu tidur di malam hari, dan menggunakan pakaian lengan panjang celana panjang pada waktu-ke kebun dan pada waktu keluar rumah dimalam hari. Dan perlu adanya dukungan dari pemerintah daerah setcmpat dalarn program pemberantasan penyakit Filariasis malayi.
Filariasis (Elephantiasis) is chronic contagion which because of worm of filaria, which is life in lymph gland and channel (system of lymphatic) and can cause symptom of clinical and or contagious chronic by various mosquito type. From result of survey finger blood in the year 2001 prevalence (Mf Rate) in Central Sulawesi 4,1%. Blood finger survey in 4 countryside exist in District of Ampibabo in the year 2005 by Public Health Service of Parigi Moutong in earning Mikrofilaria countryside highest rate of Ampibabo that is 32,3%, is lowered in countryside of Lemo that is 16,3%. For a while countryside of Sidole 22 % and countryside of Tolole 26 %. Target of this research to know demography factor relation (sex, age, work type, education), knowledge factor and behavior factor (habit of usage of mosquito net, habit spend the night in garden when crop, habit wear moment clothes go to garden, usage of drug anti mosquito and habit of night exit and environmental factor (breeding place and house wall construction) with occurence of Filariasis Malayi. This research use case control study. Research Sample taken away from result of inspection of finger blood survey. Amount of case counted 116 amount and people control counted 116 people. From result of research of showed that Factor determinant related to occurence of Filarisis malayi is knowledge with value of OR 4,8 (95% CI: 1,535 - 15,419), Usage of mosquito net with OR 9,4 (95% CI: 2,969-29,926), equipment of moment clothes go to garden with OR 3,3 (95% CI: 1,069-10,343) and habit of nocturnal house exit with OR 26,2 (95% CI: 7,247-95,170). And most dominant risk factor is habit of nocturnal house exit. From result of this research is suggested require to be executed by intensive counseling by entangling all potential group exist in society. Society suggested by behavior of healthy me like wearing mosquito net when sleep between two lights, and use long arm clothes of long pants when to garden and when nighttime house exit. And need the existence of support of Iocal government in program eradication of disease of Filariasis malayi.
Imunisasi merupakan satu tindakan pemberian kekebalan khusus kepada anak terhadap Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I), seperti tuberkulosis, difteri, pertusis, tetanus, polio, campak, dan hepatitis B, sebelum berusia satu tahun. Peningkatan cakupan imunisasi mampu menurunkan kematian akibat PD3I dari 23% tahun 1974 menjadi 10% di tahun 2000. Selama tahun 2005, Seksi Pengamatan dan Pencegahan Penyakit, Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Barat melaporkan 2.603 kasus campak klinis, 498 kasus hepatitis, 12 kasus tetanus neonatorum, dan 117 kasus pertusis. Kota Padang melaporkan 959 kasus campak klinis, 65 kasus hepatitis, dan 5 kasus tetanus neonatorum selama tahun 2005. Cakupan imunisasi di Puskesmas Pauh Kota Padang pada tahun 2005, adalah; BCG (89,8%), DPT1 (81,2%), DPT3 (67,8%), Polio 4 (75,8%), Hepatitis (66,6%), dan Campak (84,1%). Imunisasi dasar yang tidak lengkap, hanya memberikan perlindungan sebesar 25-40%. Perkiraan risiko untuk meninggal pada seorang anak balita yang tidak diimunisasi lengkap adalah sebesar 14 kali dibandingkan yang sudah diimunisasi lengkap. Penelitian ini menggunakan disain kasus kontrol, untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status imunisasi dasar pada anak. Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Pauh, dengan pertimbangan jumlah penduduk yang cukup besar, cakupan imunisasi rendah, dan masyarakat yang cukup kooperatif. Kasus adalah anak usia 12 sampai 23 bulan yang tidak mendapatkan salah satu imunisasi sebelum benisia satu tahun, sedangkan sebagai kontrol adalah anak yang sudah mendapatkan imunisasi berupa BCG, DPT1, DPT2, DPT3, Poliol, Polio2, Polio3, Polio4, Campak, serta hepatitis B1, hepatitis B2, dan hepatitis B3 sebelum berusia satu tahun. Kasus dan kontrol dicari dari register imunisasi di puskesmas, dari tanggal 1 Juni 2004 sampai 31 Mei 2005. Responden pada penelitian ini adalah ibu dari kasus rnaupun kontrol yang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Pauh pads waktu penelitian. Penelusuran variable-variabel yang diduga berhubungan dengan status imunisasi dasar dilakukan dengan mengadopsi konsep Green yang melihat faktor predisposisi (umur ibu, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pengetahuan ibu, sikap ibu, jumlah anak, dan pekerjaan suami), faktor pendukung (kepemilikan), dan fakt ar pendorong (anjuran). Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor predisposisi yang berhubungan dengan ketidaklengkapan imunisasi dasar pada anak di Puskesmas Pauh adalah umur ibu 30 tahun dengan OR = 3,10 dengan 95% CI: 1,83-5,26, pendidikan ibu yang rendah dengan OR = 2,01 dengan 95% CI: 1,10-3,69, pengetahuan ibu yang tidak bail( tentang imunisasi dengan OR = 2,16 dengan 95% CI: 1,20-3,90, dan pekerjaan suami pada sektor non formal dengan OR = 3,21 dengan 95% CI: 1,19-8,69. Faktor pendukung (kepemilikan) tidak berhubungan dengan ketidaklengkapan imunisasi dasar pada anak. Faktor pendorong berupa anjuran, berhubungan dengan ketidaklengkapan imunisasi dasar pada anak. Ibu yang tidak pernah mendapatkan anjuran imunisasi mempunyai risiko imunisasi anaknya tidak lengkap sebesar 4,17 kali jika dibandingkan dengan ibu yang mendapat anjuran dari tenaga non kesehatan, dan sebesar 3,86 kali jika dibandingkan dengan-ibu yard mendapat anjuran dari tenaga kesehatan. Anjuran untuk mengikuti program Keluarga Berencana setelah punya dua anak, tidak mempunyai Layi lagi setelah ibu berumur ? 30 tahun, meningkatkan pendidikan ibu, penggalakan kelompok belajar, penyuluhan imunisasi secara berkala dan berkesinambungan, revitalisasi posyandu, dan pelatihan imunisasi leader kesehatan diharapkan dapat ineningkatkan cakupan imunisasi pada masa yang akan datang.
Immunization is a procedure on giving a special protection on children, before one year of age, from diseases that can be prevented by immunization, such as tuberculosis, diphtheria, pertuses, tetanus, polio, measles, and Hepatitis B. The escalation on the immunization coverage has reduced the mortality, caused by the diseases that can be prevented by immunization, from 23% in 1974 to 10% in 2000. During 2005, the province of West Sumatra has reported cases on 2,603 clinical measles, 498 Hepatitis, 12 tetanus neonatorum, and 117 aertuses. Meanwhile, Kota Padang has reported 959 cases of clinical measles, 65 cases of Hepatitis, and 5 cases of tetanus neonatorum. The immunization coverage at Puskesmas Pauh of Kota Padang in 2005 is: BCG (89.8%), DPT i (81.2%), DPT3 (67.8%), Polio4 (75.7%), Hepatitis (66.6%), and measles (84.1%). Uncompleted basic immunization is only giving 25-40% of protection. An estimation on risk of death for children under five who have uncompleted immunization is fourteen times compare to those who have completed immunization. The design of the study is case-control in order to find out the factors related to the child status on basic immunization. The study is carried out in the working area of Puskesmas Pauh was chosen based on total among the population approximately, the low coveragi immunization as well as the cooperative behavior of the community. The case is children age 12 to 23 months who has uncompleted one of basic immunization before one year of age. Meanwhile, the control is children who have completed basic immunization before one year of age. The completed immunization should consist of immunization on ECG, DPT1, DPT2, DPT3, Polio], Polio2, Polio3, Polio4, Measles, HepatitisB-l, HepatitisB-2, and HepatitisB-3. The case and the control are found out from puskesmas' immunization registration, during 151 June 2004 to 315` May 2005. Respondents of the study are mothers of the case and the control who lives in the working area of puskesmas. Exploration on variables that assumed to have relationship with the status of basic immunization is accomplished by applying 'the concept of Green, which is looking at the predisposing factors (age, education, occupation, knowledge, attitude, number of children, and husband's occupation), the enabling factors (ownership) and the reinforcing factors (advice). The result of the study showed that predisposing factors have relationship with incompleteness of basic immunization status of children. The predisposing factors the are relationship also between the predisposing factors with status on basic immunization are: age > 30 years (OR: 3.19 with 95% CI at 1.83 - 5.26), low education (OR: 2.01 with 95% CI at 1.10 --- 3.69), poor knowledge on immunization (OR: 2.16 with CI 95% at 1.20 - 3.90), and husband's occupation at non-formal sectors (OR: 3.21 with CI 95% at 1.19 - 8.69). There is no relationship between enabling factor (ownership) with the incompleteness of basic immunization of the children. The reinforcing factor, in this case is the advice, is correlated with the incompleteness of basic immunization of the children. The risk of mother have never had an advice about child immunization have a risk 4.17 times to have incompleteness on child immunization compare to mothers who receive the advice from non-health personnel. While the risk is lower 3.86 times if compared to mother who receive the advice from health personnel. Suggestions are addressed the mothers to: participate on family planning program after having two children, not to be pregnant after 30 years of age, to increase the level of mother education, educational package programme for the mother to foolow sustainability of IEC immunization program. Posyandu revitalization, and immunization training for should voluntary health worker about immunization. Hopely by accomplish all the suggestion the immunization coverage will bw increase in the future time.
Infeksi Menular Seksual (IMS) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Sifilis merupakan salah satu IMS yang beberapa tahun terakhir meningkat termasuk Indonesia khususnya pada kelompok berisiko. Sifilis juga merupakan faktor risiko infeksi HIV, demikian pula sebaliknya. Supir truk antar kota merupakan populasi jembatan tansmisi sifilis dari resiko tinggi ke populasi umum. Penyakit ini sering tanpa gejala sehingga tidak disadari penderita padahal dapat menyebabkan penyakit yang serius seperti kerusakan jantung, otak bahkan kematian. Selain itu dapat ditularkan dari ibu kepada bayi yang kemudian dapat menyebabkan prematur, kecacatan dan kematian.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan infeksi sifilis pada supir truk antar kota di 4 kabupaten/kota yaitu Deli Serdang, Lampung Selatan, Batang dan Denpasar. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Penelitian ini menggunakan data STBP 2011 dengan jumlah responden 1492 orang. Pada penelitian ini diperoleh prevalensi sifilis 5,8%.
Hasil multivariat menunjukkan umur ≥ 35 tahun dan usia pertama kali berhubungan seks < 18 tahun berhubungan bermakna dengan infeksi sifilis dengan POR secara berurutan 2,63 dan 1,79. Setelah dilakukan pemodelan dengan regresi logistik, variabel yang menjadi prediktor infeksi sifilis pada supir truk antar kota adalah variabel umur ≥ 35 tahun, usia pertama kali melakukan hubungan seks (< 18 tahun) dan status HIV.
Sexually transmitted infections (STIs) are very common and still a public health problem worldwide. Syphilis is an STI caused by Treponema pallidum, which can be transmitted through sexual contact or from mother to child during pregnancy. Many studies have been revealed that syphilis promotes the transmission of HIV and both infections can stimulate and interact with each other. Recently there have been epidemics of syphilis in certain countries of the world especially in high risk groups. Long-distance truck drivers is a bridge transmission of syphilis from high risk to general population. Often the infected person does not realize that he has been infected and only can be detected by serological tests. If left untreated, may caused complications such cardiovascular and neurological. During pregnancy, syphilis may contribute to stillbirth, preterm delivery, and early fetal death.
The objective of this study was to indentify factors associated with syphilis infection among long-distance truck drivers in 4 municipalities (Deli Serdang, Lampung Selatan, Batang and Denpasar). This study disign is a cross sectional study using IBBS 2011 data with 1492 participants. The prevalence of syphilis was 5,8%.
In multivariate analysis, syphilis infection was associated with older age (≥ 35 years old) and age at first sex (< 18 years old) with POR respectively 2,63 and 1,79. After modelling with logistic regression, fit model of syphilis predictors include older age (≥ 35 years old), age at first sex (< 18 years old) dan HIV infection.
Cakupan pelayanan air minum di Indonesia masih rendah, hanya 40% masyarakat di perkotaan dan kurang dari 30% masyarakat pedesaan yang tersambung dengan jaringan air minum PDAM. Data kualitas air bcrsih di Kota Tangerang dari tahun 2004-2006 menunjukkan penurunan kuaiitas kimia rnaupun bakteriologis. Air dapat berperan sebagai transmisi penularan suatu penyakit seperti diare, melalui kumau-kurnan yang ditularkan lewat jalur air (waier borne disease) atau jalur peralatan yang dicuci dengan air (water washed disease). Di Kota Tangerang tahun 2005 diarc mencrnpati urutan ketiga untuk golongan urnur 1-4 tahun. Faktor-faktor yang mempengaruhi diare adalah lingkungan, status gizi, kependudukan, pendidikan, keadaan sosial ekonomi dan perilaku masyarakat. Tujuan penclitian ini untuk rnelihat apakah kejadian diare pada balita disebabkan oleh karena kualitas air minum yang secara bakteriologis tidak memenuhi syarat dcngan mnnggunakan desain penelitian kasus kontrol. Unit analisis penelitian ini adalah balita usia 9-59 bulan dengan total hesar sampel untuk kasus dan kontrol adalah 250. Teknik pengambilan sampel secara quota, dimana dari 25 Puskesmas yang ada setiap Puskesmas hanya diarnbil 5 kasus dan 5 kontrol. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara E. coli dalam air minum dengan kejadian diarc pada balita. Variabel kondisi jamban keluarga sebagai confounding. Keberadaan E. coli dalam air minum berhubungan secara signiiikan dengan kejadian diare pada balita setelah dikontrol oleh variabel kondisi jamban keluaxga. Disarankan perlu diadakan penyuluhan kepada masyarakat tentang cara penoegahan diare yaitu dengan melakukan pemeliharaan sumber air bersih, jamban keluarga dan hygiene perorangan khususnya cuci tangan serta selalu mcmasak air bersih sampai mendidih sebelum dikonsumsi sebagai air minum dan mcncuci Serta merebus botol dan tempat makan/minum balita.
Drinking water coverage in Indonesia is quite low, only 40% urban resident and less than 30% village resident that connected with drinking water system. Clean water quality data at Tangerang City from 2004 - 2006 shows chemical and bactcriology quality reduction. Water could'act as infection transmission of certain disease such as diarrhea through germs from water trail (water borne disease) or equipment trail washed with water (water washed disease). At Tangerang City year 2007 diarrhea located on third place for 1 - 4 years old group age. Factors affecting diarrhea are environment, nutrition status, residence, education, social economy condition and public behavior. This research aim to observe diarrhea cases in toddlers caused by drinking water quality as bacteriology is not fulfilling prereqnirement. This research is using case control research design. Research analysis unit is toddlers? age of 9 - 59 months with total sample for case and control as much as 250. Sample gathering technique performed as quota, where fiom 25 Puskesmas in every Puskesmas only took 5 cases and 5 controls. Research result shows that there is relation between E. coli in drinking water and diarrhea on toddlers. Variable of family toilet condition is confounding. E coli in drinking water as significantly related with diarrhea on toddlers after controlled by variable of family toilet condition. Suggested need counseling to public toward diarrhea prevention, maintain hygiene water source and family toilet and individual hygiene especially rinse. Also suggested to boil hygiene water until boiled before consumed as drinking water, washing and boiling bottle and toddlers lunch I box/drinking bottle.
Penyediaan air minum merupakan salah satu kebutuhan utama bagi manusia untuk hidup dan menjadi faktor penentu dalam kasehatan dan kesejahteraan manusia. Dalam memenuhi kebutuhan air minum masyarakat lebih meyukai air minum dalam kanasan(AMDK) yang ini adalah ada hubungan antara kualitas bakteriologis air minum depot dengan kejadian diare pada bayi di Kecamatan Cimanggis Kota Depok tahun 2008. Data yang dihasilkan dianalisa secara univarial, bivariat, multivariat dan uji interaksi. Secara staristik faktor berisiko yang menyebabkan terjadinya diare di Kecamatan Cimanggis Kota Depok adalah 1.) Higiene dan sanitasi makanan dan minuman 2). Perilaku cuci tangan ibu/pengasuh bayi, dan 3). Sumber air bersih lain, Pada multivaxiat faktor yang paling dominan yang berhubungan dengan kejadian diare Serta model akhir terjadinya diare pada bayi di Kota Depok tahun 2008 adalah "Faktor Perilaku Cuci Tangan Ibu yang berinteraksi dengan hygiene sanitasi makanan-minuman secara bersamaan", dengan OR sebesar 4,554 kali diproduksi oleh industri besar dan mewah melalui proses yang otomatis sem disertai pengujian laboratorium sebelum air tasebut diedarknn sehingga dianggap lebih praklis dan higienis. Namun AMDK semakin mahal dan masyarakat beralih pada air minum dari depot air minum yang harganya 1/3 dari AMDK walaupun masyarakat masih meragukan kualitasnya karena belum ada informasi yang jelas mengenai proses, perizinan dan peraturan tentang peredaran dan pengawasannya. Sedangkan pesyaratan kualitas air untuk keperluan minum dan rumah tangga haruslah memenuhi persyaratan fisik, kimia, bakteriologis dan radioaktif. Persyaraian bakteriologis mempunyai peranan yang sangat penting dalam menimbulkan gangguan kesehatan atau penyakit gangguan saluran pencernaan karena sifatnya yang akut seperti diare bila kualitas bakteriologis tidak tapenuhi. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hubungan antara kualitas bakteriologis (Ecoly air minum depot, sarana sanitasi lingkungan (sarana air bersih, Jamban keluarga dan sarana pembuangan sampah), higiene dan sanitasi makanan/minuman, perilaku cuci tangan ibu/pengasuh bayi, karakteristik bayi (status gizi, stmus irnunisasi, ) dan karakteristik keluarga bayi (pendidikan ibu dan pmdapatan keluarga) dengan kejadian diare pada bayi di Kecamatan Cimanggis Kota Depok tahun 2008. Disain penelitian adalah kasus komrol, dengan jumlah sampel pada kasus sebesar 75 responden dan kontrol 75 responden. Hipomis dalam penelitian.
Dringking Water is one ofthe main needs for people to live and a key factor in the health and welfare of human, In meeting the needs of drinking water, more people like drinking water in the packaging (AMDK) produced by big industry and has been through automatic process and testing laboratory before distributed so that it is considered more practical and hygienic. However AMDK the more expensive and people move on drinking water from drinking water depot price of 1 / 3 of AMDK Although people are still doubting to the quality because there is no clear information about the process, licensing and regulation of circulation and control. While the requirements of water quality for drinking and household must meet the requirements of the physical, chemical, bacteriological and radioactive. Terms of bacteriological (E.eoli) has a "very important roie inthe cause health or disease interference charutel is due to the digestion such as acute diarrhea if the quality is not met. This study aims to examine the relationship between the quality of bacteriological (E.coIi) depot drinking water, environmental sanitation facilities (water, toilet facilities and household waste disposal), hygiene and sanitation, food / beverage, hand-washing behavior of U18 mother / baby sitter, characteristics baby (nutrition status, immunization status,) and family characteristics of infants (maternal education and family income) with diarrhea outbreak in infants in the District Cimanggis Depok City in 2008. Research design is the case with 75 cases and 75 control. Hypothesis in this research is: is there any relation between water quality (E. coli) &om water reilling station with incidence of baby diarrhea 7 Data taken from observation is analyzed by univariate, bivariate, interaction test and of multivariate. From statistical view the risk factors that cause diarrhea in District Cimanggis Depok are; 1). Hygiene and sanitation, food and beverages. 2). Hand-washing behavior ofthe mother/ baby sitter, and 3). Another source of clean water. The most dominant factor related to the diarrhea outbreak and the end of a model of diarrhea in infants in the city oflakarta in 2008 is a "factor ofwashirrg Hands with Mother of Hygiene, sanitation, food drink together" with the OR of 4.554 times.
Malaria hampir ditemukan di seluruh bagian dunia, terutama di negara-negara yang beriklim tropis dan sub tropis, dan penduduk yang berisiko terkena malaria 2,3 milyar atau 41% dari jumlah penduduk dunia. Penyakit ini hampir tersebar di seluruh kepulauan di Indonesia dengan jumlah kesakitan sekitar 70 juta atau 35% penduduk Indonesia. Malaria di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung cukup tinggi, tergambar dari Annual Malaria Incidence (AM!) 27,7% tahun 2004 dan meningkat pada tahun 2005 menjadi 37,59%o. Dibandingkan dengan target AMI nasional 25%0 (2004) dan 22,5%0 (2005) ternyata masih di atas AMI nasional dengan kategori Mediun Incidence Area (MIA). Kejadian malaria di Kota Pangkalpinang pada tiga tahun terakhir meningkat terus secara berturut-turut AMI 25,2%0 (2002), 25,7%0 (2003) dan 29,5%0 (2004). Dari sebanyak 6531 sampel darah yang diperiksa tahun 2005 diperoleh Slide Positive Rate (SPR) 46,5% dimana 50,85% diantaranya Plasmodim falsiparum positif, terjadi peningkatan 8,7% bila dibandingkan dengan tahun 2004. Tujuan penelitian ini, untuk mengetahui peran tempat perindukan nyamuk dan pengaruh faktor-faktor risiko lainnya (kovariat) terhadap kejadian malaria falsiparum di Kota Pangkalpinang. Desain penelitian adalah studi kasus kontrol, menggunakan data primer. Jumlah sampel keseluruhan 434, jumlah kasus dan kontrol masing-masing 217 (perbandingan 1:1). Kasus adalah penduduk yang berkunjung ke Puskesmas berusia 15-55 tahun dengan gejala klinis malaria; demam, menggigil secarn berkala, berkeringat, mengeluh sakit kepala, dan basil pemeriksaan sediaan darah positif Plasmodim falsiparum dan bertempat tinggal di wilayah Kota Pangkalpinang lahun 2006, sedangkan kontrol mempunyai kondisi yang sama dengan kasus tetapi basil pemeriksaan sediaan darahnya negatif semua jenis Plasmodim malaria Pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret hingga Mei 2006. Variabel penelitian adalah kejadian malaria falsiparum (dependen), dengan tempat perindukan nyamuk sebagai variabel independen utama dan delapan variabel kovariat (pemeliharaan binatang temak, dinding rumah, kebersihan lingkungan, pemasangan kawat kasa, pemakaian kelambu, penggunaan obat nyamuk, kebiasaan pembersihan lingkungan dan perilaku tokoh masyarakat. Hasil uji bivariat terdapat 8 (delapan) variabel berhubungan secara bermakna dengan kejadian malaria falsiparum (p-value<0,05), hanya satu variabel yang tak berhubungan secara statistik yaitu; variabel dinding rumah (p-value>0,05). Setelah dilakukan analisis multivariat, variabel yang berhubungan dengan kejadian malaria falsiparum hanya enam variabel yaitu; tempat perindukan nyamuk, pemeliharaan binatang ternak, kebersihan lingkungan, pemasangan kawat kasa, pemakaian kelambu, penggunaan obat nyamuk, dan kebiasaan pembersihan lingkungan. Peran tempat perindukan nyamuk setelah dikontrol (adjust) dengan kelima variabel lain yang berpengaruh terhadap kejadian malaria falsiparum diperoleh p-value =0,000 dan OR ad1=3, 506. Pada dasarnya tempat perindukan nyamuk sebagai variabel independen utama berperan panting untuk terjadinya malaria falsiparum. Efek atau risiko oleh adanya tempat perindukan nyamuk tersebut tetap tinggi walaupun sudah dikontrol oleh variabel lainnya (OR adj=3,506, 95%CI:2,285-5,378). Variabel lain yang ternyata ikut berperan untuk terjadinya infeksi malaria falsiparum adalah pemeliharaan binatang ternak, kebersihan lingkungan, pemasangan kawat kasa, pemakaian kelambu, dan penggunaan obat nyamuk. Dan penelitian ini dapat disarankan adalah memasyarakatkan Gerakan Jum'at Bersih, penyuluhan kesehatan masyarakat untuk memberdayakan tokoh masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), menjalin kemitraan dengan stakeholder serta merancang program pencegahan dan pemberantasan malaria yang berbasis wilayah dan masyarakat dengan dikukuhkan dalam bentuk peraturan daerah (Perda) Kota Pangkalpinang.
Malaria is almost found in all over the world, especially in countries which have tropical climate and sub tropical, and population which have a malaria risk, they are 2,3 billions or 41% of world population number. This disease almost spread over in all of archipelago in Indonesia with morbidity rate are 70 millions or 35% of population in Indonesia. Malaria rate is highest in province of Kepulauan Bangka Belitung, It showed by an Annual Malaria Incidence (AMI) is 27,7% in 2004 and it is increasingly to be 37,59% in 2005. Compared to a national purpose of Annual Malaria Incidence is 25% (2004) and 22,5% (2005), it indicated above a national Annual Malaria Incidence with Medium Incidence Area (MM) category. Malaria occurrence at Pangkalpinang in the last three years increased by an Annual Malaria Incidence (AMI) is 25,2°Imo (2002), 25,7°Imo (2003), 29,5°I. (2004). From 6531 blood samples checked in 2005 are obtained Slide Positive Rate (SPR) are 46,5% and 50,85% of them are positive Plasmodium falciparum, increased 8,7% compared in 2004. This research purpose is to know role of a mosquitos breeding place and effect of other risk factors (covariate) to malaria falciparum occurrence at Pangkalpinang. This research used a control case study design with a primary data. All samples number are 434, each cases and controls number are 217 (comparison 1:1). Cases are population who visited to primary health care with 15-55 years old by a symptom of a clinic malaria: fever, trembling periodically, sweating, headache and examination result indicated a positive blood preparation of Plasmodium falciparum who lived at Pangkalpinang in 2006, while controls have the same condition as cases but its result of blood preparations for all types of Plasmodium malaria are negative. Data collected from March-May 2006. Research variable is malaria falciparum occurrence (dependent), with a mosquito breeding places as a main independent variable and eight covariate variables (breed animal conservancy, house wall, hygienic environment, wire netting installation, usage of mosquito net, usage of mosquito prevention, hygienic environment practice, and public figure behavior. There are eight variables from bivariate test result which have a meaning correlation with malaria ,falciparum occurrence (p-value<0,05), only one variable which do not correlate statistically, it is a house wall variable (p-value>0,05). After multivariate analysis, there are only six variables which related to malaria occurrence, such as mosquitos breeding place, breed animal conservancy, hygienic environment, wire netting installation, usage of mosquito net, usage of mosquito prevention, hygienic environment practice. Role of mosquitos breeding places after controlled (adjust) with other fifth variables which have effect to malaria falciparum occurrence obtained p-value=0,000 and ORadj=3,506. Basically, mosquitos breeding places as a main independent variable, has played the important role to malaria falciparum occurrence. The existence of mosquitos breeding places has a highest risk although it has been controlled with other variable (CRad1=3,506, 95%Cl: 2,285-5,378). The other variables which have important roles of malaria falciparum infection are breed animal conservancy, hygienic environment, wire netting installation, usage of mosquito net, and usage of mosquito prevention. From this research can be suggested by socializing of "Gerakan Jum'at Bersih ", counseling of public health to give a change for public figure and non government organization, making a relationship with stakeholder as a partner and planning a prevention and eradication of malaria program based on district and community confirmed in the form of a district regulation of Pangkalpinang.
Health Care-Associated Infection (HAIs) telah menjadi topik besar dari tahun ketahun. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan berat lahir dengan ketahanan bayi terhadap infeksi aliran darah (IAD). Variabel lain yang ikut dianalisis hubungannya dengan ketahanan bayi terhadap IAD adalah, jenis kelamin, usia gestasi, APGAR, kelainan kongenital, usia ibu saat melahirkan, penyakit maternal dan penggunaan alat invasif seperti kateter intravena, ETT dan NC-CPAP.
Desain penelitian adalah kohort retrospektif dengan menggunakan metode Kaplan Meier, menggunakan rekam medis pasien perinatologi Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo.tahun 2012. Selama periode pengamatan, dari 298 bayi yang memenuhi kriteria inklusi penelitian, diketahui ketahanan terhadap IAD pada non BBLR 72,4% dibandingkan dengan BBLR 69,3%. Insiden IAD sebesar 8,7 % (5,9/1000) dengan median waktu ketahanan terhadap infeksi adalah 10 hari. Berat lahir memiliki efek protektif terhadap IAD sebesar 0,54 (p > 0,05), sedangkan kateter sentral diketahui memiliki efek resiko yang besar terhadap kejadian IAD (HR= 6,5; 95% CI: 2,4-17,6; p< 0,001).
Health Care-Associated Infection (HAIs) has become a major topic from year to year. The objective of this study was to assess relation of birth weight to Blood Stream Infections (BSI) survival rate in neonates. Other variables were also analyzed related to survival rate were sex, gestational age, APGAR score, congenital abnormality, maternal age, maternal disease and presence of invasive devices such as intravenous catheters, ETT and NC-CPAP.
This was a retrospective cohort study with Kaplan Meier method, using patients? medical record of Unit Perinatology National General Hospital of Dr. Cipto Mangunkusumo in 2012. During study period, among 298 infants who met inclusion criterias, survival rate of BSI in LBW was 72,4% compared with 69,3% in HBW. Total incidence of BSI was 8,7% (5,9 / 1000) with a median survival time was 10 days. Birth weight has a protective effect on BSI of 0,54 (p> 0,05), while central catheters are known to have highly effect on BSI (HR = 6.5, 95% CI: 2,4 to 17,6, p <0,001).
