Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query :: Simpan CSV
Amir Hakim Usman; Pembimbing: Moeliono, Anton M.; Nothofer, Bernd
D-141
Jakarta : FS UI, 1988
S3 - Disertasi Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
☉
Julianus Akun Danie; Pembimbing: Anton M. Moeliono, Bernd Nothofer
D-122
Jakarta : Universitas Indonesia, 1987
S3 - Disertasi Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
☉
B. Karno Ekowardono; Pembimbing: Anton M. Moeliono, Muhadjir, H. Steinhauer
D-137
Jakarta : FS UI, 1988
S3 - Disertasi Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
☉
Sumarsono; Pembimbing: Anton M. Moeliono, E.K.M. Masinambow, Asim Gunawan
Abstrak:
Kajian ini mengenai salah satu aspek ke dwi bahasaan , yaitu pamertahanan bahasa. Objeknya adalah bahasa Melayu Loloan, sebuah ragani bahasa Melayu yang di pakai oleh minoritas muslim didalam kota Negara, Bali. Masalah yang dikaji ialah faktor-faktor yang mendukung pemertahanan bahasa Melayu Loloan terhadap bahasa Bali, bahasa yang menjadi bahasa ibu guyup mayoritas Bali, dan bagai mana kondisi pemertahanan itu terhadap bahasa Indonesia saat ini. Dengan ancangan sosiologi, metode survei, dan teknik wawancara, kuesionier, dan pengalnatan partisipasi , peneliti menjaring data utama berupa pengakuan pribadi (self-report) dart dua gerierasi dengan percontoh 290 kepala keluarga dan 120 ariak rnuda (13-21), dan 28 anak (6-12) tentang sikap, penguasaan, dan pengguriaan bahasa yang merijadi khazarrah kevahasaan rrlereka, yaltu bahasa Melayu Loloan (sebagal bahasa ibu= Bi), bahasa Bali (sebagai bahasa kedua= B2), dan bahasa Indonesia (sebagai B2 baru). Hasilnya ialah di temukannya beberapa faktor yang mendukung peme rtahanan bahasa Melayu Loloan terhadap bahasa Bali, mencakupi faktor eksternal dan faktor internal yang saling berpaut. Dua faktor penting yang tergolong faktor eksternal ialah (1) adanya letak konsentras pemukiman yang secara geograf is , agak terpisah dan i letak pemukiman guyup mayoritas; dan sikap toleransi, atau setidak-tidaknya s i kap akomodatif . guyup mayoritas Bali yang tanpa rasa enggan menggunakan bahasa Melayu Loloan dalam interaksi mereka dengan warga guyup minoritastas. Dari tubuh guyup Loloan sendiri ditemukan tiga faktor panting pendukung pemertahanan bahasa, yaitu sikap atau pandangan keislaman guyup Loloan yang tidak akomodatif terhadap guyup, dan bahasa Bali, sehingga bahasa ini tidak digunakan dalam interaksi intra kelompok Loloan; loyalitas yang tinggi terhadap bahasa Melayu Loloan karena bahasa ini dianggap sebagai lambang guyup Melayu Loloan yang beragama Islam; sedangkan bahasa Bali di pandang sebagai lambang guyup Bali yang Hindu. Akhirnya faktor kesinambungan pengalihan (transmisi) bahasa melayu Loloan dari generasi ke generasi berikutnya. Pemertahanan itu menjadi agak melemah dalam menghadapi ekspansi bahasa Indonesia. Bahasa ini dipandang tidak mengandung konotasi agama tertentu, di anggap tidak berbeaa dengan bahasa Melayu Loloan karena itu dianggap sebagai milik mereka juga terutama oleh posisi mereka sebagai orang Indonesia. Akibatnya, pada saat ini bahasa Indonesia sudah mendominas ranah pemerintahan , pendidikan , dan agama, dan sudah menjalankan peran sebagai alat komunikasi antar kelompok, menggeser peran yang semula dijalankan oleh bahasa Melayu Loloan atau bahasa Bali.
Read More
D-151
Jakarta : FS UI, 1990
S3 - Disertasi Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
☉
T. Fatimah Djajasudarma Idat-Abdulwahid; Pembimbing: Anton M. Moeliono, Bernd Nothofer, Ayatrohaedi
D-152
Jakarta : FS UI, 1986
S3 - Disertasi Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
☉
Hunggu Tadjuddin Usup; Pembimbing: Anton M. Moeliono, Bernd Nothofer, James N. Sneddon
Abstrak:
Penelitian ini menangani sembilan bahasa daerah dan dialek yang wilayah pakainya terletak di sepanjang semenanjung Sulawesi Utara (kecuali Minahasa), yaitu Buol (Bwl), Gorantalo (Gtl), Suwawa (Sww), Kaidipang (Kdp), Bintauna (Btn), Bolango (Blg), Lolak (Llk), Mongondow (Mdw), dan Ponosakan (Psk); dengan tujuan merekonstruksi bahasa asal atau protobahasanya (yang disebut protobahasa Gorontalo-Mongondow), khusus bidang fonologi untuk mendapatkan protofonem termasuk sistem dan refleksnya pada bahasa-bahasa turunannya dewasa ini. Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan kenyataan bahua penelitian linguistik hiatoris komparatif, khususnya rekonstruksl protobahasa di bidang fonologi terhadap bahasa-bahasa tersebut diatas, belum pernah dilaksanakan. Melalui bukti-bukti pengelompokan bahasa, yaitu bukti kuantitatif (perhitungan kesamaan kata seasal) den bukti kualitatif (inovasi bersama), dapat disimpulkan bahwa bahasa-bahasa yang diteliti ini berkerabat dan membentuk satu kelompok bahasa yang disebut kolouapok bahasa Gorantalo-Mongondow. Berdasarkan bukti kualitatif khususnya bukti pemisah kelompok, bahasa-bahasa ini masih dapat dikelampokkan lagi menjadi dua (sub) kelompok, yaitu kelompok bahasa Gorontalo (Bul, Gtl, Sw, Kdp, Btn, dan Blg), dan kelompok bahasa Mongondow (Llk, Mdw, dan Pak); sementara di dalam kelompok bahasa Gorontalo, berdasarkan bukti pengelompokan kualitatif (inovasi bersama) bidang fonologis dan leksikal, masih terdapat dua bahasa, yaitu Bwl dan Gtl, yang memperlihatkan kelebihdekatan satu sama lain; dan kedua bahasa ini disebut kelompok bahasa Buol-Gorontalo. Adanya satu kelompok bahasa, menunjukkan bahwa bahasa-bahasa berkerabat yang membentuk kelompok itu, berasal dari satu bahasa anal yang sama (protobahasa). Protobahasa inilah yang kemudian berkembang dan menurunkan bahasa-bahasa berkerabat dewasa ini. Melalui pengamatan yang saksama terhadap bahasa-bahasa yang berkerabat ini, ternyata terdapat sekian banyak perangkat kata seasal (perangkat kata kognat, kata-kata yang berasal dari sumber atau anal yang sama). Perangkat kata seasal ini mengandung fonem-fonem yang berkesepadanan atau berkorespondensi satu eama lain, dan kesepadanan yang teratur itu, jika diamati lebih teliti akan menghasilkan kaidah perubahan fonem atau bunyi, karena berasal dari satu protofonem yang sama. Perangkat kata seasal, kesepadanan fonem yang teratur, dan kaidah perubahan fonem atau bunyi di kalangan bahasa-bahasa berkerabat akan memungkinkan terlaksananya rekontruksi protobahasa, khususnya rekonstruksi protofonem den sistem fonologinya. Sementara itu, jika rekonstruksi fonologi terlaksana dengan baik, sekaligus dapat dilaksanakan pula rekonstruksi leksikal untuk memperoleh bentuk kata di dalam protobahasa atau etimon Gtl-MdW2 sebagai hasil rekonstruksi dari leksem atau perangkat kata seasal. Bertitik tolak dari pengelonmpokan bahasa di kalangan kelompok bahasa Gorontalo-Mongondow, di dalam kaitannya dengan tujuan penelitian ini, yaitu rekonstruksi protobahasa, maka tahap-tahap peiaksanaan rekonstruksi fonologi bahasa-bahasa dan dialek yang diteliti terdiri atas empat tahap kegiatan: (1) rekonstruksi protobahasa Buol-Gorontalo (PBG), untuk Bul den Gtl, (2) rekonstruksi protobahasa Gorontalo (PG), untuk PBG Owl, Gtl, Sww, xdp, Btn, dan Blg, (3) rekonstruksi fonologi protobahasa Mongondow (PM), untuk Ilk, Mdw, dan Psk, dan akhirnya (4) rekonstruksi protobahasa Gorontalo--Mongondow (PGM), untuk semua bahasa yang diteliti.
This research deals with nine vernaculars spoken in the areas situated along the peninsula of North Sulawesi (except Minahasa), namely Buol (Bwl), Gorontalo (Gtl), Suwaua (Sww), Kaidipang (Kdp), Bintauna (Btn), Bolango (Blg), Lolek (Llk), Mongondow (Mdw), and Ponosakan (Pak); the purpose of this study is to reconstruct their protolanguage, particularly in the field of phonology (the reconstructed parent language is called Proto-Gorontalo-Mongondow), that is to obtain the protophonemes including their systems and reflexes in the descendant languages at the present time. This research is motivated by the fact that research in historical comparative linguistics, specifically in the reconstruct-ion of phonological systems of the vernaculars mentioned above, has never been carried out. After having examined the subgrouping evidence, quantitative evidence (the number of cognate percentage) and qualitative evidence (shared innovation), it can be concluded that those vernaculars are closely related and therefore from a family group, known as the Gorontalo.-Mongondow group, The present vernaculars comprising the group came into existence as the result of historical development. On the basis of separating subgrouping evidence, those vernaculars can be grouped into two main subgroups, that is Gorontalo-group (Bwl, Gtl, Sue, Kdp, Btn, and B1g), and Mongondow-group (Llk, Mdw, and Psk). It should be noted, however, that Berl and Gtl of the Gorontalo-group exhibit, on the basis of phonological and lexical subgrouping, a closer relationship compared to the others. This two vernaculars can be refer-red to as Buol-Gorontalo (sub) group. Language subgrouping, as described above, indicates that these closely related languages have descended from one ancestral language (that is protolanguage). This protolanguage has grown in different directions in the past and later on gradually became the present closely related languages. A careful observation of languages of the same family group shows that these languages have many sets of cognate-words (words which are related and which derive from the same source language). These cognate-sets contain phonemes which correspond systematically in those vernaculars. These regular correspondences, if accurately observed, will then become the rules of phoneme- or sound-change. Corresponding phonemes of the same set are from one protophoneme. Thus, the purpose of this study is to find out the protophonomes of those related vernaculars. The existence of cognate-sets, the regular phoneme correspondences, and the formulation of the rules of phoneme- or sound-change in those closely related languages, make the reconstruction of the phonological system of the protolanguage possible. Meanwhile, if the reconstruction of protophonomes can satisfactorily be done, then the cognate-words or lexemes can also be reconstructed to yield the protoforms (protowords) or etymons of Gtl-Mdw (lexical reconstruction). On the basis of the subgrouping of the Gorontalo-Mongondow languages, and in connection with the main purpose of this study, the reconstruction of phonology, the reconstruction-procedure of this research, is carried out in four phases: (1) the reconstruction of Preto-Buol-Gorontalo (PEG), for Bwl and Gtl, (2) the reconstruction of Preto-Gorontalo.(PG), for PBG (IIvl, Gt1), Sw, Kdp, Btn, and Blg, (3) the re-construction of Proto-Mongondow (PM), for Llk, Mdv, and Psk, and finally, (4) the reconstruction of Proto-Gorontalo-Mo.
Read More
D-159
Jakarta : FS UI, 1986
S3 - Disertasi Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
☉
Benny Hoedoro Hoed; Pembimbing: Anton M. Moeliono, Reinier Salverda, E.K.M Masinambow
Abstrak:
ABSTRAK Pengalaman dalam bidang penerjemahan dan pengetahuan di bidang linguistik memberikan banyak kesempatan untuk memikirkan secara lebih mendalam sejumlah masalah dalam terjemahan. Salah satu di antaranya ialah masalah penerjemahan konsep waktu yang diungkapkan dalam novel berbahasa Perancis ke dalam bahasa Indonesia. Bila dihubungkan dengan bahasa, kata waktu perlu mendapat penjelasan lebih lanjut. Bahasa Inggris membedakan time 'waktu' dengan tense 'kala'. Dalam peristilahan linguistik di Indonesia tense biasanya diterjemahkan dengan kala yang dibedakan dengan waktu. Dalam kaitan dengan bahasa, istilah waktu termasuk kategori semantik, sedangkan kala termasuk kategori gramatikal. Bahasa jerman juga membedakan Zeit (kategori semantik) dengan Ternpus (kategori gramatikal). Untuk kedua pengertian itu bahasa Perancis hanya mempunyai satu kata, yaitu temps. Namun, istilah temps linguistigue, temps verbal atau temps grammatical juga dipakai untuk menyebut kategori gramatikal kala. Sejak lama masalah kala dan waktu menarik perhatian para ahli bahasa. Pertanyaan pokoknya adalah bagaimana pengalaman manusia diwujudkan dalam kegiatan kebahasaan, dan, dengan demikian, bagaimana konsep waktu itu ditinjau dari segi kebahasaan? Beberapa di antaranya dapat dicatat di sini. Jespersen (1924) membicarakan waktu kebahasaan sebagai konsep semantik yang terdiri dari waktu kini, waktu larnpau, dan waktu medatang. Bloomfield (1933: 270-272) membicarakan kala (tense) sebagai bagian dari paradigma verbs dalam bahasa Inggris. Weinrich (karya aseli 1964) mengemukakan bahwa kala (Tempzrs) ternyata tidak hanya bertugas menempatkan peristiwa pada garis waktu, tetapi juga mengungkapkan keaspekan dan fungsinya dalam wacana baru terwujud bila persepsi alas peristiwa yang diketahuinya itu kemudian diungkapkannya dalam wujud bahasa (Bull 1971: 17). Dalam membicarakan waktu, Benveniste (1974: 69-74) membedakan tiga pengertian, yaitu: (1) Waktu fisis (temps physique), yakni waktu yang secara alamiah kita alami, yang sifatnya sinambung, Iinear dan tak terhingga. Waktu fisis berjalan tcrus tanpa dapat kita alami lagi. (2) Waktu kronis (temps chronique), yakni waktu yang dipikirkan kemhali atau dikonseptualisasikan oleh manusia berdasarkan suatu atau sejumlah peristiwa yang ditetapkan secara konvensional oleh suatu masyarakat sebagai titik acuan dalam waktu fisis_ (3) Waktu kebabasaan (temps hnguistigice), yakni waktu yang dilibatkan dalam tuturan kita dan dalam sistem bahasa yang kita pakai. Ketiga pengertian mengenai waktu yang dikemukakan Benveniste itu sangat penting untuk memahami konsep manusia tentang waktu. Bagi manusia, waktu yang sebenarnya dirasakan ialah waktu fisis. Manusia hidup di dalam waktu yang terus berjalan tanpa dapat kernbali lagi ke waktu lampau. Akan tetapi, dengan mengkonseptualisasi waktu manusia dapat menjelajahinya, sehingga, ia dapat mengarungi sejarah, masa kini dan hari depannya. Bahkan manusia dapat membayangkan waktu dalam sesuatu pembagian yang beraturan. Untuk menetapkan pembagian yang beraturan itu, biasanya manusia menentukan secara konvensional suatu peristiwa sebagai titik acuan dalam waktu fisis dan kemudian menetapkan pula pembagiannya dalam sejumlah penggalan. Misalnya tahun 1 Maselii dihubungkan dengan kelahiran Isa Almasih dan dibagi atas penggalan tahun (12 bulan), bulan (30 hari), minggu (7 hari), dan hari (24 jam, satu piantan (etinaal, Bel.) atau satu putaran bumi, atau jarak waktu antara matahari terbit dan matahari terbit, atau antara matahari terbenam dan matahari terbenam).
Read More
D-161
Jakarta : FS UI, 1989
S3 - Disertasi Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
☉
Suwito; Pembimbing: Anton M. Moeliono, E.K.M. Masinambow, Soepomo Poedjosoedarmo
Abstrak:
This study aims at describing the choice and selection of a language and its varieties, from the point of view of the kinds of constraints and the utterance of the speakers in the Javanese speech community in the three villages in Surakarta municipality. This study is based on the assumption that in a Javanese speech community there are at least two languages playing the role as communicative codes i.e. Javanese and Indonesian. In the communication process one choose between Javanese and Indonesian or the varieties of the two. The two languages and their vanities cannot be used haphazardly in all events and in all situations ; The uses of those languages must conform to social, cultural, and situational fact-ors found in Javanese society. Such lack constraints in using a particular variety of a language signals a trend of the selection of language i.e. for what specific purpose a speaker uses a language and in what situation he/she uses another. The selection of language in a society constitutes one of the features that shows a diglosic situation. In Javanese society the selection of a language is still colored by the deviation utterances of their speakers, due the interference phenomena from Javanese elements into Indonesian. Such phenomena lead to an impression that there is still an overlapping use of Javanese and Indonesian by speakers in general. the overlapping use of the two languages in the Javanese speech community of the-three villages of Surakarta indicates that the disglosic situation is not yet steady. The application of extra linguistic constraints on the choice and selection of a language is based on the concept of the components of speech, proposed by Dell Hynes (1972), and on its elaboration by Poedjosoedarmo (1979). And the analysis of speech deviation is based on the interference phenomena as discussed by Weinreich (1968), Dittmar (1976), and hababan {1977). By those approaches, the choice and selection of language and it constraints and tha application in the utterances would be able to be explained, and the social, cultural, and situational background of the unstable diglosic situation in Javanese speech community of Surakarta can be examined.
Read More
D-166
Jakarta : FS UI, 1987
S3 - Disertasi Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
☉
