Ditemukan 28710 dokumen yang sesuai dengan query :: Simpan CSV
Perkembangan AIDS di Indonesia terjadi dengan sangat pesat Secara kumulatif. jumlah penderita AIDS di Indonesia sejak kasus pertama ditemukan pada 1 Juli 1987 sampai dengan 31 Desember 2007 adalah 11.141 kasus denganjumlah kematian 2369 kasus (21,26%), Menurut laporan tahunan terbaru dari Badan Dunia untuk penanggulangan HlV/AlDS atau UNAIDS, Indonesia berada pada urutan nomor satu di Asia terkait dengan tingkat kecepatan laju epidemi HlV, Kasus baru di Indonesia ini, paling banyak dirularkan melalui pemakaian napza suntik. Dari hasil penelitian ini diperoleh informasi bahwa ketahanan hidup pasien AIDS dipengaruhi oleh jumlah CD4 dan tempi ARV. Sedangkan variable umur, jenis kelamin, status TBC dan status Hepatitis belum bennakna dalam mempeogaruhi ketahanan hidup pasien AIDS. Probabilitas ketahanan hidup I tahun pasien AIDS adalah 54,46% sedangkan probabilitas ketabanan hidup 3 tahun pasien AIDS adalah 40,60% dengan median ketahanan hidup 22 bulan. Pasien AIDS dengan jumlah CD4<=50 sel/mm3 memiliki risiko kematian 2.885 kali lebih besar dari pasien AIDS dengan jum1ah CD4 >50 sellmm' [Cl95% 1.481-5.619]. Pasien AIDS yang lidak mendapatkan tempi ARV memiliki risiko kematian 2.006 kati lebih besar dad pasien AIDS yang mendapatkan terapi ARV [C!95% 1.168-3.448]. Berdasarkan hasil penelitian ini disarankon kepada RSKO Jakarta. agar metengkapi Iaboratorlumnya dengan sarana untuk pemcriksaan jumlah CD4 dan pada saat melaksanokan VCT agar ditegaskan tentang pentingnya deteksi dan penanganan dini dengan menggunakan media yang icpnt untuk meningkatkan ketahanan hidup pasien AIDS. Kepada PPM&PL Depkes dan Komisi Penanggulangan AiDS, dlsarankan agar menjamin ketersedian dan kelancanm distribusi ARV ke s:eluruh wilayah Indonesia serta lebih serius dalam upaya pengadaan tempi lain selain ARV yang dapat meningkatkan ketahanan hidup pasien AIDS. Sosialisasikan strategi nasionai penanggulangan HIV/ AIDS 2007-2010 dengan media dan metoda yang tepat.
ABSTRAK Kesetaraan gender adalah suatu konsep yang masih diupayakan oleh pemerintah Indonesia untuk mencapai kondisi yang ideal. Disparitas gender, dimana pemberdayaan perempuan belum maksimal, secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi hal-hal dimana wanita memegang peranan baik sebagai pengambil keputusan maupun sebagai pelaku di berbagai bidang dalam kehidupan bermasyarakat. Keterlibatan wanita dalam berbagai aspek kehidupan harus diperhitungkan, terlepas apakah kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sudah mencapai kondisi yang ideal atau tidak. Kondisi pemberdayaan perempuan Indonesia di setiap provinsi berbeda-beda. Pemberdayaan perempuan sendiri diukur melalui sikap menolak ‘kumpul’ dengan suami pada kondisi tertentu, keterlibatan dalam pengambilan keputusan rumah tangga, dan sikap istri atas pemukulan suami terhadap istri. Berdasarkan SDKI 2007, kondisi pemberdayaan perempuan di Indonesia, apabila dilihat dari sikap setuju terhadap pemukulan suami terhadap istri, persentase Provinsi NTT masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan DI. Yogyakarta. Kemudian untuk sikap setuju dengan semua alasan penolakan ‘kumpul’ dengan suami untuk kondisi tertentu, persentase yang setuju untuk semua alasan di DI. Yogyakarta sebesar 81,9 %, sedangkan di NTT sebesar 63%. Maka dapat disimpulkan bahwa kondisi pemberdayaan wanita di DI. Yogyakarta lebih baik daripada di NTT. Selain itu, TFR DI. Yogyakarta pada tahun 2007 sebesar 1,8, dan NTT sebesar 4,2. Desain penelitian ini cross sectional dengan menggunakan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 dengan memilih 1654 responden perempuan yang memiliki anak lahir hidup dan masih terikat dalam ikatan perkawinan. Analisis Structural Equation Modelling (SEM) digunakan untuk melihat hubungan sikap menolak ‘kumpul’ dengan suami pada kondisi tertentu, keterlibatan dalam pengambilan keputusan rumah tangga, dan sikap istri atas pemukulan suami terhadap istri dengan jumlah anak lahir hidup. Hasil penelitian menunjukkan semakin tidak setuju dengan sikap menolak ‘kumpul’ dengan suami pada kondisi tertentu maka semakin tinggi fertilitas, semakin rendah keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan rumah tangga maka semakin tinggi fertilitas. Dari persamaan yang terbentuk, sikap menolak ‘kumpul’ dengan suami pada kondisi tertentu, keterlibatan dalam pengambilan keputusan, dan umur kawin memiliki pengaruh paling besar terhadap fertilitas (R2=0,049).
ABSTRACT Gender equality is a concept that is still being pursued by the Indonesian government in order to achieve the ideal conditions. Gender disparity, where the empowerment of women is not maximized yet, affects the things in which women play a role both as decision makers and subjects in various fields, either directly or indirectly. The involvement of women in various aspects of life must be taken into account, regardless of whether gender equality and empowerment of women have reached the ideal condition or not. Indonesian women empowerment conditions in each province vary. Empowerment of women is measured by their refusal to have sexual intercourse with their spouses, involvement in household decision-making, and the wives’ acceptance of physical abuse committed by their husbands. According to 2007 IDHS, the condition of women's empowerment in Indonesia; measured by acceptance of husband’s physical abuse, shows that NTT province’s rate is still higher compared to DI. Yogyakarta’s. On the other hand, concerning the agreement to all the reasons for refusing sexual act with the husbands to certain conditions, the percentage of respondents who agreed to all the reasons in DI. Yogyakarta reaches 81.9%, while in NTT province is 63%. It can be concluded that the condition of women empowerment in DI. Yogyakarta is better than in NTT. In addition, the TFR IN. Yogyakarta in 2007 was 1.8 and NTT was 4.2. This study design is cross-sectional, using data Indonesian Demographic and Health Survey (IDHS) 2007 with 1654 respondents consist of women who have children born alive and are still married. Analysis of Structural Equation Modeling (SEM) is used to analyze the relationship between refusal to have sexual intercourse with their spouses in certain circumstances, involvement in household decision-making, the wives’ stand regarding physical abuse committed by their husbands and the number of babies born alive. The results show that the less of refusal to have sexual act with spouses in certain circumstances, the higher the fertility rate ; the less women’s involvement in household decision-making, the higher the fertility rate. Based on the equations formed, the refusal act to have sexual intercourse with husband in certain circumstances, involvement in decision-making, and the marriageable age have the most impact on fertility (R2 = 0.049).
Tahun 2003, kelangsungan pemberian ASI eksklusif di tiga Kabupaten (Cirebon, Cianjur dan Ciamis) Propinsi Jawa Barat masih rendah, yaitu 0,06%. Rendahnya kelangsungan pemberian ASI eksklusif ini diperkirakan karena belum dilakukan kajian ilmiah mengenai kelangsungan pemberian ASI eksklusif secara komprehensif dengan metode yang memadai secara substansial. Oleh karena itu karena itu dilakukan penelitian dengan metode yang memadai dengan analisis survival untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kelangsungan pemberian ASI eksklusif. Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif pada 1339 orang ibu menyusui yang terdapat di tiga kabupaten (Cirebon,Cianjur Dan Ciamis) Propinsi Jawa Barat pada tahun 2003. Analisis yang digunakan adalah analisis survival. Penelitan ini mendapatkan hasil bahwa kelangsungan pemberian ASI eksklusif di tiga Kabupaten (Cirebon,Cianjur dan Ciamis) Propinsi Jawa Barat adalah 0,75%. Penelitian ini menemukan faktor yang berpengaruh terhadap kelangsungan pemberian ASI eksklusif adalah faktor kontrasepsi yang digunakan ibu dan faktor kunjungan ke tenaga kesehatan pada saat neonatal. Faktor kontrasepsi yang digunakan ibu merupakan faktor pencetus ketahanan pemberian ASI eksklusif dengan hazard ratio sebesar 11,5 sedangkan faktor kunjungan ke tenaga kesehatan pada Saat neonatal rnerupakan faktor yang bersifat protektif terhadap kelangsungan pemberian ASI eksklusif dengan hazard ratio sebesar 0,11. Berdasarkan hal tersebut di atas perlu dilakukan peningkatan penggunaan kontrasepsi non pil bagi ibu yang menyusui, selain itu juga perlu ketegasan pelaksanaan Kepmen No. 237/MENKES/SK/IV/1997 tentang pemasaran susu pengganti serta pemantauan kelangsungan pemberian ASI eksklusif dengan menggunaan KMS. Perlu juga dilakukan penelitian lebih mendalam yang mencakup variabel Iain seperti sisial budaya dengan pendekatan yang lebih memadai untuk dapat menjelaskan kelangsungan pemberian ASI eksklusif.
In 2003, the continuity of exclusive breastfeeding in the three regions (Cirebon, Cianjur, and Ciamis) of West Java Province, which is 0.75%, is still low. This is possibly because scientific evaluation about the continuity of exclusive breastfeeding has never been conducted comprehensively using a method that is substantially adequate. Therefore a research is done using an adequate method of survival analysis to determine the factors which influence the continuity of exclusive breastfeeding. The study design is retrospective cohort based on 1339 lactating mothers living in the three regions (Cirebon, Cianjur, and Ciamis) of West Java Province in the year of 2003. The analysis used is survival analysis. Results from the study show that the continuity of exclusive breastfeeding in the three regions (Cirebon, Cianjur, and Ciamis) of West Java Province is 0.75%. This research found factors which influence the continuity of exclusive breastfeeding are contraception used by mothers and visits to health personals during neonatal period. The contraception used by mothers is a trigger factor for persistency in exclusive breastfeeding with a hazard ratio of 11.5 whereas, visits to health personals during neonatal period has a protective effect for persistency in exclusive breastfeeding with a hazard ratio of 0.11. Based on the findings stated above, there is a need to increase the use of non-pill contraception for lactating mothers. In addition, there is a need for firm implementation of Kepmen No. 237/MENKES/SK/IV/1997 regarding replacement marketing baby milk as well as monitoring the continuity of exclusive breastfeeding by using KMS. A more profound study, which includes other variables such as social culture, with an adequate approach needs to be conducted in order to provide an explanation for the continuity of exclusive breastfeeding.
Background: Infant’s survival is still low on Indonesia, it based on high IMR level on Indonesia. IMR on Indonesia is higher compared to other ASEAN country and still on intermediate rock condition and multiplicity among the area, which are 32 per 1000 birth on urban and 52 per 1000 birth on rural. From previous researches which more concentrate on factors relate to infant mortality, and few analyze on infant’s survival age, and not comparing infant’s survival on urban and rural. Objektive: This research’s aim is to describe infant’s survival probability also analyzing faktors relate to infant’s survival on Indonesia and based on the urban and rural area. Methods: This research is using SDKI 2002-2003 data. Cross sectional data on SDKI 2002-2003 can be analyze by survival analyses because it contain time and event information, with survey period from infant’s birth until less than one year age. Sample’s amount 11.588 infant, consist of 4.769 infant on urban and 6.819 infant on rural. Data analysis using survival analysis application with life table and Cox regression also time independent covariate if variabel doesn’t meet proportional hazard ratio assumption. Result: Probability infant’s survival on urban (98,59%) higher than on rural (97,54%). On rural infant’s mortality proportion is twice higher than on urban. Infant’s survival time probability decline on first month age (neonatal mortality), for higher age infant’s survival time probability is still low, but not as low as the first month age. According to the area, on urban infant’s survival time probability is even lower than on rural. Faktors related to infant’s survival time probability on urban are birth weight, breast feeding period, birth assistance and interaction between birth assistance with birth weight after controlled by antenatal service visit frequency faktor, birth weight, birth assistance, birth queue number, breast feeding period, bearing place, birth assistance interaction with breast feeding period after controlled by birth distant faktor and gender. Conclusion: Infant’s survival determinant faktor is infant condition when the baby born, besides the antenatal service visit frequency. As a dominant faktor is breast feeding period. Midwife or birth assistance is a precondition faktors of infant’s weight effect and breast feeding on infant effect to infant survival time. Appropriate intervention is needed for problem that found on each city and rural area. Main intervention effort is increasing early breast feeding as soon as the infant born which also an advantage for lessening birth interval, beside it also improves birth assistance ability on BBLR infant process, and helps mother on breast feeding as soon as the baby born, increase antenatal service coverage, and increase birth delivery coverage by health worker. Keyword: Infant, Infant Survival, Survival Analysis, Rural and Urban, Proportional Hazard Model.
