Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query :: Simpan CSV
Indonesia mempunyai target untuk menurunkan kematian ibu menjadi 125 kematian maternal per 100.000 kelahiran hidup. Padahal Indonesia menghadapi tantangan geografis dan variabel social lainnya yang menyebabkan kelahiran kebanyakan di rumah dan ditolong bukan oleh tenaga kesehatan. Salah satu pilihan pemerintah Indonesia untuk mengurangi kematian maternal adalah dengan meningkatkan angka utilisasi penolong persalinan oleh tenaga kesehatan. Agar kebijakan penanggulangan masalah ini lebih tepat perlu diketahui determinan yang menyebabkan ibu melahirkan dengan pertolongan tenaga kesehatan. Dengan menggunakan beberapa teori atau model dari beberapa studi sebelumnya maka disusunlah kerangka konsep yang dapat memahami determinan utilisasi linakes. Data Susenas 2005 dan PODES 2005 digunakan dalam analisis ini. Hasilnya berdasarkan lebih dari 91.000 sampel anak balita, diperoleh hasil prdiksi proporsi pemanfaat pertolongan tenaga kesehatan pada kelahiran sebesar 75,5 %. Model binomial logistic digunakan untuk analisis inferensial. Hasilnya menunjukkan variabel yang signifikan adalah pendidikan ibu, kunjungan ANC, area, kepemilikan jaminan pembiayaan kesehatan, urutan kelahiran, umur ibu, status bekerja ibu, sektor pekerjaan ibu, pekerjaan KRT, pendidikan KRT, jumlah anggota rumah tangga, fasilitas kesehatan seperti puskesmas, polindes dan bidan di desa serta pengeluaran rumah tangga per kapita.
Indonesia has set a target of reducing its maternal mortality rate to 125 maternal deaths per 100,000 live births by the year 2010. This poses formidable challenges in geographically diverse country where the majority of births occur at home by unskilled birth attendant. One option for the Indonesian government in oder to reduce its maternal mortality would be to increase rates of skilled assistance for home deliveries. In order to design appropriate policies to achieve this, it is imperative to understand the determinant of use of skilled birth attendants by mothers. We use several model as an theoretical framework to understand the determinant of the use of a trained provider in Indonesia. The 2005 National Social Economic Survey was used, and data PODES was abstracted for analysis. Out of a total sampel of 91.000 under 5 years, 75% used services of skilled birth attendants. A binomial logistic model was used to predict determinant of use. Our results that maternal education, household expenditure per capita quintile, occupation, and number of antenatal care visit are significant determinants among all choice set.
Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Hal ini karena bila terjadi kekurangan gizi terutama pada usia balita akan menyebabkan terjadi penurunan kecerdasan, kegagalan pertumbuhan fisik, menurunkan produktivitas serta menurunkan daya tahun tubuh terhadap penyakit. Ini disebabkan karena sejak anak dalam kandungan hingga berumur 2 tahun terjadi pertumbuhan dan perkembangan otak paling pesat yakni 80 % dan hingga usia 5 tahun mencapai 100 %. Dinas kesehatan kota Kupang merupakan instansi pemerintah yang salah satu fungsinya adalah merumuskan kebijakan teknis di bidang kesehatan. Oleh karena itu dengan adanya peningkatan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di kota Kupang, maka dinas kesehatan kota Kupang mempunyai wewenang untuk menetapkan kebijakan dalam mengatasi masalah gizi balita. Salah satu kebijakan yang dilakukan adalah perencanaan program gizi balita. Hal ini karena dengan perencanaan dapat menentukan tujuan, pedoman serta cara pelaksanaan yang efektif dan teratur dalam mengatasi masalah gizi balita. Hingga saat ini belum ada penelitian tentang perencanaan gizi balita di Dinas Kesehatan Kota Kupang. Tujuan penelitian ini ingin mengetahui gambaran perencanaan program gizi balita di dinas kesehatan kota Kupang tahun 2005, dengan menggunakan pendekatan sistem yakni input, proses, dan output, Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan data sekunder. Hasil penelitian menunjukan tidak ada perencanaan dari bawah (bottom up planning). Pedoman yang digunakan dalam perencanaan tahunan hanya pedoman anggaran sehingga dokumen perencanaan yang dihasilkan berupa rencana anggaran tahunan. Tidak ada rencana kerja operasional yang akan dilakukan. Data yang dipakai untuk perencanaan sangat terbatas jugs sarana komputasi dan transportasi. Tenaga perencana gizi merangkap kepala seksi kesehatan anak dan remaja. Tidak ada pembagian tugas (job description). Kegiatan bimbingan teknis dan konsultasi dengan pimpinan berjalan baik, hanya materinya terbatas sehingga tidak ada koordinasi lintas program, koordinasi lintas sektor sangat terbatas, tidak ada perencanaan untuk mencegah terjadinya masalah gizi balita hanya perencanaan untuk mengatasi masalah gizi balita. Kualitas dokumen perencanaan jangka panjang 5 tahunan cukup baik, sedangkan dokumen perencanaan jangka pendek hanya ada tujuan dan rencana anggaran. Saran untuk dinas kesehatan kota Kupang agar menerima perencanaan yang dibuat dari puskesmas, tenaga perencana gizi tidak merangkap dengan jabatan lain, ada pembagian tugas (job description) yang jelas, perlu adanya koordinasi lintas program koordinasi lintas sektor perlu ditingkatkan lagi. Focus perencanaan bukan hanya untuk mengatasi masalah gizi balita tapi untuk mencegah terjadinya masalah gizi balita. Perlu adanya rencana kerja operasional (plan of action) untuk 1 tahun yang merupakan aplikasi dari rencana jangka panjang dan disosialisasikan ke semua puskesmas yang ada di kota Kupang.
Nutrition is one determinant of human resource quality. Malnutrition, particularly during underfives would reduce intellectual capacity, failure to thrive, reduce productivity, and reduce immune system against infection. Since conception until 2 years old, growth and development of brain is in its peak, reaching 80% of its potential and reqaching 100% at five years old. Kupang City Health Office is government institution which function includes formulating technical policy in health area. Therefore, the situation of increasing prevalence of malnutrition (both moderate and severe undemub ition) in Kupang City has forced Kupang City Health Office to formulate and implement policy and program to overcome the situation. One policy that has been formulated was underfive nutrition program planning. Planning should determine the objectives, guidance, and effective implementation to overcome underfives nutrition problem. Until recently, there was no study on underfive nutrition program planning in Kupang City Health Office. The objective of this study was to describe underfive nutrition program planning in Kupang City Health Office in year 2005 using system approach consisting of input, process, and output. This study was a descriptive analytic using qualitative approach. Data used in this study included primary and secondary data. The study showed no bottom up planning. Guidance used in the yearly planning was only budget guidance and thus the produced planning document was yearly budget plan. There was no operational work plan, and very limited use of data, computation and transport. Nutrition planner also worked as Head of Section of Child and Adolescent Health. There was no job description available. Technical assistance and consultation with management was running well, however the material was limited and therefore no planning to prevent malnutrition among underfives only planning to overcome the situation when it was occurred, The quality of five year plan document was quite good, while the short term planning document only included objective and budget plan. It is recommended that the Kupang City Health Office to accept planning developed by public health centers, no overlapping and dual job, to have clear job description, to implement the inter program coordination, and to improve intersectoral coordination, to shift focus of nutrition program planning as not to focus only on corrective action but also preventive. There is a need to develop yearly plan of action which is an application of long term (five yearly) planning and to socialize it to all public health centers Kupang City.
Obat merupakan komponen terpenting dalam pelayanan kesehatan, sehingga harus selalu tersedia dalam jumlah dan jenis yang cukup. Penggunaan obat secara rasional penting untuk menjamin akses obat, ketersediaan, dan mutu pelayanan kesehatan. Di Puskesmas, banyak terjadi peresepan dan penggunaan obat tidak rasional yang umumnya tidak disadari oleh tenaga kesehatan. Peresepan dan penggunaan obat yang tidak rasional meliputi polifamasi, penggunaan Antibiotika pada ISPA non pneumonia, dan penggunaan injuksi pada Myalgia. Penelitian ini bertujuan Untuk mengelahui faktor-faktor yang berhubungan dengan peresepan obat tidak rasional oleh tenaga kesehatan di 15 Puskesmas Kota sukabumi Tahun 2006. Desain peneiitian mqrupakan kombinasi studi kuantitatif dan kualitatif, dengan rancangan cross sectional untuk studi kuantilatif dan wawancara mendalam untuk studi kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen - instrumen kuesioner, form monitoring peresepan, fonn pemantauan ketersediaan obat, dan pedoman wawancam mendalam. Sedangkan Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat, dan analisis content dafam bentuk matrik hasil wawancara mendalam. Sampel penelitian adalah seluruh populasi yaitu 74 orang tenaga kesehatan yang terdiri dari dokter umum dan perawat yang melakukan pelayanan pengobatan di Puskesmas dengan resep yang ditulisnya Selama bulan april 2006 dengan diagnosa penygkit ISPA non pneumonia, Diare non spesifik, dan myalgia. Sebagai variabel terikat adalah penggunaan obat tidak rasional dan yariabel bebas adalah masa kerja, pengetahuan, sikap, pelatihan, permintaan pasien dan ketersediaan obat. Hasil penelitian menunjukan bnhwa rata-rata peresepan obat tidak rasional di Puskesmas Kota Sukabumi adalah 49,74 %, dengan polifarmasi (79,47 %), Antibiotika (65,32%), dan Injeksi (4,43 %). Dari hasil analisis bivariat diketahui bahwa variabel pendidikan profesi, masa kerja, pengetahuan, sikap, pelatihan, dan permintaan pasien tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan peresepan obat tidak rasional, tetapi variabel ketersediaan obat berhubungan secara signifikan, dengan interpretasi semakin berlebih ketersediaan obat, semakin tidak rasional. Hasil analisis content pada matrik hasil wawancara mendalam menunjukan bahwa faktor internal tenaga kesehatan seperti pengalaman pribadi, otoritas profesi, seni pengobatan, dan faktor eksternal yaitu kondisi penyakit dan perilaku pasien temyata berhubungan dengan peresepan obat yang tidak rasional. Rekomendasi dari penelitian ini adalah perencanaan pengadaan obat dengan metoda morbiditas dan ditindaklanjuti dengan Monitoring dan evaluasi peresapan obat yang lebih intensif, merancang pelatihan terprogram untuk meningkatkan pengetahuan bagi perawat dan peningkatan motivasi bagi tenaga dokter. Menyusun dan mensosialisasikan standar pengobatan dasar di Puskesmas terutama bagi perawat dengan dukungan legalitas sampai dengan tenaga dokter memadai. bagi Peneliti lain sebaiknya menggali variabel pemanfaatan dan kepatuhan pada buku pedoman pengobatan dasar dan tingkat pengetahuan pasien atau masyarakat.
Kementerian kesehatan meluncurkan program Jampersal sejak tahun 2011 sebagai upaya mempercepat pencapaian MDGs terutama tujuan kelima yaitu meningkatkan kesehatan ibu, dengan salah satu indikator keberhasilannya adalah proporsi kelahiran yang ditangani oleh tenaga kesehatan berkompeten. Pada tahun 2012, cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Nanggeleng sebagai salah satu puskesmas di Kota Sukabumi baru mencapai 70,7% dari target 86%. Dengan demikian implementasi program Jampersal belum optimal di wilayah kerja puskesmas Nanggeleng. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif analitik dengan pendekatan sistem, informasi diperoleh dari wawancara mendalam dan telaah dokumen yang berkaitan dengan implementasi program Jampersal, untuk validitas data menggunakan triangulasi sumber dan metode.
Hasil penelitian menunjukkan adanya kendala yang ditemui antara lain pada input; sebagian kelompok sasaran lebih memilih ke dukun bayi untuk menolong persalinannya. Pada proses; pemasaran Jampersal belum efektif, perencanaan kegiatan belum mendukung keberhasilan program Jampersal, kemitraan bidan dan dukun bayi belum berjalan baik, sehingga kinerja program Jampersal belum tercapai. Hasil penelitian ini menyarankan agar bidan terus melakukan komunikasi, informasi dan edukasi kepada kelompok sasaran, disiminasi informasi menggunakan berbagai media informasi, perencanaan berdasarkan prioritas masalah serta meningkatkan kemitraan bidan dan paraji dengan prinsip kesetaraan, keterbukaan dan saling menguntungkan.
The Ministry of Health launched Jampersal program in 2011 as an effort to accelerate the achievement of the MDGs, especially the fifth goal, which is improving maternal health, with one success indicator is the proportion of births attended by skilled health personnel. Delivery by skilled health personel at Puskesmas Nanggeleng Sukabumi in 2012 is not optimal, that reached 70,7 % only, as compered to the target of 86%. This research uses qualitative approach with system framework. The information obtained through in-depth interviews and review of documents related to Jampersal program implementation. Triangulation of sources and methodes is used for validity.
The results showed the existence of obstacles encountered, among others. In the input; most preferre target group for the traditional birth attendants labor. In the process; Jampersal has not yet been implemented effectively, planing process has not supported the success of implementation, midwives and traditional birth attendants partnerships has not been well implemented, so that integrated Jampersal program performance has not been achieved. Thus the research suggest that midwives continue to prude Communication, information and education to target groups, disseminat of information using a variety of media conduct, planning based on priority issues and improve partnerships between midwives and traditional birth attendants with the principle of equality, openness and mutual benefit.
Dalarn era desentralisasi, bidang kesehatan menjadi sepenuhnya kewenangan dan tanggung jawab Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan pembangunannya untuk mencapai peningkatan derajat kesehatan masyarakat di wilayahnya. Sebagai konsekwensinya pemerintah Kabupaten/Kota harus menyusun kebijakan dalam upaya pembangunan kesehatan, termasuk di dalamnya kebijakan pembiayaan kesehatan yang bersurnber dari pemerintah. Sistem pembiayaan kesehatan di daerah perlu dikembangkan agar isu pokok dalam pembiayaan kesehatan daerah, yaitu mobilisasi, alokasi dan efisiensi pembiayaan dapat terselenggara dengan baik sehingga menjamin pemerataan. mutu, efisiensi dan kesinambungan pembangunan kesehatan daerah. Tersedianya data tentang pembiayaan kesehatan menjadi sangat penting karena sangat mempengaruhi proses pembuatan keputusan untuk penentuan kebijakan dan strategi pembiayaan kesehatan daerah. Sampai saat ini belum pernah dilakukan analisis pembiayaan kesehatan yang bersumber pemerintah di Kota Sukabumi sceura lengkap. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui berapa besar alokasi pembiayaan kesehatan dalam satu tahun, secara total maupun per kapita, sumber pernbiayaan, dan bagaimana peruntukannya dilihat dari jenis belanja, line item, mata anggaran, sub mata anggaran, unit pengelola, unit pengguna, program dan jenis biaya serta alokasi pembiayaan untuk program-program essensial. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Sukabumi pada Dinas Kesehatan, RSUD dan instansi terkait yang menjadi pengelola pembiayaan kesehatan bersumber pemerintah. Studi ini menggunakan pendekatan District Health Account (DHA). Analisis pembiayaan kesehatan menggunakan data alokasi pembiayaan tahun anggaran 2006. Hasil analisis menunjukkan bahwa total pembiayaan kesehatan bersumber pemerintah di Kota Sukabumi adalah sebesar Rp 71410_033,100,- dan Rp 58.866.442.000,- (78,04%) bersumber dari APBD. Pembiayaan kesehatan per kapita (gaji/tunjangan, investasi, dan pemeliharaan tidak dihitung) adalah sebesar Rp 155.920,- Dilihat dari peruntukannya, alokasi pernbiayaan di Kota Sukabumi, Dinas Kesehatan dan RSUD, proporsi belanja publik lebih besar dari belanja aparatur, kecuali di RSUD antara belanja aparatur dan publik hampir seimbang, sebagian besar dialokasikan untuk belanja operasional Proporsi belanja investasi lebih besar dari belanja pemeliharaan. Proporsi pembiayaan kesehatan bersumber APED mencapai 17,00% dari total APED Kota Sukabumi. Dengan menggunakan angka estimasi Bank Dunia (biaya kesehatan Rp 41.17 / kapita/tahun), maka alokasi pembiayaan kesehatan di Kota Sukabumi sudah memenuhi ketentuan tersebut. Sementara itu untuk membiayai program-program essensial di Dinas Kesehatan, baru mencapai 6,74% dari total annum Dinas Kesehatan atau 15,74 % dari kebutuhan sesuai estimasi Bank Dunia. Untuk memenuhi laiteria pemerataan, mutu, efi.siensi dart kesinambungan pembangunan kesehatan di Kota Sukabumi, diperlukan analisis lebih lanjut terutama untuk mengetahui alokasi pada mata anggaran dan sub mata anggaran apa saja, agar indikator outcome, benefit, impact program dapat tercapai.
In decentralization era, health department becomes an authority and responsible for district/city fully in implementing development to improve public health level in their area. As consequence, district/city government must arrange a policy to develop health, included health cost policy which comes from government. Health cost system at district mast be developed in order main issue on health cost of district, such as mobilization, allocation, and cost efficiency can implement well so it can guarantee a generalization, quality, efficiency, and continuity of district health development. Applying data of health cost becomes a most important thing because it can affect a policy making process to determine policy and cost strategy of district health program. Until now, it has not been conducted a health cost analysis yet which comes from government of Sukabumi completely. Therefore, this study is conducted to know how much health cost allocation for one year totally or each capita, cost resource, and how its function if it is seen from outcome type, line item, budget, sub budget, organizer unit, user unit, program and cost type and cost allocation for essential programs. This study was conducted at Health Service, RSUD and related instance in Sukabumi which became a health cost organizer which came from government. This study used a District Health Account (DHA) method. Health cost analysis used a cost allocation data on budget period of 2006. Analysis result indicated that health cost totally which comes from government of Sukabumi are 75.410.033.100 rupiah and 58.866442.000 rupiahs (78,04%) come from APED. Health cost every capita are 155.920,- rupiahs (salary/subsidy, infestation and conservancy are not accounted). If it was seen from its function, cost allocation at Health Service and RSUD of Sukabumi, proportion of public outcome is bigger than government officer outcome, except proportion of government officer outcome and public outcome at RSUD are balance, most of them is allocated for operational outcome. Proportion of infestation outcome is bigger than conservancy outcome. Proportion of health cost which comes from 'APBD is 17,00% of APED in Sukabumi totally. By using an estimation rate of World Bank (health cost is 41.171 every capita/every year), so health cost allocation of Sukabumi is out of rule. While for essential programs cost at Health Service, there are 6,74% of total budget at Health Service or 15,74% of the needs based on World Bank estimation. It is important a further analysis to fulfil/ criterion of generalization, quality, efficiency and health development continuity in Sukabumi especially for knowing budget and sub budget allocation so program indicators of outcome, benefit, and their impact can reach.
