Hasil Pencarian :: Kembali

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query ::  Simpan CSV
cover
Umi Kulsum; Pembimbing: Amal Chalik Sjaaf; Penguji: Ede Surya Darmawan, Adang Bachtiar, Andi Basuki Prima B., Ari Purwohandoyo
Abstrak: Konsep green hospital merupakan manajemen perubahan yang menjadi kebutuhan di rumah sakit yang dapat mengurangi konsumsi energi secara signifikan, meningkatkan kenyamanan dan produktivitas dan menjaga kelestarian sumber daya alam berkelanjutan Dalam memberikan pelayanan kesehatan, Rumah sakit menggunakan sejumlah energi baik listrik, air, bahan bakar, makanan pasien dan bahan bangunan. Selain itu, rumah sakit juga memproduksi limbah medis dan non medis. Hal tersebut dapat menjadi kontribusi terhadap perubahan iklim apabila tidak dikelola dengan baik. Penelitian ini menilai kesiapan Rumah Sakit Pusat Otak Nasional Prof Dr. dr. Mahar Mardjono Jakarta yang mengacu pada standar nasional Greenship Green Building Council Indonesia (GBCI). Penelitian ini adalah sebuah studi kasus dengan menggunakan pendekatan metoda penelitian kualitatif dengan melakukan observasi untuk mengamati dan menelaah berbagai objek dalam penelitian, melakukan pengukuran dan mengisi ceklis pada instrumen/tools. Dari hasil penelitian diketahui bahwa RSPON baru dapat memenuhi total nilai nilai 58 atau 49,57% dari maksimal 117 nilai dari total kriteria yang dipersyaratkan dalam Greenship. Berdasarkan perolehan nilai tersebut maka sesuai dengan peringkat Greenship GBCI, gedung RSPON mendapatkan peringkat Silver (Perak). Untuk memperbaiki peringkat, masih dapat dengan cara menyediakan parkir sepeda, menambah luasan ruang terbuka hijau (RTH), recommissioning, pemasangan sistem pemantauan energi, melakukan daur ulang sampah organic, melakukan daur ulang air olahan IPAL melakukan konservasi air bersih, mencoba menggunakan teknologi panel surya (solar cell) serta mengintegrasikan efisiensi energi ke dalam program pemeliharaan
The green hospital concept is a change management that is a necessity in hospitals that can significantly reduce energy consumption, increase comfort and productivity and preserve sustainable natural resources. In providing health services, hospitals use a number of energy, including electricity, water, fuel, patients food and building materials. In addition, hospitals also produce medical and non-medical waste. This can be a contribution to climate change if it is not managed properly. This study assesses the readiness of Prof. Dr. dr. Mahar Mardjono National Brain Center Hospital Jakarta which refers to the national standard of Greenship Green Building Council Indonesia (GBCI). This research is a case study using a qualitative research method approach by making observations to observe and examine various objects in the study, take measurements and fill out checklists on the instruments/tools. From the research results, it is known that the new RSPON can meet the total value of 58 or 49,54% of the maximum 117 values of the total criteria required in Greenship. Based on the acquisition of these values, in accordance with the GBCI Greenship rating, the RSPON building received a Silver rating. To improve the ranking, it can still be done by providing bicycle parking, increasing the area of green open space (RTH), recommissioning, installing energy monitoring systems, recycling organic waste, recycling treated water from WWTPs, conserving clean water, trying to use solar panel technology. and integrating energy efficiency into maintenance programs
Read More
B-2220
Depok : FKM-UI, 2021
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Budi Prayitno; Pembimbing: Suyud Warno Utomo; Penguji: Ema Hermawanti, Haryoto Kusnoputranto, Warmo Sudrajat, Heri Nugroho
Abstrak: Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue, penularannya melalui vektor nyamuk serta ditemukan di daerah tropis dan sub tropis. Transmisi penularan penyakit DBD tergantung pada populasi vektor (Aedes Aegypti dan Ades Albopictus) yang dipengaruhi oleh kondisi iklim dan tutupan/penggunaan lahan. Kondisi iklim di Kota Batam merupakan kondisi ideal untuk perkembangbiakan dan transmisi penyakit DBD. Perubahan tutupan lahan juga diduga menjadi penyebab tingginya insiden DBD di kota Batam. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor iklim dan tutupan lahan dengan insiden DBD di Kota Batam. Studi ini merupakan studi ekologi dengan menggunakan data bulanan selama 10 tahun (2005-2014). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa suhu berhubungan signifikan (p=0.021) dengan insiden DBD pada lag 0 dengan korelasi lemah dan negatif (r=-0,211). Kelembaban signifikan dengan insiden DBD pada lag 1 dan lag 2 (p=0.003 dan p=0,001) dengan korelasi sedang dan positif (r=0,270 dan r=0,290). Analisis spasial menunjukkan adanya pola hubungan antara suhu, luas lahan terbangun dan luas lahan ber-vegetasi dengan insiden DBD.
Kata Kunci : Demam Berdarah Dengue, DBD, Variabilitas Iklim, Perubahan Iklim, Tutupan Lahan
Read More
T-4390
Depok : FKM UI, 2015
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Indah Dara Kusuma; Pembimbing: Evi Martha; Penguji: Dadan Erwandi, Tiara Amelia, Muhammad Irwansyah, Hengky Oktarizal
Abstrak:
Perubahan iklim telah memberikan dampak luas pada ekosistem dan mengancam keberlanjutan sektor perikanan serta kesehatan pekerja, khususnya nelayan di Indonesia yang sangat rentan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi adaptasi gaya hidup sehat nelayan terhadap dampak perubahan iklim. Penelitian ini  merupakan penelitian kualitatif menggunakan desain studi kasus yang dilaksanakan di Kota Batam pada bulan April - Mei 2025. Pengambilan data melalui diskusi kelompok terarah dan wawancara mendalam terhadap nelayan, penyuluh perikanan, penanggung jawab pos UKK nelayan, kepala BMKG, pemilik kapal, tokoh Masyarakat, dan perwakilan organisasi HNSI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nelayan menyadari ancaman perubahan iklim dan memiliki efikasi diri tinggi dalam beradaptasi, niat adaptasi gaya hidup sehat mereka masih terbatas pada bertahan dan keselamatan kerja karena kebiasaan lama dan prioritas mata pencarian, diperparah oleh respons maladaptif serta akses informasi kesehatan yang minim. Oleh karena itu, kolaborasi lintas sektor yang kuat diperlukan untuk menyediakan edukasi kesehatan dan dukungan komprehensif guna meningkatkan gaya hidup sehat nelayan dalam menghadapi dampak perubahan iklim.
Climate change has had widespread impacts on ecosystems and threatens the sustainability of the fisheries sector as well as the health of workers, especially fishers in Indonesia who are highly vulnerable. Therefore, this study aims to identify fishermen's healthy lifestyle adaptation to climate change impacts. This research is a qualitative research using a case study design conducted in Batam City in April - May 2025. Data were collected through focus group discussions and in-depth interviews with fishermen, fisheries extension workers, the person in charge of the fishermen's UKK post, the head of BMKG, boat owners, community leaders, and representatives of the HNSI organization. The results showed that fishermen are aware of the threat of climate change and have high self-efficacy in adapting, their healthy lifestyle adoption intention is still limited to survival and work safety due to old habits and livelihood priorities, compounded by maladaptive responses and minimal access to health information. Therefore, strong cross-sector collaboration is needed to provide comprehensive health education and support to improve fishers' healthy lifestyles in the face of climate change impacts.

Read More
T-7330
Depok : FKM UI, 2025
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Ardhi Arsala Rahmani; Promotor: Dewi Susanna; Kopromotor: Tris Eryando; Penguji: Besral, Ririn Arminsih Wulandari, R. Azizah, Suwito, Ermi Ndoen
Abstrak:
Latar belakang: Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit Plasmodium dan ditularkan melalui vektor nyamuk Anopheles. Kedua organisme tersebut merupakan makhluk hidup dengan daya tahan hidup dan kapasitas yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, termasuk iklim. Oleh karena itu, berubahnya iklim akibat pemanasan global telah diasosiasikan dengan distribusi malaria global. Tujuan: Penelitian ini mengeksplorasi seberapa jauh hubungan antara faktor iklim dan kejadian malaria di kota dan kabupaten di Indonesia selama periode 2000-2020 untuk menginformasikan kebijakan pengendalian malaria yang berketahanan iklim. Metode: Dengan membangun variabel laten atau konstruk iklim yang terdiri dari indikator meteorologi yaitu suhu, curah hujan, kecepatan angin, dan kelembapan relatif yang didapatkan dari data NASA Langley Research Center (LaRC), serta menggabungkan variabel perancu sosiodemografis (pengeluaran rumah tangga, IPM, tingkat urbanisasi) dan geografis (Normalized Difference Vegetation Index, dan topografi), studi ini menawarkan analisis komprehensif tentang asosiasi mereka terhadap kejadian malaria (dari data Malaria Atlas Project dan Kementerian Kesehatan) melalui Structural Equation Modeling (SEM). Hasil: Temuan penelitian menunjukkan asosiasi antara iklim dan malaria. Kendati demikian, analisis Structural Equation Modeling (SEM) yang digunakan penelitian ini menunjukkan bahwa bobot faktor untuk iklim relatif kecil dan menunjukkan bahwa hubungannya tidak substansial dibandingkan dengan variabel lain. Analisis tambahan yang berfokus pada peristiwa cuaca ekstrem, yang diidentifikasi oleh nilai ekstrem indikator iklim, menunjukkan bahwa peristiwa tersebut secara signifikan mempengaruhi kasus malaria. Kesimpulan: Hal ini menekankan pentingnya mempertimbangkan cuaca ekstrem dalam perancangan dan pelaksanaan program pengendalian dan eliminasi malaria. Penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun kondisi iklim umum memiliki efek langsung yang terbatas pada kejadian malaria, peristiwa cuaca ekstrem memainkan peran penting.

Background: Malaria is a diseases caused by the parasite Plasmodium and spread by a vector, the Anopheles mosquito. The two independent organisms capacity to infect and survival are independently affected by their environmental surroundings, including climate. Therefore, the global warming induced climatic change have previously been associated with the changing global distribution of malaria. Aims: This research explores the extent of the relationship between climatic factors and malaria incidence in cities and regencies in Indonesia over the period 2000-2020 to inform malaria control policies that are climate-resilient. Methods: By constructing a climate construct as latent variable consisting of meteorological indicators such as temperature, precipitation, wind speed, and relative humidity from the NASA Langley Research Center (LaRC), and incorporating sociodemographic confounders (household expenditure, HDI, urbanization rate) and geographic confounders (Normalized Difference Vegetation Index and topography), this study offers a comprehensive analysis of their association with malaria cases (using data from the Malaria Atlas Project and Ministry of Health) through Structural Equation Modeling (SEM). Results: The study findings show an association between climate and malaria, with maximum and average climate constructs showing a negative association with malaria incidence, while minimum climate constructs show a positive association. That being said, the Structural Equation Modeling (SEM) analysis used in this research indicates that the factor loadings for climate are relatively small, indicating that the relationship is not substantial compared to other variables. Additional analysis focusing on extreme weather events, identified by extreme values of climate indicators, shows that these events significantly affect malaria cases. Conclusion: This underscores the importance of considering extreme weather in the design and implementation of malaria control and elimination programs.This research concludes that while general climatic conditions have limited direct effects on malaria incidence, extreme weather events play an important role.
Read More
D-525
Depok : FKM-UI, 2024
S3 - Disertasi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Sri Gusni Febriasari; Pembimbing: Dewi Susanna; Penguji: Sri Tjahjani Budi Utami, Suwitno
S-6534
Depok : FKM UI, 2011
S1 - Skripsi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Miladia Nurur Romadlon; Pembimbing: Yovsyah; Penguji: Renti Mahkota, Hidayat Nuh Ghazali
Abstrak: Demam berdarah dengue (DBD) merupakan suatu penyakit menular berupa infeksi akut oleh virus dengue, yang ditularkan oleh nyamuk Aedes . Kasus demam berdarah di Indonesia pada tahun 2024 hingga minggu ke-12 kasus demam berdarah mengalami peningkatan mencapai 2,6 kali dibandingan kasus tahun 2023 pada minggu yang sama. Jumlah kejadian DBD di Kabupaten Cilacap tahun 2024 mengalami peningkatan hingga 6 kali dibandingkan kejadian tahun sebelumnya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan perubahan iklim (curah hujan, suhu udara dan kelembaban udara) dengan kejadian DBD di Kabupeten Cilacap bulan Januari 2022- Juli 2024. Desain studi berupa studi ekologi dengan menganalisis data sekunder dari Dinas Kesehatan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana dan data sekunder dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Kabupaten Cilacap secara total sampel. Analisis dilaksanakan secara univariat dan bivariat dengan uji korelasi pearson dan analisis regresi linear menggunakan SPSS ver. 20. Hasil analisis menunjukan bahwa curah hujan  dan kelembaban udara tidak mempunyai hubungan yang signifikan. Sedangkan suhu udara memiliki hubungan yang signifikan (nilai P=0,02, r= 0,416). Peneliti menyimpulkan bahwa peningkatan suhu udara dapat mempengaruhi peningkatan kejadian demam berdarah dengue, dikarenakan suhu udara mampu mepertcepat perkembang biakan nyamuk Aedes. Sehingga jika terjadi peningkatan suhu udara disarankan kepada BMKG untuk memberikan informasi kepada dinas kesehatan pengendalian penduduk dan keluarga berncana, agar dijadikan perhatian untuk waspada dan segera melakukan tindakan preventif.
Dengue hemorrhagic fever (DHF) is an infectious disease in the form of an acute infection by the dengue virus, which is transmitted by the Aedes  mosquito. Dengue fever cases in Indonesia in 2024 until the 12th week of dengue fever cases have increased by 2.6 times compared to cases in 2023 in the same week. The number of dengue incidents in Cilacap Regency in 2024 has increased up to 6 times compared to the previous year's events. The purpose of this study is to determine the relationship between climate change (rainfall, air temperature and air humidity) and the incidence of dengue fever in Cilacap Regency in in January 2022 till July 2024. The study design is in the form of an ecological study by analyzing secondary data from the Population Control and Family Planning Health Office and secondary data from the Meteorology, Climatology, and Geophysics Agency of Cilacap Regency in a total sample. The analysis was carried out univariate and bivariate with Pearson correlation test and linear regression analysis using SPSS ver. 20. The results of the analysis show that rainfall and air humidity have no significant relationship. Meanwhile, air temperature has a significant relationship (P=0.02, r=0,416). Researchers concluded that an increase in air temperature may affect the increased incidence of dengue hemorrhagic fever, because the air temperature is able to accelerate the breeding of Aedes mosquitoes. So that if there is an increase in air temperature, it is recommended to the Meteorology, Climatology, and Geophysics Agency to provide information to the health office for population control and family control, so that it is used as a concern to be vigilant and immediately take preventive measures.
Read More
S-11811
Depok : FKM UI, 2025
S1 - Skripsi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Angelin Gotama; Pembimbing: Al Asyary; Penguji: Fitri Kurniasari , Desy Mery Dorsanti
Abstrak:
Perubahan iklim merupakan ancaman global yang berdampak serius pada kesehatan masyarakat, dan Jakarta adalah salah satu wilayah paling rentan terhadap risikonya. Sebagai garda terdepan dalam sistem kesehatan, puskesmas memegang peran krusial dalam merespons krisis kesehatan akibat iklim. Ketahanan puskesmas sangat bergantung pada tenaga kesehatan dan keandalan sistem energinya. Namun, sejauh mana puskesmas telah siap dalam menghadapi tantangan perubahan iklim masih belum diketahui, mengingat data mengenai resiliensi iklim puskesmas masih terbatas. Studi deskriptif kuantitatif ini bertujuan untuk mengetahui ketahanan iklim pada puskesmas di Jakarta tahun 2025, dengan fokus pada aspek tenaga kesehatan (meliputi pengetahuan dan kapasitas, SDM, manajemen risiko) dan aspek energi (meliputi efisiensi, energi cadangan, energi terbarukan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar tenaga kesehatan telah memahami bahaya perubahan iklim dan dampaknya terhadap sektor kesehatan secara umum (>70%), pelatihan teknis dan kesiapsiagaan masih rendah (<45%). Sebanyak 62,5% puskesmas telah memiliki tim bencana, tetapi hanya 46,6% yang telah mengidentifikasi kebutuhan tenaga saat krisis, dan 62,5% belum memiliki sistem rekrutmen cepat. Sistem peringatan dini baru tersedia di 42% puskesmas, dan hanya 34% memiliki alokasi anggaran untuk risiko bencana terkait iklim. Terkait efisiensi energi, 78% puskesmas telah menerapkan langkah hemat energi. Hampir seluruhnya (93%) memiliki energi cadangan, dengan 98% melaporkan pemeliharaan rutin. Penerapan energi terbarukan masih terbatas, dengan hanya 19 dari 88 puskesmas (21,6%) yang telah memiliki panel surya. Dari jumlah tersebut, sebagian besar (79%) melaporkan keandalan sistem saat bencana, dan seluruhnya melakukan pemeliharaan berkala. Namun, dari puskesmas yang belum memiliki energi terbarukan, hanya 27% yang memiliki rencana implementasi ke depan. Temuan ini menyoroti perlunya penguatan kapasitas SDM, sistem tanggap darurat, dan integrasi kebijakan energi berkelanjutan di tingkat puskesmas.


Climate change is a global threat with serious impacts on public health, and Jakarta is one of the most vulnerable areas to its risks. As the frontline of the health system, puskesmas play a crucial role in responding to climate-related health crises. The resilience of puskesmas heavily depends on healthcare personnel and the reliability of their energy systems. However, the extent to which puskesmas are prepared to face climate change challenges remains unclear, given the limited data on their climate resilience. This quantitative descriptive study aims to assess the level of climate resilience in puskesmas across Jakarta in 2025, focusing on the health workforce (including knowledge and capacity, human resources, and risk management) and energy aspects (including efficiency, backup energy, and renewable energy). The findings show that although most health workers have an understanding of climate change and its general impact on the health sector (>70%), technical training and preparedness remain low (<45%). Around 62,5% of puskesmas have established disaster response teams, but only 46,6% have identified staffing needs during crises, and 62,5% lack a rapid recruitment system. Early warning systems are available in only 42% of puskesmas, and just 34% have allocated budgets for climate-related disaster risks. Regarding energy efficiency, 78% of puskesmas have implemented energy-saving measures. Nearly all (93%) have backup energy systems, with 98% reporting regular maintenance. The adoption of renewable energy is still limited, only 19 out of 88 puskesmas (21,6%) currently use solar panels. Among them, most (79%) report that the systems remain functional during disasters, and all conduct routine maintenance. However, among the puskesmas that have not yet adopted renewable energy, only 27% have plans to implement it in the future. These findings highlight the urgent need to strengthen human resource capacity, emergency response systems, and the integration of sustainable energy policies at the puskesmas level.
Read More
S-12066
Depok : FKM UI, 2025
S1 - Skripsi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Yunita Wulandari; Pembimbing: Evi Martha; Penguji: Kartika Anggun Dimar Setio, Budi Haryanto, Maria Margaretha, Rusmala Dewi
Abstrak:

Perubahan iklim berdampak signifikan terhadap kesehatan, terutama bagi kelompok rentan seperti perempuan dengan disabilitas. Studi ini bertujuan untuk menggali secara mendalam pengetahuan, persepsi, dan sikap perempuan penyandang disabilitas terhadap risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim di wilayah DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif eksploratif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam terhadap anggota dan pengurus Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia, serta perwakilan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Temuan penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar informan telah memahami isu perubahan iklim, namun pengetahuan mengenai penyebab, dampak, serta strategi adaptasi yang ramah disabilitas terkait perubahan iklim masih terbatas. Persepsi risiko perempuan penyandnag disabilitas rungu dan netra dalam penelitian ini dipengaruhi oleh faktor pengetahuan, pengalaman pribadi, serta norma sosial budaya di lingkungan mereka. Kurangnya informasi yang dapat diakses dan hambatan dalam komunikasi menjadi aspek-aspek yang menghambat pemahaman mereka terhadap perubahan iklim dan respon adaptif yang dapat dilakukan. Penelitian ini menegaskan perlunya keterlibatan langsung dan bermakna dari perempuan penyandang disabilitas untuk menyuarakan kebutuhan dan kepentingan mereka dalam penyusunan kebijakan dan program adaptasi perubahan iklim, serta pengembangan sistem informasi dan layanan yang inklusif dan mudah diakses.


 

Climate change has a significant impact on health, especially for vulnerable groups such as women with disabilities. This study aims to explore in depth the knowledge, perceptions, and attitudes of women with disabilities towards the health risks posed by climate change in the DKI Jakarta area. This research uses an exploratory qualitative approach with data collection techniques through in-depth interviews with members and administrators of the Indonesian Women with Disabilities Association, as well as representatives from the DKI Jakarta Provincial Government. The findings show that most informants understand the issue of climate change, but their knowledge of the causes, impacts, and disability-friendly adaptation strategies related to climate change is still limited. The risk perceptions of women with hearing and visual disabilities in this study are influenced by factors such as knowledge, personal experience, and social and cultural norms in their environment. The lack of accessible information and communication barriers are aspects that hinder their understanding of climate change and the adaptive responses that can be taken. This study underscores the need for the direct and meaningful involvement of women with disabilities in voicing their needs and interests in the formulation of climate change adaptation policies and programs, as well as in the development of inclusive and accessible information systems and services. 

 

Read More
T-7306
Depok : FKM UI, 2025
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
:: Pengguna : Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
Library Automation and Digital Archive