Hasil Pencarian :: Kembali

Ditemukan 33896 dokumen yang sesuai dengan query ::  Simpan CSV
cover
Herryanto ... [et al.]
MPPK Vol.XIV, No.2
Jakarta : Balitbangkes Kemenkes RI, 2004
Indeks Artikel Jurnal-Majalah   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Idrus Salim; Pembimbing: Tri Yunis Miko Wahyono; Penguji: Zulasmi Mamdy, Lukman Hakim Siregar, Rosmini Day
Abstrak:

Proporsi ketidakpatuhan penderita Tb paru berobat di beberapa daerah di Indonesia, angkanya bervariasi dan umumnya masih tinggi mulai dari 30 % sampai dengan 65 %. Kepatuhan berobat sangat penting karena berhubungan dengan resistensi. Di Kota Padang Propinsi Sumatera Barat penderita Tb paru dengan pengobatan kategori 1, tidak patuh berobat sebesar 38,88 %, sehingga kemungkinan terjadinya resistensi masih cukup tinggi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan persepsi penderita terhadap peran pengawas menelan obat dengan kepatuhan penderita Tb paru berobat di kota Padang tahun 2001. Penelitian ini dilaksanakan dalam waktu satu setengah bulan dengan menggunakan data primer.Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kasus kontrol. Sampelnya adalah sebagian atau seluruh penderita tuberkulosis paru berumur 15 tahun atau lebih yang berobat ke Puskesmas di Kota Padang dari 1 Januari 2001 s/d 31 Desember 2001 yang memdapat obat anti tuberkulosis (OAT) kategori I. Jumlah sampel sebesar 260 responden, yang terdiri dari 130 responden sebagai kasus dan 130 responden sebagai kontrol.Hasil penelitian menunjukkan bahwa probabilitas penderita Tb paru BTA positif yang tidak patuh berobat terpapar oleh aktivitas PMO kurang baik 18,95 kali lebih besar, dibandingkan dengan probabilitas penderita Tb paru BTA positif yang terpapar dengan aktivitas PMO baik, setelah dikontrol oleh penghasilan keluarga dan pengetahuan penderita.Pengukuran dampak potensial memberikan informasi adanya kantribusi aktivitas PMO kurang baik terhadap terjadinya ketidakpatuhan penderita Tb paru BTA positif berobat di Kota Padang sebesar 81,46 %.Penelitian ini menyarankan kepada pengelola program perlu meningkatkan pengetahuan dan motivasi pengawas menelan obat, agar dalam melaksanakan tugas pengawasannya berjalan secara aktif. Meningkatkan pengetahuan penderita mengenai penyakit Tb paru serta akibat bila tidak patuh berobat. Dan perlu di teliti lebih lanjut terhadap variabel jenis PMO dan pekerjaan serta penghasilan keluarga dengan sampel yang lebih besar.


 

The Relationship of the Perception of Tb Patients on the Role of Treatment Observer and Compliance of Pulmonary Tuberculosis Patients in Padang, 2001The proportion of tuberculosis patients who does not take treatment regularly in Indonesia varies with areas, with the number ranging from 30 to 65%. Regularity in taking treatment is very crucial because it relates to drug resistance. In Padang, West Sumatra, category I tuberculosis sufferers who do not take treatment regularly is 38, 88%. Hence, the possibility of resistance is still high. The objective of the research is to study the perception relationship between the role of drug intake supervisors (DIS) or treatment observer and compliance of pulmonary tuberculosis patient attending the treatment in Padang in 2001. This study was conducted during a month and a half period using primary data.The design used is case-control study. Its sample consists of all pulmonary TB patient age 15 or above who take treatment at public health centers in Padang from January 1 to December 31, 2001. All of TB patient received-category I anti-tuberculosis drugs. The size of the sample is 260; the respondents consist of 130 as cases and another 130 as controls. The study found that the probability of positive sputum acid fast bacilli (category I) pulmonary TB patient who do not take treatment regularly under insufficient supervision of drug intake supervisors (DIS) is 18.95 times higher than the probability of category I pulmonary TB patients who do not take treatment regularly under sufficient supervision of drug intake supervisors (DIS), after improvement of family income and knowledge level of TB patients.As a conclusion, potential impact measurement provide information that insufficient activities of drug intake supervisors contribute to the irregularity of category I pulmonary TB patients in taking treatment in Padang of 81.46%.It is recommended to all program directors to improve knowledge and motivation of treatment observer and compliant in order to increase effectiveness of their supervisory duties. In addition, they should also improve knowledge of pulmonary TB patients and communicate negative impacts of not taking treatment regularly. And research of this kind should be expanded in the future, especially that relates to drug intake supervisors types, jobs, and family income, with bigger samples.

Read More
T-1302
Depok : FKM-UI, 2002
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Journal of Infectious Diseases, Vol.3, No.01, 2016, hal. 32-38
[s.l.] : [s.n.] : s.a.]
Indeks Artikel Jurnal-Majalah   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Ribka Kezia Angelica Sagala; Pembimbing: Popy Yuniar; Penguji: Martya Rahmaniati Makful, Umi Zakiati
Abstrak:
Kepatuhan pengobatan Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu masalah kesehatan utama dalam menanggulangi TB di Indonesia. Proporsi kepatuhan minum obat TB di Indonesia mengalami penurunan dari tahun 2018 (69,2%) ke tahun 2023 (62,5%). Dalam strategi DOTS, dijelaskan bahwa salah satu upaya mengendalikan kepatuhan pengobatan adalah  kehadiran Pengawas Menelan Obat (PMO). Namun, proporsi pasien TB yang memiliki PMO juga mengalami penurunan dari 66,2% menjadi 62,1%. Oleh karena itu, penelitian ini hendak menelusuri apakah penurunan keberadaan PMO berkontribusi terhadap penurunan kepatuhan pasien TB usia ≥ 15 Tahun meminum obat di Indonesia menggunakan data sekunder Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023. Desain studi yang digunakan adalah potong lintang. Analisis yang dilakukan adalah analisis univariabel, bivariabel, dan multivariabel. Hasil penelitian menemukan hubungan signifikan antara keberadaan PMO dengan kepatuhan minum obat (OR: 4,62; 95% CI: 2,39–8,93). Setelah dikontrol dengan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status ekonomi, dan komorbid DM, dan kepemilikan jaminan kesehatan, keberadaan PMO masih berhubungan positif dengan kepatuhan (AOR: 4,41; 95% CI: 2,18–8,90). Hasil tersebut menunjukkan bahwa kehadiran PMO relevan dan penting untuk meningkatkan kepatuhan dan keberhasilan pengobatan TB Paru di Indonesia. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan pasien TB adalah mengoptimalisasi peran dan kualitas PMO baik dari keluarga maupun tenaga kesehatan.


Treatment adherence for tuberculosis (TB) remains one of the major health challenges in TB control efforts in Indonesia. The proportion of TB patients adhering to treatment decreased from 69.2% in 2018 to 62.5% in 2023. In the DOTS strategy, one of the key efforts to improve treatment adherence is the presence of a Treatment Supervisor (Pengawas Menelan Obat or PMO). However, the proportion of TB patients with a PMO also declined from 66.2% to 62.1%. This study aims to examine whether the decline in PMO presence contributed to the decrease in treatment adherence among TB patients aged ≥15 years in Indonesia, using secondary data from the 2023 Indonesia Health Survey (Survei Kesehatan Indonesia or SKI). The study design is cross-sectional, and analyses were conducted using univariate, bivariate, and multivariate methods. The results showed a significant association between the presence of a PMO and treatment adherence (OR: 4.62; 95% CI: 2.39–8.93). After controlling for age, sex, education level, economic status, comorbid diabetes mellitus, and health insurance ownership, the presence of a PMO remained positively associated with adherence (AOR: 4.41; 95% CI: 2.18–8.90). These findings indicate that the presence of a PMO is relevant and essential for improving TB treatment adherence and success in Indonesia. The efforts to enhance patient adherence should also focus on optimizing the role and quality of PMO, whether from family members or healthcare providers.
Read More
S-12109
Depok : FKM UI, 2025
S1 - Skripsi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Aisyah; Pembimbing: Soekidjo Notoatmodjo; Penguji: Sutanto Priyohastono, Ella Nurlaela Hadi, Ismoyowati, M. Hasan AD
Abstrak: Penyakit tuberkulosis di Indonesia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Pemerintah memperkirakan saat ini setiap tahun terjadi 583.000 kasus bare dengan kematian 140.000 orang. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah telah melaksanakan program penanggulangan TB dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse) sejak tahun 1995. Untuk mengetahui keberhasilan program DOTS, menggunakan indikator atau tolok ukur angka konversi pada akhir pengobatan tahap intensif minimal 80%, angka kesembuhan minimal 85% dari kasus baru BTA positif, Di Puskesmas Kecamatan Jatinegara, angka kesembuhan tahun 2001 baru mencapai 80% dan angka konversi sebesar 90,65%. Angka kesembuhan tersebut sangat berkaitan dengan kepatuhan berobat penderita TB paru bersangkutan. Oleh karena itu secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang hubungan persepsi , pengetahuan penderita, dan Pengawas Menelan Obat dengan kepatuhanberobat penderita TB paru di Puskesmas Kecamatan Jatinagara tahun 2001. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan memanfaatkan data primer dan sekunder. Penulis melakukan pengumpulan data dengan wawancara berpedoman pada kuesioner pada tanggal 29 Maret 2002 sampai 8 Mei 2002 dad seluruh penderita TB paru BTA positif sebanyak 92 orang yang mendapat pengobatan kategori-1 dan telah selesai berobat di Puskesmas tersebut tahun 2001. Variabel dependen adalah kepatuhan berobat, dan variabel independen adalah persepsi kerentanan, persepsi keseriusan, persepsi manfaat minus rintangan , persepsi ancamanlbahaya, pengetahuan dan pengawas menelan obat. Sedangkan variabel confounding terdiri dari umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan. Untuk pengolahan data, penulis menggunakan analisis univariat, bivariat dan multivariat dengan regresi logistik Banda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang patuh berobat 73,9 % dan tidak patuh berobat 26,1%_ Dui basil analisis bivariat didapatkan variabel yang mempunyai hubungan bermakna dengan kepatuhan berobat adalah variabel persepsi kerentanan P value=4.045 dan OR=0,314 , persepsi keseriusan P value 0,034 dan OR=3,26 , persepsi manfaat minus rintangan P value-0,023 dan OR=3,70 , persepsi ancamanl bahaya P value~,030 dan OR=0,310 dan pengawas menelan obat P value-0,008 dan OR=0,171. Sedangkan basil analisis multivariat mendapatkan tiga variabel yang berhubungan dengan kepatuhan berobat yaitu keseriusan P value=0,013 dan OR=6,221, manfaat minus rintangan P value 0,019 dan OR=5,814 , dan pengawas menelan obat P value= 0,024 dan OR ,174. Namun yang paling dominan diantara ketiga variabel tersebut adalah variabel keseriusan P value-0,013 dan OR-6,221. Peneliti menyarankan kepada pengelola program penanggulangan TB pare di Puskesmas untuk memberikan informasi yang cukup dan lebih jelas lagi tentang TB pare kepada setiap penderita dengan menggunakan bahasa sederhana agar penderita mudah memahami dan melaksanakannya. Sebaiknya di ruang tunggu Puskesmas diadakan penyuluhan TB paru melalui TV dan poster. Meningkatkan pecan PMO melalui penyuluhan dan pertemuan yang efektif dengan kader kesehatan , TOMA dan terutama dengan PMO dari keluarga. Mensosialisasikan Pedoman Umum Promosi Penanggulangan TB yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2000 .
Read More
T-1257
Depok : FKM-UI, 2002
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Wirdani; Pembimbing: Krinawati Bantas
T-1188
Depok : FKM UI, 2001
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Wahyuningsih; Pembimbing: Mieke Savitri, Ede Surya Darmawan
T-1906
Depok : FKM UI, 2004
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Yenny Puspitasari; Pembimbing: Mondastri Korib Sudaryo; Penguji: Wahyono, Tri Yunis Miko, Yulidar Nur Adinda
S-6081
Depok : FKM UI, 2010
S1 - Skripsi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Al Khoirul Idrus Muhammad Fitri; Pembimbing: Tri Yunis Miko Wahyono; Penguji: Yovsyah, Sulistyo, Muhammad Bal`an Kamali Rangkuti
Abstrak: Program penanggulangan TB nasional menggunakan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) telah dilaksanakan sejak tahun 1995. Secara nasional strategi DOTS telah memberikan perubahan meskipun belum secara komprehensif. Kondisi diatas diperparah dengan munculnya masalah baru, diantaranya adalah kejadian TB-HIV. Tipe penderita dan ko-infeksi TB-HIV menjadi faktor risiko terjadinya putus berobat OAT pada penderita TB Paru BTA Positif. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan tipe penderita dan ko- infeksi TB-HIV dengan kejadian putus berobat penderita TB Paru BTA positif di Kota Jakarta Timur. Desain penelitian kasus kontrol, dilakukan pengamatan pada penderita TB Paru BTA positif di Kota Jakarta Timur. Analisis multivariat dengan regresi logistic. Hasil penelitian didapatkan hubungan yang signifikan antara ko-infeksi TB-HIV dengan kejadian putus berobat pada penderita TB Paru BTA positif di Kota Jakarta Timur dengan aOR 19,27 setelah dikontrol jenis kelamin dan status PMO (p value=0,006; 95% CI: 2,36-157,21). Keberadaan infeksi HIV secara bersamaan dengan infeksi TB semakin mengancam kelangsungan hidup sehingga diperlukan terapi yang adekuat untuk mengendalikan virus dan membunuh kuman mycobacterium tuberculosis. Skrining HIV pada penderita TB harus dilakukan secara intensif untuk tata laksana pengobatan yang adekuat melalui program kolaborasi TB-HIV sehingga penderita bisa sembuh dari infeksi TB. Kata Kunci : penderita, TB-HIV, BTA positif

A national TB control program using the DOTS strategy (Directly Observed Treatment Shortcourse) has been implemented since 1995. Nationally, the DOTS strategy has provided changes although not yet comprehensively. The above conditions are exacerbated by the emergence of new problem, such as the incidence of TB-HIV. Type of patient and TB-HIV co-infection is a risk factor to default of anti tuberculosis drugs on positive smear pulmonary tuberculosis patient. The purpose research is to know relation between patient type and TB- HIV co-infection default of treatment for positive smear pulmonary tuberculosis patients in East Jakarta. The design of case control research, conducted observation on the patient of smear positive pulmonary tuberculosis in East Jakarta. Multivariate analysis with logistic regression. The result of anti tuberculosis drugs of the research showed significant correlation between TB-HIV co-infection with default with smear positive pulmonary tuberculosis patient with aOR 19,27 after controlled sex and drug administer superviser statue (p value = 0,006; 95% CI: 2,36-157.21). The presence of HIV infection simultaneously with TB infection is increasingly threatening survival so that adequate therapy is needed to control the virus and kill the bacteria mycobacterium tuberculosis. HIV screening of tuberculosis patients should be intensified for an adequate treatment regimen through a TB-HIV collaboration program so that people can recover from TB infection. Key Word : patient, co-infection TB-HIV, positive BTA
Read More
T-4942
Depok : FKM UI, 2017
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Albert D. Sihotang; Pembimbing: Lukman Hakim Tarigan; Penguji: Nurhayati Prihartono,Tri Yunis Miko Wahyono, Sulistyo
Abstrak:

Untuk menjamin keteraturan pengobatan tuberkulosis diperlukan Pengawas Menelan Obat. Seorang PMO sebaiknya seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui baik oleh petugas kesehatan maupun penderita. PMO juga seseorang yang tinggal dekat dengan penderita, bersedia membantu penderita dengan sukarela dan bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita. PMO bertugas untuk mengawasi penderita menelan obat secara teratur, memberi dorongan pada penderita agar mau berobat teratur, mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak, memberikan penyuluhan pada anggota keluarga penderita tuberkulosis yang mempunyai gejala-gejala tuberkulosis untuk memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan. Beberapa penelitian mernperlihatkan bahwa peran PMO dalam pengobatan penyakit tuberkulosis paru meningkatkan keteraturan berobat. Pada Tahun 2005 di Kabupaten Sanggau 53% PMO berasal dari tenaga kesehatan, dan penelitian ini bertujuan untuk rnenilai kekuatan hubungan Status Pengawas Menelan Obat dengan keteraturan pengambilan obat penderita tuberkulosis paru di Kabupaten Sanggau - Kalimantan Barat tahun 2005 yang belum pernah diteliti. Untuk mengetahui gambaran besar variabel Status PMO mempengaruhi keteraturan pengambilan obat di Kabupaten Sanggau, rnaka digunakan desain historical cohort dengan jumlah responden sebanyak 270 orang. Responden merupakan penderita tuberkulosis paru tahun 2005 di Kabupaten Sanggau. Hasil penelitian rnenunjukkan perbedaan keteraturan pengambilan obat pada penderita tuberkulosis paru yang memiliki PMO berasal dari tenaga kesehatan dengan PMO bukan tenaga kesehatan. Besarnya nilai RR = 0,659 yang menunjukkan efek protektif, berarti penderita tuberkulosis paru yang mernilild PMO yang berasal bukan dari tenaga kesehatan lebih teratur mengarnbil obat dibandingkan penderita tuberkulosis yang memilild PMO tenaga kesehatan. Model akhir yang menerangkan hubungan status PMO dengan keteraturan mengarnbil obat = -7,074 - 0,435 (status PMO) + 2,587 {Pengetahuan Mengenai Ancarnan Tuberkulosis Paru) + 1,074 (Penyuluhan Mengenai Pengobatan Tuberkulosis Paru + 0,451 (Penyuluhan Mengenai Penularan Tuberkulosis Paru). Pengetahuan mengenai ancaman tuberkulosis paru, penyuluhan mengenai pengobatan tuberkulosis paru dan penyuluhan mengenai penularan tuberkulosis paru akan meningkatkan keteraturan mengambil obat. Pendekatan sosial budaya untuk menginterpensi pengobatan penyaldt tuberkulosis paru, dapat dilakukan dengan mernilih PMO yang berasal dari tokoh masyarakat maupun ketua adat mengingat masyarakat sangat patuh akan hukum adat Dayak dan hukum adat Melayu yang ada di Kabupaten Sanggau.


 

To ensure a good regulated tuberculosis treatment, a treatment observer must be needed. People who have access to TB Patients on a daily basis and who are accountable to the health services are the most appropriate persons to provide directly observed treatment. Treatment observer must be the persons who are accessible to the patients, take responsibilities of helping the patients and get proper health education with the patients. Treatment observer have duty to observe and disseminating messages to the patients to complete a full course of anti-TB treatment. Treatment observer must advice the patients and their families to checked their sputums to the health centre. Some researches showed that good treatment observers could increased good regulates took medicine. In Sanggau Distric, 2005 there were 53% of treatment observer recruired from health care workers, and the objective of this research is to acces the relationship between health care worker treatment observers and non health care worker treatment observers with the regulate took medicine for the lung tuberculosis patients in Sanggau District, West Kalimantan, 2005. It's use a historical cohort study design and 270 total samples. The respondens were the lung tuberculosis sufferers in Sanggau District, 2005. The result of this research showed that there was relationship between the regulate in taking medicine for health care worker treatment observers and non health care worker treatment observers. RR=0.659 show a protective effect, it means that the tuberculosis patient with non health care worker treatment observers more regulate took medicine then the health care workers treatment observer. The last model to showed the relationship of the treatmentohserver status with the regulate took medicine is: -7.074-0.435 (Treatment Observers Status) + 2.587 (knowledge of tuberculosis threat) + 1.074 (promotion of lung tuberculosis infection)+ 0.451 (promotion of the uncomplete drugs) Knowledge of the lung tuberculosis threat, the desseminating messages of uncomplete drugs and desseminating messages of lung tuberculosis infection will increase the regulate of took medicine. The conduction. of soc. ial cultur for interperated the cureness of lung tuberculosis could be used by recruit community base approach and social elits as treatment observers, however the strong culture of Dayak and Melayu has been integrated the community in Sanggau District.

Read More
T-2542
Depok : FKM-UI, 2007
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
:: Pengguna : Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
Library Automation and Digital Archive