Hasil Pencarian :: Kembali

Ditemukan 20738 dokumen yang sesuai dengan query ::  Simpan CSV
cover
B. Karno Ekowardono; Pembimbing: Anton M. Moeliono, Muhadjir, H. Steinhauer
D-137
Jakarta : FS UI, 1988
S3 - Disertasi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Makara : Seri Sosial - Humaniora, Vol.13, No.2, Des. 2009, hal. 131-142. ( ket. ada di bendel maj. campuran No.7 )
[s.l.] : [s.n.] : s.a.]
Indeks Artikel Jurnal-Majalah   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Daliman Edi Subroto; Pembimbing: Amran Halim, H. Steinhauer, Muhadjir
Abstrak: This thesis tries to describe the transposition from adjectives to verbs and vice versa in standard Javanese.
 
 
In this case, each of the major word-classes (substantive, verb, adjective) is determined primarily and accordingly to a set of its morphological features which differ in the whole aspects from the others. Except for those features, a set of its syntactical valences are also identified.
 
 
Adjectives and verbs in Javanese are two different word-classes. Each of them is a word-class system which covers a set of morphological categories--i.e. a series of words with identical formal features corresponding to identical semantic features--which differ in the whole aspects from each other.
 
 
ABSTRACT
 
 
The verbal system is divided into two classes (class I and class II). Morphologically, class I is characterized by di-D category (passive) which is in contrast with N-D category (active-transitive), whereas class II isn't, al-though it has N-D category (intransitive). Structurally, there are some important differences between the two classes caused by this principal difference. Each of the classes is also separated into two parts (part A and part B). Morphologically, part B is characterized by two specific categories: maq-D 'to do D suddenly' and patin-D 'plural subject involved to do something varies in rhythm and intensities', and semantically is characterized by "emotive-expressive" or "onomatopoeic" semantic values, whereas part A isn't.
 
 
The object being studied in this thesis is the verb-al morphological procedes --whether productive or improductive--which transpose adjectives in monomorphemic category into verbs (or maybe called "deadjectival, verbal categories") and the adjectival morphological procedes which transpose verbs into adjectives (or maybe called "deverbal, adjectival categories")
 
Based on the data, we know that the great parts' of the monomorphemic adjectives can be transposed into verbs class II A (none into class II B) and only some of them can be transposed into class I A (none into class I B). Most of the transpositional categories in verb II A are productive; their formal forms: N-D-i, N-D-ake; ke-D-an; di-D-i, di-D-ake; ka-D-an, ka-D-ake; -in-D-an, -in-D-ake; taq-D_i, taq-D-ake; taq-D-ane, taq-D-ne; koq-D-i, koq-D-ake; D-ana, D-na; D-i:, D-ke:; D-in-D-an, D-in-D-ake; D-D-an; but there are some other categories which are improductive. On the other hand, all of the transpositional categories in verb I A are improductive.
 
 
 
There are only three procedes of adjectives (-an, ke-en, -em-, -um-) which transpose verbs into adjectives. All of the transpositional categories of adjective are improductive.
 
In this thesis, we also know that a certain word-class system is not totally transposed into the other.
Read More
D-129
Jakarta : FS UI, 1985
S3 - Disertasi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
The Annals of Occupational Hygiene, Vol.57, No. 1, January 2013: hal. 6-25
[s.l.] : [s.n.] : s.a.]
Indeks Artikel Jurnal-Majalah   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Amir Hakim Usman; Pembimbing: Moeliono, Anton M.; Nothofer, Bernd
D-141
Jakarta : FS UI, 1988
S3 - Disertasi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
D-185
[s.l.] : [s.n.] : s.a.]
S3 - Disertasi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Tjokorda Rai Sudharta; Haryati Soebadio, co-promotor; Masinambow, Eduard Karel Markus, co-promotor
Abstrak: ABSTRAK
 
 
Memang benar peryataan J.A. Scheterman dalam tulisannya berjudul "An Introduction to old Javanese Sanskrit Dictionaries and Grammars"(BKI 137/IV,1981,hlm.439) bahwa lontar-lontar Krtabhasa masih banyak dan terus diperbanyak yang berupa Lexicography. Krtabhasa yang diperbanyak itu untuk dipakai membantu mereka yang senang kebebasan, yaitu membaca Kekawin berbahasa Jawa Kuno. Setelah dibaca atau dilagukan Kekawin itu diterjemahkan ke bahasa daerah oleh salah seorang yang mengelilingi pembaca itu, disaksikan oleh banyak orang. Tetapi lantar yang berisi pelajaran bahasa Sanskerta masih sangat sedikit dan terus menurun jumlahnya dari hari ke hari.
 
Demikian antara lain pernyataan J.A. Schoterman setelah diberitahu oleh Ida Bagus Gde Griya dari Sidewan (Karangasem, Bali). Pernyataan ini memang benar, karena di Gedung Kirtya, Singaraja yang merupakan tempat penyimpanan ribuan lontar, dari empat lontar Krtabhasa, hanya satu lontar yang berisi pelajaran kahasi Sanskerta. Di samping itu dari tigapuluh tuju judul Krtabhasa yang dicantumkan oleh Juynbell, hanya ada sepuluh Krtabhasa yang berisi pelajaran Tata bahasa dan bacaan prosa dan puisi Sanskerta. Walau pun demikian sebenarnya Gedung Kirtya memiliki juga lontar-lontar yang berisi soal Tata bahasa Sanskerta tanpa memakai judul Krtabhasa. Lontar-lontar itu berjudul antara lain berjudul Aji Krakah, Krakah Aji, Krakah Sangraha, Catur Sandhi, Jnana Sandhi dan Krakah Puja, Lontar-lontar ini membantu Krtabhasa dalam bidang Tata Bahasa dan bacaan prosa dan puisi Sanskerta. Rontal Krakah Puja ini isinya bukan tuntunan tata cara pemujaan tetapi berisikan hal Vibhekti. (Deklinasi Sanskerta). Mungkin karena pada permulaan isi lontar itu mencantumkan kata Dewa, maka lontar itu dinamai Krakah Puja.
 
Demikian pula ada lontar dengan judul Svarasambita jangan mengira bahwa rontal itu adalah Kamus sesuai dengan judulnya yang berarti 'kumpulan kata-kata terutama vokal: Karena sebenarnya isi lontar Svarasamhita adalah puisi Sanskerta terkenal, yaitu JanakTharuna yang dikarang oleh Pangeran Kumaradasa dari Sri Langka yang pernah mendapat suwaka politik di Sriwijaya.
 
Juga sama halnya dengan lontar berjudul Svaravyanjana (Codex.1159) yang tidak berisi hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan Vokal dan Konsonan sebagai mana tertera sebagai judulnya. Lontar Svaravyanana tersebut ini berisikan fragmen puisi Sanskerta juga yaitu, puisi Trayaatakam dikarang oleh raja Bhartrhari.
 
Memang benar Krtabhasa yang berisikan pelajaran Bahasa Sanskerta sedikit sekali jumlahnya. Tetapi karena ada bantuan oleh lontar-lantar lain yang tidak berjudul Krtabhasa, pelajaran tata Bahasa dan pembacaan prosa dan puisi Sanskerta di dalam lontar masih cukup, Walau tidak ada pelajaran Tasrifan Kata Kerja dalam lantar-lontar yang dibahas dalam tesis ini.
 
Cara mengajarkan Bahasa Sanskerta kira-kira baik jika urutan penyajiannya sesuai dengan urutan yang ada dalam buku Sarasvatavyakarana yang ada di halaman 30-32 pada tesis.
Read More
D-153
Jakarta : FS UI, 1986
S3 - Disertasi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Benny Hoedoro Hoed; Pembimbing: Anton M. Moeliono, Reinier Salverda, E.K.M Masinambow
Abstrak: ABSTRAK
 
Pengalaman dalam bidang penerjemahan dan pengetahuan di bidang linguistik memberikan banyak kesempatan untuk memikirkan secara lebih mendalam sejumlah masalah dalam terjemahan. Salah satu di antaranya ialah masalah penerjemahan konsep waktu yang diungkapkan dalam novel berbahasa Perancis ke dalam bahasa Indonesia. Bila dihubungkan dengan bahasa, kata waktu perlu mendapat penjelasan lebih lanjut. Bahasa Inggris membedakan time 'waktu' dengan tense 'kala'. Dalam peristilahan linguistik di Indonesia tense biasanya diterjemahkan dengan kala yang dibedakan dengan waktu. Dalam kaitan dengan bahasa, istilah waktu termasuk kategori semantik, sedangkan kala termasuk kategori gramatikal. Bahasa jerman juga membedakan Zeit (kategori semantik) dengan Ternpus (kategori gramatikal). Untuk kedua pengertian itu bahasa Perancis hanya mempunyai satu kata, yaitu temps. Namun, istilah temps linguistigue, temps verbal atau temps grammatical juga dipakai untuk menyebut kategori gramatikal kala. Sejak lama masalah kala dan waktu menarik perhatian para ahli bahasa. Pertanyaan pokoknya adalah bagaimana pengalaman manusia diwujudkan dalam kegiatan kebahasaan, dan, dengan demikian, bagaimana konsep waktu itu ditinjau dari segi kebahasaan? Beberapa di antaranya dapat dicatat di sini.
 
 
Jespersen (1924) membicarakan waktu kebahasaan sebagai konsep semantik yang terdiri dari waktu kini, waktu larnpau, dan waktu medatang. Bloomfield (1933: 270-272) membicarakan kala (tense) sebagai bagian dari paradigma verbs dalam bahasa Inggris. Weinrich (karya aseli 1964) mengemukakan bahwa kala (Tempzrs) ternyata tidak hanya bertugas menempatkan peristiwa pada garis waktu, tetapi juga mengungkapkan keaspekan dan fungsinya dalam wacana baru terwujud bila persepsi alas peristiwa yang diketahuinya itu kemudian diungkapkannya dalam wujud bahasa (Bull 1971: 17).
 
 
Dalam membicarakan waktu, Benveniste (1974: 69-74) membedakan tiga pengertian, yaitu:
 
(1) Waktu fisis (temps physique), yakni waktu yang secara alamiah kita alami, yang sifatnya sinambung, Iinear dan tak terhingga. Waktu fisis berjalan tcrus tanpa dapat kita alami lagi.
 
(2) Waktu kronis (temps chronique), yakni waktu yang dipikirkan kemhali atau dikonseptualisasikan oleh manusia berdasarkan suatu atau sejumlah peristiwa yang ditetapkan secara konvensional oleh suatu masyarakat sebagai titik acuan dalam waktu fisis_
 
(3) Waktu kebabasaan (temps hnguistigice), yakni waktu yang dilibatkan dalam tuturan kita dan dalam sistem bahasa yang kita pakai.
 
 
Ketiga pengertian mengenai waktu yang dikemukakan Benveniste itu sangat penting untuk memahami konsep manusia tentang waktu. Bagi manusia, waktu yang sebenarnya dirasakan ialah waktu fisis. Manusia hidup di dalam waktu yang terus berjalan tanpa dapat kernbali lagi ke waktu lampau. Akan tetapi, dengan mengkonseptualisasi waktu manusia dapat menjelajahinya, sehingga, ia dapat mengarungi sejarah, masa kini dan hari depannya. Bahkan manusia dapat membayangkan waktu dalam sesuatu pembagian yang beraturan. Untuk menetapkan pembagian yang beraturan itu, biasanya manusia menentukan secara konvensional suatu peristiwa sebagai titik acuan dalam waktu fisis dan kemudian menetapkan pula pembagiannya dalam sejumlah penggalan. Misalnya tahun 1 Maselii dihubungkan dengan kelahiran Isa Almasih dan dibagi atas penggalan tahun (12 bulan), bulan (30 hari), minggu (7 hari), dan hari (24 jam, satu piantan (etinaal, Bel.) atau satu putaran bumi, atau jarak waktu antara matahari terbit dan matahari terbit, atau antara matahari terbenam dan matahari terbenam).
Read More
D-161
Jakarta : FS UI, 1989
S3 - Disertasi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Suwito; Pembimbing: Anton M. Moeliono, E.K.M. Masinambow, Soepomo Poedjosoedarmo
Abstrak: This study aims at describing the choice and selection of a language and its varieties, from the point of view of the kinds of constraints and the utterance of the speakers in the Javanese speech community in the three villages in Surakarta municipality.
 
This study is based on the assumption that in a Javanese speech community there are at least two languages playing the role as communicative codes i.e. Javanese and Indonesian. In the communication process one choose between Javanese and Indonesian or the varieties of the two. The two languages and their vanities cannot be used haphazardly in all events and in all situations ; The uses of those languages must conform to social, cultural, and situational fact-ors found in Javanese society. Such lack constraints in using a particular variety of a language signals a trend of the selection of language i.e. for what specific purpose a speaker uses a language and in what situation he/she uses another.
 
The selection of language in a society constitutes one of the features that shows a diglosic situation. In Javanese society the selection of a language is still colored by the deviation utterances of their speakers, due the interference phenomena from Javanese elements into Indonesian. Such phenomena lead to an impression that there is still an overlapping use of Javanese and Indonesian by speakers in general. the overlapping use of the two languages in the Javanese speech community of the-three villages of Surakarta indicates that the disglosic situation is not yet steady.
 
The application of extra linguistic constraints on the choice and selection of a language is based on the concept of the components of speech, proposed by Dell Hynes (1972), and on its elaboration by Poedjosoedarmo (1979). And the analysis of speech deviation is based on the interference phenomena as discussed by Weinreich (1968), Dittmar (1976), and hababan {1977). By those approaches, the choice and selection of language and it constraints and tha application in the utterances would be able to be explained, and the social, cultural, and situational background of the unstable diglosic situation in Javanese speech community of Surakarta can be examined.
Read More
D-166
Jakarta : FS UI, 1987
S3 - Disertasi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Maj. Kedokteran Indonesia (MKI), Vol.56, No.3, Maret 2006, hal. 304-308
[s.l.] : [s.n.] : s.a.]
Indeks Artikel Jurnal-Majalah   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
:: Pengguna : Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
Library Automation and Digital Archive