Hasil Pencarian :: Kembali

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query ::  Simpan CSV
cover
Madiya Safira; Pembimbing: Lhuri Dwianti Rahmartani; Penguji: Rizka Maulida, Syafirah Hardani
Abstrak:

Latar belakang: Praktik Pemotongan/Perlukaan Genitalia Perempuan (P2GP) merupakan pelanggaran hak asasi perempuan. Prevalensi P2GP di Indonesia yang dilaporkan tahun 2021 mencapai 50,5% pada perempuan berusia 15–49 tahun, dengan 55,0% anak mereka juga mengalami P2GP. Peningkatan prevalensi dari generasi sebelumnya ke generasi saat ini menandakan masalah ini belum sepenuhnya teratasi. Tujuan: Mengetahui gambaran kejadian P2GP pada anak dari ibu berusia 15–64 tahun di Indonesia tahun 2024 dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Metode: Penelitian ini menggunakan data Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional 2024 dengan desain potong lintang. Sampel penelitian ini terdiri dari 5.653 perempuan berusia 15–64 tahun yang memiliki anak perempuan hidup dan tinggal serumah . Analisis data dilakukan dengan uji Chi-square dan regresi logistik sederhana. Hasil: Prevalensi P2GP pada anak di Indonesia sebesar 47,9%. Faktor individu yang berasosiasi positif dengan P2GP pada anak meliputi usia ibu 55–64 tahun (dibandingkan usia ibu 15-24 tahun) (OR = 1,38, 95% CI: 1,02–1,87), pendidikan ibu tingkat dasar (dibandingkan tingkat tinggi) (OR = 1,20; 95% CI: 1,01–1,41), pendidikan ayah tingkat dasar dan menengah (dibandingkan tingkat tinggi) (OR = 1,40; 95% CI: 1,16–1,69), ibu beragama Islam (dibandingkan lainnya) (OR = 83,58; 95% CI: 44,65–156,44), status ekonomi terendah hingga menengah (dibandingkan teratas) (OR = 1,58; 95% CI: 1,34–1,88), ibu tidak bekerja (OR = 1,15; 95% CI: 1,04–1,28), serta ibu dengan riwayat P2GP serta tidak tahu/tidak ingat dan tidak menjawab (dibandingkan tanpa riwayat P2GP) (OR = 134,37; 95% CI: 106,36–169,76) dan mendukung kelanjutan P2GP dan tidak tahu (dibandingkan mendukung penghentian) (OR = 36,89; 95% CI: 31,27–43,52). Faktor komunitas yang berasosiasi positif dengan P2GP pada anak adalah wilayah dengan keberadaan P2GP (dibandingkan tanpa keberadaan P2GP) (OR = 22,62; 95% CI: 19,58–26,12) serta tinggal di wilayah Kalimantan (OR = 1,94; 95% CI: 1,54–2,44), Maluku (OR = 2,05; 95% CI: 1,29–3,24), Sulawesi (OR = 1,61; 95% CI: 1,32–1,97), dan Sumatra (OR = 2,70; 95% CI: 2,35–3,09) (dibandingkan Jawa). Sementara itu, tinggal di perdesaan (OR = 0,82; 95% CI: 0,72 – 0,91) serta di Kepulauan Sunda Kecil (OR = 0,36; 95% CI: 0,27–0,49) dan Papua (OR = 0,27; 95% CI: 0,16–0,43) (dibandingkan Jawa) berasosiasi negatif dengan P2GP pada anak. Kesimpulan: Penghapusan P2GP memerlukan penegakan regulasi, perluasan akses pendidikan kesehatan reproduksi komprehensif, pengawasan fasilitas kesehatan, kolaborasi dengan tokoh agama, pemberdayaan perempuan oleh pemerintah, serta penolakan aktif terhadap P2GP oleh masyarakat.


Background: Female Genital Mutilation/Cutting (FGM/C) is a violation of women’s human rights as it provides no health benefits and interferes with the natural functions of the female body. In Indonesia, the prevalence of FGM/C in 2021 reached 50.5% among women aged 15–49 years, with 55.0% of their daughters also having undergone the practice. The increased prevalence from the previous generation to the current one indicates that this issue remains unresolved.  Objective: To describe the prevalence of FGM/C among daughters of women aged 15–64 years in Indonesia in 2024 and the associated factors.  Methods: This study used data from the 2024 National Survey on Women’s Life Experiences with a cross-sectional design. The sample consisted of 5.653 women aged 15–64 years who had at least one living daughter residing in the same household. Data were analyzed using Chi-square and logistic regression tests.  Results: The prevalence of FGM/C in children in Indonesia is 47.9%. Individual factors positively associated with FGM/C in children include: maternal age 55–64 years (compared to 15–24 years) (OR = 1.38; 95% CI: 1.02–1.87), maternal primary education (compared to higher education) (OR = 1.20; 95% CI: 1.01–1.41), paternal primary and secondary education (compared to higher education) (OR = 1.40; 95% CI: 1.16–1.69), Muslim mothers (compared to others) (OR = 83.58; 95% CI: 44.65–156.44), lowest to middle economic status (compared to the highest) (OR = 1.58; 95% CI: 1.34–1.88), unemployed mothers (OR = 1.15; 95% CI: 1.04–1.28), mothers with a history of FGM/C and who did not know/did not remember and did not respond (compared to those without a history) (OR = 134.37; 95% CI: 106.36–169.76), and mothers who support the continuation of FGM/C and are unsure (compared to those who support its discontinuation) (OR = 36.89; 95% CI: 31.27–43.52). Community-level factors positively associated with FGM/C in children include: living in areas where FGM/C is practiced (compared to areas where it is not) (OR = 22.62; 95% CI: 19.58–26.12), and residing in Kalimantan (OR = 1.94; 95% CI: 1.54–2.44), Maluku (OR = 2.05; 95% CI: 1.29–3.24), Sulawesi (OR = 1.61; 95% CI: 1.32–1.97), and Sumatra (OR = 2.70; 95% CI: 2.35–3.09) (compared to Jawa). Meanwhile, living in rural areas (OR = 0,82; 95% CI: 0,72 – 0,91), the Lesser Sunda Islands (OR = 0,36; 95% CI: 0,27–0,49), and Papua (OR = 0,27; 95% CI: 0,16–0,43) is negatively associated with FGM/C in children (compared to Java).  Conclusion: Efforts to eliminate FGM/C in Indonesia require enforcement of current regulations, expansion of access to comprehensive reproductive health education, health facility oversight, intersectoral collaboration including religious leaders, the empowerment of women, and active public rejection of FGM/C.

Read More
S-11942
Depok : FKM-UI, 2025
S1 - Skripsi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Mutia Utami Butar Butar; Pembimbing: Budi Hartono; Penguji: Laila Fitria, Heri Nugroho
S-11935
Depok : FKM-UI, 2025
S1 - Skripsi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Sarah Narumi; Pembimbing: Lhuri Dwianti Rahmartani; Penguji: Rizka Maulida, Jeremia Immanuel Siregar
Abstrak:

Latar belakang: Hipertensi merupakan penyakit tidak menular dengan prevalensi tertinggi Indonesia. Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, 30,8% penduduk usia ≥18 tahun mengalami hipertensi berdasarkan pengukuran, sedangkan prevalensi hipertensi berdasarkan diagnosis dokter adalah 8,6%. Selain itu, laporan SKI 2023 menekankan adanya kesenjangan antara perilaku pencarian pengobatan hipertensi dengan proporsi masyarakat yang terdiagnosis. Saat ini, sebesar 53,3% penyandang hipertensi tidak teratur minum obat atau tidak minum obat antihipertensi, dan 56,9% tidak teratur atau sama sekali tidak melakukan pemeriksaan ulang ke tenaga kesehatan.

Tujuan: Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pencarian pengobatan hipertensi pada penyandang hipertensi usia ≥18 tahun di Indonesia.

Metode: Sebanyak 53.648 penyandang hipertensi usia ≥18 tahun berdasarkan data SKI 2023 diteliti dalam penelitian cross-sectional ini. Uji chi-square dan regresi logistik sederhana dilakukan untuk melihat hubungan antar variabel. Variabel luaran adalah perilaku pencarian pengobatan hipertensi. Variabel prediktor adalah jenis kelamin, usia, status pernikahan, tingkat pendidikan, status pekerjaan, pengetahuan terkait hipertensi, tempat tinggal, wilayah geografis, status sosial ekonomi, kepemilikan jaminan kesehatan, akses ke fasilitas kesehatan, multimorbiditas, dan perilaku cek kesehatan berkala.

Hasil: Proporsi perilaku pencarian pengobatan hipertensi yang aktif pada penyandang hipertensi usia ≥18 tahun di Indonesia tahun 2023 adalah 76,2%. Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pencarian pengobatan hipertensi adalah berjenis kelamin perempuan (OR = 1,24; 95% CI: 1,15-1,33), berusia 65-74 tahun (ref. 18-24 tahun; OR = 6,60; 95% CI: 4,35-10,04), sedang menikah (OR = 0,92; 95% CI: 0,85-0,99), memiliki tingkat pendidikan tersier (ref. Tidak sekolah; OR = 1,28; 95% CI: 1,12-1,47), tidak bekerja (OR = 1,15; 95% CI: 1,08-1,23), pernah mendapat informasi pengobatan hipertensi (OR = 3,98; 95% CI: 3,70-4,28), berasal dari Kepulauan Maluku (ref. Papua; OR = 1,97; 95% CI: 1,51-2,58), memiliki status sosial ekonomi teratas (OR = 1,36; 95% CI: 1,17-1,59), memiliki jaminan kesehatan (OR = 1,48; 95% CI: 1,36-1,61), memiliki multimorbiditas (OR = 1,77; 95% CI: 1,63-1,92), dan melakukan cek kesehatan minimal 1 bulan sekali (ref. Tidak pernah; OR = 6,16; 95% CI: 5,54-6,84).

Kesimpulan: Studi ini menunjukkan dibutuhkannya program untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat, khususnya kelompok usia produktif, dalam melakukan pengobatan hipertensi.
Kata kunci: Perilaku pencarian pengobatan, penyandang hipertensi, hipertensi


Background: Hypertension is a non-communicable disease with the highest prevalence in Indonesia. According to the Indonesian Health Survey (SKI) in 2023, 30.8% of people aged ≥18 experienced hypertension based on blood pressure measurement, while the prevalence of hypertension based on a doctor’s diagnosis was 8.6%. In addition, the SKI 2023 report emphasised the gap between hypertension health-seeking behaviour and the proportion of diagnosed patients. Currently, 53.3% of hypertensive patients do not regularly or do not take anti-hypertensive medication, and 56.9% do not regularly or do not have re-examinations with health professionals.  Objective: This study aims to determine the factors associated with hypertension health-seeking behaviour in hypertensive patients aged ≥18 years in Indonesia.    Methods: A total of 53.648 hypertensive patients aged ≥18 years based on SKI 2023 were analysed in this cross-sectional study. Chi-square test and simple logistic regression were used to determine the associations between variables. The outcome variable is hypertension health-seeking behaviour. The independent variables are gender, age, marital status, education level, employment status, hypertension-related knowledge, place of residence, geographic area, socioeconomic status, health insurance ownership, access to health facility, multimorbidity, and regular health check-up.   Results: The proportion of active hypertension health-seeking behaviour in hypertensive patients aged ≥18 years in Indonesia in 2023 was 76.2%. Factors associated with hypertension health-seeking behaviour were female (OR = 1.24; 95% CI: 1.15-1.33), aged 65-74 years (ref. 18-44 years; OR = 6.60; 95% CI: 4.35-10.04), married (OR = 0.92; 95% CI: 0.85-0.99), having tertiary education (ref. no formal education; OR = 1.28; 95% CI: 1.12-1.47), not working (OR = 1.15; 95% CI: 1.08-1.23), having received information on hypertension treatment (OR = 3.98; 95% CI: 3.70-4.28), living in the Maluku Islands (ref. Papua; OR = 1.97; 95% CI: 1.51-2.58), having the highest socioeconomic status (OR = 1.36; 95% CI: 1.17-1.59), insured (OR = 1.48; 95% CI: 1.36-1.61), having multimorbidity (OR = 1.77; 95% CI: 1.63-1.92), and doing a health check-up at least once a month (ref. never; OR = 6.16; 95% CI: 5.54-6.84).  Conclusion: This study indicates the need for a program to raise awareness and the active participation of the public, particularly the productive age population, in seeking hypertension treatment.  Key words: Health-seeking behaviour, hypertensive patients, hypertension

Read More
S-11934
Depok : FKM-UI, 2025
S1 - Skripsi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Aisyah Syahrani Syafri; Pembimbing: Lhuri Dwianti Rahmartani; Penguji: Rizka Maulida, Nadia Shafira
Abstrak:
Latar Belakang: Periode neonatal merupakan waktu yang rentan bagi bayi pada awal kehidupannya dan komplikasi perdarahan selama kehamilan dapat mempengaruhi kelangsungan hidup ibu dan bayi. Saat ini, terdapat perbedaan pendapat terkait pengaruh komplikasi perdarahan selama kehamilan dengan kematian neonatal serta belum ditemukannya publikasi terkait komplikasi perdarahan selama kehamilan terhadap kematian neonatal di skala nasional Indonesia dengan data terbaru. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan perdarahan selama kehamilan dengan kematian neonatal di Indonesia. Metode: Penelitian ini merupakan studi kuantitatif menggunakan data sekunder dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 dengan desain studi cross-sectional. Analisis data dilakukan pada wanita usia subur (WUS) usia 15-49 tahun yang melahirkan bayi lahir hidup pada rentang tahun 2012-2017 dan merupakan anak terakhir tunggal yang terdata dalam SDKI 2017. Sebanyak 14.848 sampel didapatkan untuk dianalisis menggunakan complex survey dengan chi-square dan regresi logistik untuk memeriksa hubungan antara perdarahan selama kehamilan dengan kejadian kematian neonatal Hasil: Prevalensi kematian neonatal pada wanita usia subur (WUS) usia 15-49 tahun yang melahirkan dalam rentang waktu 2012-2017 di Indonesia berdasarkan data SDKI 2017 sebesar 0,7%. Selain itu, 48,4% dari total 14.848 responden mengalami perdarahan selama kehamilan. Setelah dilakukan analisis multivariat dengan mengontrol ukuran lahir bayi, jenis kelamin bayi, dan paritas ibu, tidak ditemukan asosiasi yang bermakna secara statistik antara perdarahan selama kehamilan dengan kejadian kematian neonatal (adjusted odds ratio 0,67; CI 95% 0,45-1,01). Kesimpulan: Perdarahan selama kehamilan tidak terbukti berasosiasi dengan kematian neonatal. Hal ini mungkin terjadi akibat keterbatasan metode penelitian yang digunakan, tidak diketahui lebih lanjut kapan dan seberapa banyak perdarahan yang terjadi, dan cakupan ANC yang baik. Dari sisi klinis, terdapat perdarahan yang cukup sulit untuk dideteksi oleh tenaga kesehatan sehingga memungkinkan tidak terdatanya kasus. Selain itu, pada perdarahan yang berisiko, penanganan cepat akan dilakukan sehingga kesehatan bayi tidak akan berdampak pada masa neonatal.

Background: Neonatal period is a vulnerable time for infants and bleeding during pregnancy can affect the survival of the mother and baby. Research regarding association between bleeding during pregnancy and neonatal deaths using the Indonesia is still rarely carried out at this time and there’s a variety of opinion regarding this matter. Therefore, researchers conducted a study to determine the association between bleeding during pregnancy and neonatal mortality in Indonesia. Method: This research is a quantitative study using secondary data from the 2017 Indonesia Demographic and Health Survey (IDHS) with a cross-sectional study design. Data analysis was conducted on women of reproductive age (WRA) aged 15-49 years who gave birth to live infants between 2012 and 2017 and whose most recent singleton births were recorded in the 2017 IDHS. A total of 14,848 samples were obtained for analysis using complex survey methods with chi-square and logistic regression to examine the relationship between bleeding during pregnancy and neonatal mortality. Results: The prevalence of neonatal mortality among women of reproductive age (WRA) aged 15-49 years who gave birth between 2012 and 2017 in Indonesia, based on the 2017 IDHS data, was 0.7%. Additionally, 48.4% of the total 14,848 respondents experienced bleeding during pregnancy. After conducting multivariate analysis while controlling with its confounders (perceived birth weight, sex of the baby, and maternal parity) no statistically significant association was found between bleeding during pregnancy and neonatal mortality (adjusted odds ratio 0.67; 95% CI 0.45-1.01). Conclusion: Bleeding during pregnancy was not found to be associated with neonatal mortality. This may be due to limitations in the research methods used, the lack of detailed information on the timing and amount of bleeding, and good ANC coverage. Clinically, some bleeding may be difficult to detect, leading to potential underreporting of cases. Furthermore, in cases of high-risk bleeding, emergency management is likely to be implemented, preventing any impact on neonatal health.
Read More
S-11682
Depok : FKM UI, 2024
S1 - Skripsi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Alya Adhityashma Wahono; Pembimbing: Lhuri Dwianti Rahmartani; Penguji: Rizka Maulida, Nadia Shafira
Abstrak:
Latar belakang: Saat ini kematian neonatal masih menjadi masalah kesehatan masyarakat nasional dan global sehingga diperlukan upaya untuk menurunkannya. Salah satunya melalui pemanfaatan antenatal care (ANC). Dalam ANC terdapat 10 komponen pelayanan kesehatan yang harus diberikan kepada ibu hamil, termasuk imunisasi tetanus toksoid (TT) yang penting untuk mencegah tetanus neonatorum (TN) yang memiliki fatality rate yang tinggi. Di Indonesia, persentase imunisasi TT2+ pada ibu hamil menurun, sedangkan kasus TN mulai meningkat kembali. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan imunisasi TT pada ibu hamil dengan kematian neonatal di Indonesia. Metode: Penelitian ini menggunakan data SDKI 2017 dengan desain cross sectional. Sampelnya terdiri dari 10.028 wanita usia subur yang memenuhi kriteria inklusi. Analisis data dilakukan menggunakan uji chi square dan regresi logistik. Hasil: Berdasarkan uji statistik, baik sebelum maupun setelah dikontrol dengan variabel confounding, ibu yang tidak pernah mendapatkan imunisasi TT berpeluang tinggi untuk mengalami kematian neonatal (AOR 1,89; 95% CI 1,11 – 3,23). Di sisi lain, pada ibu yang hanya satu kali menerima imunisasi TT tidak ditemukan adanya asosiasi dengan kematian neonatal (AOR 0,67; 95% CI 0,29 – 1,54). Kesimpulan: Menambah bukti tentang pentingnya imunisasi TT pada ibu hamil dalam upaya mencegah kematian neonatal.

Background: Currently, neonatal mortality remains a significant public health issue both nationally and globally. Hence, efforts are needed to reduce it. One effective strategy is the utilization of antenatal care. ANC encompasses 10 essential health services that should be provided to pregnant women, including the administration of tetanus toxoid (TT) immunization, which is crucial for preventing neonatal tetanus (NT) that has a high fatality rate. In Indonesia, the percentage of TT2+ immunization among pregnant women has decreased, while NT cases have begun to rise again. Objective: To determine the association between TT immunization in pregnant women and neonatal mortality in Indonesia. Method: This study utilized data from the 2017 IDHS with a cross-sectional study design. The sample consisted of 10.028 women of childbearing age who met the inclusion criteria. Data analysis was performed using chi-square tests and logistic regression. Result: Based on statistical tests, both before and after controlling for confounding variables, babies born to mothers who never received TT immunization had a higher likelihood of experiencing neonatal mortality (AOR 1.89; 95% CI 1.11 – 3.23). On the other hand, no association was found between mothers who received only one dose of TT immunization and neonatal mortality (AOR 0.67; 95% CI 0.29 – 1.54). Conclusion: Adding evidence about the importance of TT immunization in pregnant women for preventing neonatal mortality.
Read More
S-11657
Depok : FKM-UI, 2024
S1 - Skripsi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
:: Pengguna : Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
Library Automation and Digital Archive