Hasil Pencarian :: Kembali

Ditemukan 30025 dokumen yang sesuai dengan query ::  Simpan CSV
cover
Hanna Elisabet Lumbangaol; Pembimbing: Mardiati Nadjib; Penguji: Kurnia Sari, Pujiyanto, Irianny Pudjiastuti, I Gusti Ngurah Akwila Dwiyundha
Abstrak:
Total hip arthroplasty (THA) adalah tindakan ortopedi popular, yaitu prosedur mengganti secara keseluruhan sendi panggul yang mengalami kerusakan dengan implan atau prosthesis. Utilitas THA diperkirakan akan terus tumbuh dimasa yang akan datang. enhance recovery after surgery (ERAS) diperkenalkan sebagai pendekatan multidisiplin yang bertujuan untuk mengoptimasi dan mempercepat proses penyembuhan berdasarkan praktik berbasis bukti. Berdasarkan literatur, implementasi ERAS pada THA terbukti mampu mengurangi jumlah hari rawat dan menghembat biaya perawatan. Evaluasi ekonomi ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas/luaran intermediate yang terdiri dari length of stay dan persen sukses operasi serta biaya yang dikeluarkan antara THA protokol ERAS dan konvensional. Studi ini menggunakan desain studi potong lintang dengan perspektif penyedia layanan kesehatan. Data dikumpulkan mulai Januari 2020 hingga Mei 2023. Hasil uji bivariat dengan SPSS menujukkan tidak ada perbedaan yang signifikan pada efektivitas. Evaluasi radiografi menunjukkan persentase sukses 100% pada kedua protokol, sedangkan persentase LOS ≤5 hari menunjukkan hasil sebesar 88% pada THA ERAS dan 75% pada THA konvensional. Hasil perhitungan ACER menunjukkan hal yang sebaliknya, yaitu nilai ACER untuk THA ERAS lebih rendah dibandingkan Konvensional (Rp47.187.729 dan Rp54.460.322). Berdasarkan nilai ACER, THA ERAS berpotensi lebih efisien dibandingkan THA Konvensional dengan efektivitas yang lebih baik. Namun, hasil CMA menunjukkan bahwa biaya rata-rata satu tindakan dengan pendekatan Konvensional lebih rendah daripada ERAS, yaitu Rp40.845.242 dibandingkan Rp41.525.202. Efektivitas ERAS dapat lebih ditingkatkan lagi dan memiliki efektivitas biaya dibandingkan Konvensional bila dapat diperoleh data yang lebih besar sampelnya, prosedur yang lebih jelas untuk pemulangan pasien dan clinical pathway yang tersusun baik. Kata kunci: Penggantian pinggul total, enhance recovery after surgery, evaluasi ekonomi, efektivitas biaya

Total hip arthroplasty (THA) is a widely performed orthopedic procedure involving the complete replacement of a damaged hip joint with an implant or prosthesis. With its increasing popularity, the utilization of THA is expected to grow in the future. Enhance recovery after surgery (ERAS) has emerged as a multidisciplinary approach aimed at optimizing and expediting the healing process through evidence-based practices. Literature supports the implementation of ERAS in THA, as it has been shown to reduce hospitalization duration and treatment costs. This economic evaluation aims to analyze the effectiveness in the form of intermediate outcomes, including length of stay (LOS) and the success rate of the operation, as well as the costs associated with ERAS and conventional THA protocols. The study employs a cross-sectional design from the perspective of healthcare providers, collecting data from January 2020 to May 2023. Bivariate tests conducted using SPSS demonstrate no significant difference in effectiveness. Radiographic evaluation indicates a 100% success rate in both protocols, while LOS ≤5 days is observed in 88% of THA ERAS cases and 75% of conventional THA cases. Calculated ACER values show that THA ERAS has a lower cost (Rp. 47,187,729) compared to Conventional (Rp. 54,460,322), suggesting greater potential in efficiency and effectiveness. However, the cost-minimization analysis (CMA) reveals that the average cost of a single action using the Conventional approach (IDR 40,845,242) is lower than that of ERAS (IDR 41,525,202). To further enhance the effectiveness of ERAS and ensure cost-effectiveness relative to Conventional THA, obtaining a larger sample size, establishing clear patient discharge procedures, and implementing well-organized clinical pathways are recommended. Keywords: Total hip replacement, enhance recovery after surgery, economic evaluation, cost-effectiveness.
Read More
T-6775
Depok : FKM-UI, 2023
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Eni Zatila; PembimbingL: Mardiati Nadjib; Penguji: Ede Surya Darmawan, Prastuti Soewondo, Amila Megraini, Saraswati
Abstrak:

Katarak merupakan penyebab utama kebutaan di Indonesia dan dunia pada umumnya. Diperkirakan l,5% prevalensi kebutaan terjadi di Indonesia dan merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Provinsi Sumatera Selatan merupakan Salah satu provinsi di Indonesia dengan prevalensi kebutaan yang cukup tinggi 1,3%). Tingginya penumpukan kasus (backlog) katarak disebabkan oleh ketidakseimbangan antara insiden katarak dengan operasi yang dilakukan setiap tahunnya. Operasi katarak merupakan salah salu tindakan operatif yang terbukti cost effective. Bcberapa jenis metode operasi diharapkan bisa mengatasi backlog katarak dan bisa diterima baik dari sisi provider juga dari penerima pelayanan (penderita). Manual Small Incision Cataract Surgery (MSICS) dan Phacoemalsfficarion diharapkan bisa rnenjadi standar operasi katarak di negara berkembang seperti Indonesia dan Sumatera Selatan khususnya di kota Palembang. Penelitian ini membandingkan dua metode operasi katarak, MSICS dan phacoemulsification. Penelitian ini bertujuan membandingkan biaya rata-rata dan output operasi katarak yang dilakukan di dua klinik khusus mata di Palembang, Sumatera Selatan yaitu Palembang Eye Centre untuk metode MSICS dan Sriwijaya Eye Centre untuk metode Phacoemulsificataion. Sampel adalah 55 penderita yang dioperasi dengan metode MSICS dan 60 pasien yang dioperasi dengan metode phacoemulsification. Penelitian dilakukan secara prospektif dari bulan Februari sampai dengan April 2008. Data demografi penderita, visus sebelum dan sesudah operasi diperoleh dari rekam medis dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya total pada phacoemulsification lebih besar dibandingkan metode MSICS. Phacoemulsification membutuhkan biaya investasi yang besar untuk mesin phacoemulsification dan mikroskop operasi serta biaya bahan medis habis pakai dan lensa tanam per kasus yang dioperasi. Pada metode MSICS biaya bahan medis habis pakai ini mengambii porsi 46 % dari biaya total dan 63 % pada metode phacoemulsiiication. Biaya bahan medis habis pakai adalah Rp.866.850 untuk MSICS dan Rp.2.008.750 untuk phacoemulsification. Perbandingan biaya rata-rata per operasi adaiah Rp. 1.895.019 untuk metode MSICS dan Rp.3.20l.4l6 untuk phacoemulsiiication. Biaya investasi per unit operasi pada metode MSICS lebih tinggi dibandingkan dengan metode phacoemulsification sedangkan biaya operasional dan pemeliharaan rata-rata per operasi pada metode MSICS lebih rendah. Pada penelitian ini sebanyak 8l,8% penderita yang dioperasi dengan metode MSICS dan 96,7 % penderita yang dioperasi dengan metode phacoemulsification bisa mencapai perbaikan visus 6/ 12 atau lebih pada 4 minggu post operasi. Pada penelitian ini hanya biaya dari sisi provider yang dihitung, sementara biaya dari sisi penderita tidak dihitung. Pengukuran visus post operasi hanya dilakukan sampai minggu ke-4. Karena keterbatasan inilah, hasil evaluasi ekonomi ini harus diinterpretasikan secara hati-hati dan metode operasi manakah yang lebih cost-effective belum dapat disimpulkan. Kesimpulan yang bisa dibuat dari penelitian ini adalah biaya operasi katarak dengan metode MSICS Iebih effisien secara ekonomi dan bisa dipilih sebagai altematif dalam penanganan baclog katarak.


Cataract is the main cause of avoidable blindness in Indonesia and throughout the world. There are an estimated prevalence l.5 % of blindness in Indonesia, the highest one in South East Asia. South Sumatera is one of the province in Indonesia having high prevalence of blindness (l,8%). A huge backlog of cataract blindness is due to imbalance of cataract incidence and surgery done every year. Cataract extraction is one of the cost eiective surgical interventions. Any type of cataract surgery, which is expected to tackle the backlog has to be affordable to service provider and the service recipient (patient). Manual Small incision Cataract Surgery (MSICS) and Phacoemulsilication are expected to be the standard of care for cataract surgery. A small incision is done and does not need to be sutured makes both of these methods to have high quality in restoring visual function after cataract surgery. This study was done to make comparison of these two methods, MSICS and phacoemulsification, aimed to compare the average cost and output of cataract surgeries done in two Eye Care Centre in Palembang, South Sumatera, namely Palembang Eye Centre for MSICS methods and Sriwijaya Eye Centre for phacoemulsitication methods. The sample of 55 patient for MSICS and 60 patient for phacoemulsification were enrolled prospectively from February to April 2008. Data on patient demography, pre operative and post operative visual acuity were abstracted from medical record and observation. Output was measured as visual acuity 4 weeks post operatively. The total cost for phacoemulsification was higher than that for MSICS in this study. Phacoernulsitication requires a high capital investment for a phacoemulsiiication machine and a more expensive operating microscope along with higher cost per case for disposable and a foldable IOL. Consumable cost contributes 46 % of total cost for MSICS and 63 % for Phacoemulsitication. Consumable cost was Rp.866.850 for MSICS and Rp.2.008.'/50 for phacoemulsification. Cost per catarct surgery was Rp.l.895.0l9 for MSICS as compared to Rp.3.20l.4l6 for phacoemulsitication. Average investment cost for MSICS was higher than that for phacoemulsification. Average operational cost (without consumable cost in operating room) and average maintence cost of MSICS were lower than phacoemulsification in this study. The result of the study showed that 81,8 % patients of MSICS procedures and 96,7 % patients of phacoemulsification procedures achieved 6/ 12 or better visual acuity 4 weeks postoperatively. In this study Only provider cost was calculated while the consumer cost was not included. Visual acuity was measured merely 4 weeks postoperatively. BCVA (Best Corrected Visual Acuity) is used as an outcome measure for cataract surgery. These limitations of the study make the result of this economic evaluation sould be interpreted cautiously. Whether one method is more cost-effective can not be concluded from this study. The conclusion of this study is that the MSICS method being the more efficient method to tackle cataract backlog.

Read More
T-2840
Depok : FKM-UI, 2008
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Farsely Mranani; Pembimbing: Mardiati Nadjib; Penguji: Pujiyanto, Vetty Yulianty Permanasari, Erna Mulati, Nindya Savitri
Abstrak: Hipotiroid kongenital (HK) adalah kelainan bawaan yang dapat menimbulkandampak berupa retardasi mental permanen. Pemberian levothyroxine dengan dosistepat pada usia sedini mungkin, dapat mencegah gangguan pertumbuhan danperkembangan. Sayangnya, bayi baru lahir tidak menunjukkan gejala HK. Kalaupunada, berarti sudah ada gangguan pertumbuhan. Perlu skrining hipotiroid kongenital(SHK) untuk menemukan kasus bayi yang menderita HK.Meski sudah dilakukan sejak 2006, baru pada tahun 2014 dikeluarkan Permenkestentang pelaksanaan SHK di Indonesia. Penelitian evaluasi ekonomi program SHKtahun 2014-2015 ini mencakup analisis biaya skrining dan terapi dini, sedangkanoutcome didapat dari systematic review (SR). Asumsi dikembangkan berdasarkandata riil pasien skrining SHK di 2 laboratorium rujukan di Jakarta dan Bandung.Dari total 56.186 bayi yang melakukan skrining, diperoleh 24 pasien positifmenderita HK.Hasil SR menyatakan bahwa semakin dini onset terapi, semakin adekuat dosisinisiasi dan semakin kontinyu terapi dapat memberikan hasil yang baik. Hasiltersebut berupa pencegahan terhadap komplikasi HK lebih jauh dan perbaikan padapenyimpangan tumbuh kembang.Dari hasil penelitian, didapatkan informasi bahwa baru pada tahun kedua terlihatadanya keuntungan ekonomis SHK. Hal ini berhubungan dengan patologi gejala HKyang umumnya muncul pada usia 3-6 bulan. Orang tua baru mencari pertolonganmedis pada tahun kedua dan mengeluarkan lebih banyak biaya. Biaya skrining danterapi dini menjadi sepadan dibandingkan dengan kerugian yang dapat dicegahakibat gejala gangguan tumbuh kembang.Kata kunci:Skrining hipotiroid kongenital, biaya, luaran
Congenital hypothyroidism (CH) is a congenital disorder that can have an impact inthe form of permanent mental retardation. Giving the right dose of levothyroxine atthe earliest possible age, can prevent the disruption of growth and development.Newborns do not show symptoms of CH, and unfortunately the symptoms appear inthe late period and in many cases it shows growth disorders. The congenitalhypothyroidism screening (CHS) program has been implemented to find infant caseswith CH, and followed up with treatment.Although it has been made since 2006, Minister of Health just issued the regulationin 2014 on the implementation of CHS in Indonesia. This economic evaluation of theCHS program in 2014-2015 was done using cost analysis, while outcome obtainedfrom the systematic review (SR). The assumptions used in the analysis weredeveloped based on real data from a CHS screening program in two referrallaboratories in Jakarta and Bandung. Out of 56.186 screened babies, 24 babies werefound as CH positive cases.The result of the SR revealed that the earlier onset of initiation therapy, the moreadequate dose and the more continuous therapy given to the patient, the better resultwill be achieved. It will prevent the patients from severe complications of CH andwill improve the quality of thegrowth and development..The study found that the economic benefit is achieved in the second year of CHtreatment, since the pathological symptoms generally appear at the age of 3-6 monthand parents seek care in the second year. Consequently, cost to treat patients willincrease. The cost of screening and early treatment was found worthy as compared toeconomic loss resulting from growth disorders.Key words:Congenital Hypothyroid screening, cost, outcome
Read More
T-4728
Depok : FKM-UI, 2016
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Dede Haschodir; Pembimbing: Ascobat Gani; Penguji: Atik Nurwahyuni, Vetty Yulianty Permanasari, Cipto Aris Purnomo, Agus Ari Wibowo
Abstrak:
Penelitian ini berfokus pada analisis determinan out-of-pocket payment (OOP) pada rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur menggunakan data Susenas tahun 2021. Variabel independen yang diteliti adalah tingkat ekonomi rumah tangga, kepemilikan jaminan kesehatan, beban biaya transportasi ke fasilitas kesehatan, dan tingkat pendidikan kepala rumah tangga. Sedangkan variabel dependen pada penelitian ini adalah besaran OOP kuratif rumah tangga. Diketahui bahwa di beberapa kabupaten/kota, kelompok tingkat ekonomi rumah tangga, kepemilikan jaminan kesehatan, dan tingkat pendidikan kepala rumah tangga berhubungan signifikan dengan besaran OOP. Beban biaya transportasi ke faskes juga berkorelasi signifikan dengan OOP namun memiliki koefisien yang lemah. Peneliti menyarankan adanya upaya peningkatan pemanfaatan JKN melalui perbaikan kualitas layanan dan pemerataan akses pada layanan kesehatan sehingga OOP dapat dicegah.

The focus of this study is to analyze out-of-pocket payment determinants among households in East Nusa Tenggara using Susenas 2021. Independent variables in this study included economic status, health insurance ownership, transportation fee to health services, and head of household education level while dependent variable was focused on household curative OOP. The result showed that in several regions, economic status, health insurance ownership, and education level was significantly associated with OOP. Moreover, transportation fee to health services was also correlated with OOP with small correlation coefficient. Researcher suggested the need of better health services quality and access so that people could utilize JKN more often and prevent OOP.
Read More
T-6695
Depok : FKM-UI, 2023
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Rifqatul Muthiah Amran; Pembimbing: Hasbullah Thabrany; Penguji: Mardiati Nadjib, Amal Chalik Sjaaf, Helsy Pahlemy, Ihsanil Husna
Abstrak: ABSTRAK Prevalensi hipertensi di Indonesia terus meningkat dari 21,2% pada tahun 2010 menjadi 23,3% pada tahun 2014. Hipertensi dapat menyebabkan penyakit jantung koroner, stroke, dan kematian jika tidak terdeteksi dini dan diobati secara tepat. Antihipertensi yang efektif dalam menurunan tekanan darah dan mengurangi resiko kejadian penyakit jantung koroner adalah Valsartan dan Amlodipine. Biaya pengobatan selalu menjadi penghalang untuk pengobatan yang efektif. Oleh karena itu, perlu dilakukan kendali mutu dan kendali biaya. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis evaluasi ekonomi dengan mengetahui gambaran biaya dan outcome dari penggunaan Valsartan dan Amlodipine selama tiga bulan pengobatan pada pasien hipertensi primer dengan tekanan darah stage I. Penelitian ini bersifat observasional dengan teknik pengambilan data secara retrospektif pada tahun 2016. Outcome berupa rata-rata penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik, proporsi tekanan darah terkontrol, dan proporsi tekanan darah tidak terkontrol. Biaya yang diambil dari perspektif pasien yang berupa biaya langsung medis. Hasil penelitian diperoleh bahwa biaya penggunaan Amlodipine lebih rendah (Rp 872.666,02) dibandingkan Valsartan (Rp 1.064.621,00). Rata-rata penurunan tekanan darah pada penggunaan Amlodipine sebesar 16,33 / 7,88 mmHg, sedangkan pada Valsartan sebesar 14,05 / 5,00 mmHg. Proporsi tekanan drah terkontrol pada Amlodipine sebesar 80%, dengan proporsi kejadian penyakit jantung coroner sebesar 27,5%. Sedangkan proporsi tekanan darah terkontrol pada Valsartan 60%, dengan proporsi kejadian penyakit jantung koroner sebesar 72,5%. Pada diagram efektivitas biaya, Amlodipine terletak pada kuadran II dan Valsartan pada kuadran IV. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, Amlodipine dominan terhadap Valsartan karena membutuhkan biaya yang lebih rendah dan menghasilkan outcome yang lebih baik. Kata Kunci: Hipertensi Primer, Amlodipine, Valsartan, Evaluasi Ekonomi Background: The prevalence of hypertension in Indonesia continues to increase from 21.2% in 2010 to 23.3% in 2014. Hypertension can lead to coronary heart disease, stroke, and death if not detected early and treated appropriately. Antihypertensives that effectively reducing blood pressure and reducing the risk of coronary heart disease are Valsartan and Amlodipine. Medical expenses have always been a barrier to effective treatment. Therefore, it is necessary to have quality control and cost control.The aims of this study was to analyze economic evaluation and to know the costs and outcomes of use of Valsartan and Amlodipine during three months of treatment in primary hypertension patients with stage I blood pressure. Methods: This study was observational study with retrospective data retrieval technique in 2016. The outcome was the mean reduction of systolic and diastolic blood pressure, the proportion of controlled and uncontrolled blood pressure. Costs taken from the patient's perspective in the form of direct medical costs. Results: The results obtained that the cost of using Amlodipine is lower (Rp 872.666.02) than Valsartan (Rp 1,064,621.00). The mean reduction of blood pressure of Amlodipine was 16.33 / 7.88 mmHg, while Valsartan was 14.05 / 5.00 mmHg. Proportion of controlled blood pressure of Amlodipine was 80%, with a proportion of coronary heart disease events was 27.5%. While the proportion of controlled blood pressure of Valsartan was 60%, with the proportion of coronary heart disease events was 72.5%. In the costeffectiveness diagram, Amlodipine was in quadrant II and Valsartan was in quadrant IV. Conclusion: Amlodipine is dominant against Valsartan because it requires lower cost and better outcome. Key words: Primary Hypertension, Amlodipine, Valsartan, Economic Evaluation
Read More
T-5312
Depok : FKM-UI, 2018
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Wirda Syari; Pembimbing: Mardiati Nadjib; Penguji: Vetty Yulianty Permanasari, Kurnia Sari, Doddy Ranuhardy, Amila Megraini
Abstrak:

ABSTRAK Nama : Wirda Syari Program Studi : Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Judul : Evaluasi Ekonomi Parsial Antara Pemberian Terapi Rivaroxaban dan Terapi Kombinasi (UFH + Warfarin) untuk Pengobatan Trombosis Vena Dalam (Deep Vein Thrombosis) pada Pasien Kanker di Rumah Sakit Kanker Dharmais Tahun 2016 – 2018 Pembimbing : Dr. drg. Mardiati Nadjib, MS Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, diketahui bahwa terapi rivaroxaban memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan terapi kombinasi (UFH + warfarin) untuk pengobatan trombosis vena dalam (deep vein thrombosis/DVT). Akan tetapi, masih sedikit dokter di RS Kanker Dharmais yang memberikan terapi rivaroxaban untuk pengobatan DVT. Penelitian evaluasi ekonomi parsial ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas/outcome dan besarnya biaya yang dibutuhkan dari perspektif rumah sakit antara pemberian terapi rivaroxaban dan terapi kombinasi (UFH + warfarin) untuk pengobatan DVT pada pasien kanker di Rumah Sakit Kanker Dharmais tahun 2016 – 2018. Karena keterbatasan jumlah pasien yang mendapatkan terapi rivaroxaban selama 3 – 6 bulan, studi ini menganalisis biaya dan efektivitas/outcome dari pasien yang mendapatkan terapi selama 1 bulan. Efektivitas/outcome yang diukur adalah intermediate outcome, yang meliputi lama hari rawat, kesembuhan, dan kejadian perdarahan. Biaya dihitung berdasarkan biaya yang dibebankan kepada pasien (charge), yang meliputi biaya obat, pemeriksaan penunjang, tindakan, serta administrasi dan akomodasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa untuk efektivitas/outcome terapi rivaroxaban, sebagian besar pasien tidak mendapatkan perawatan rawat inap, 40% pasien dinyatakan sembuh dari DVT, dan tidak ada pasien yang mengalami kejadian perdarahan. Rata-rata biaya terapi rivaroxaban hingga mencapai outcome yang diharapkan adalah Rp 8.824.791,00. Untuk efektivitas/outcome terapi kombinasi (UFH + warfarin), sebagian besar pasien memiliki lama hari rawat antara 8 – 14 hari, 46% pasien dinyatakan sembuh dari DVT, dan tidak ada pasien yang mengalami kejadian perdarahan. Rata-rata biaya terapi kombinasi (UFH + warfarin) hingga mencapai outcome yang diharapkan adalah Rp 13.201.698,00. Kata Kunci: Evaluasi ekonomi; kanker; rivaroxaban; trombosis vena dalam; warfarin


ABSTRACT Name : Wirda Syari Study Program : Magister of Public Health Title : Partial Economic Evaluation Between Rivaroxaban Therapy and Combination Therapy (UFH + Warfarin) for the Treatment of Deep Vein Thrombosis in Cancer Patients at Dharmais Cancer Hospital during 2016 - 2018 Counsellor : Dr. drg. Mardiati Nadjib, MS Based on previous studies, rivaroxaban therapy has several advantages compared to combination therapy (UFH + warfarin) for the treatment of deep vein thrombosis (DVT). However, the use of rivaroxaban in Dharmais Cancer Hospital is still low. This partial economic evaluation study aims to analyze cost and consequence of rivaroxaban therapy and combination therapy (UFH + warfarin) for DVT treatment in cancer patients at the Dharmais Cancer Hospital during 2016 – 2018. Data collection was done using cohort-retrospective and individual unit of analysis. Due to limited number of patient treated with rivaroxaban therapy within 3-6 months, we estimated the cost and consequence related to patients who were successfully treated in one month. The consequence was the intermediate outcome, i.e length of stay, recovery, and the occurrence of bleeding. The cost was calculated based on hospital perspective including drugs, laboratory tests, procedures, as well as the administrative and accommodation costs. The results showed that patients with rivaroxaban therapy were not admitted to inpatient care, 40% of patients were recovered from DVT, and none of the patients experienced bleeding. The average cost of rivaroxaban therapy to reach the expected outcome was Rp 8,824,791.00. The study also showed that the outcome of combination therapy (UFH + warfarin) were length of stay between 8 to 14 days, 46% of patients were recovered from DVT, and none of the patients experienced bleeding. The average cost of combination therapy (UFH + warfarin) to reach the expected outcome was Rp 13,201,698.00. Key words: Cancer; deep vein thrombosis; economic evaluation; rivaroxaban; warfarin

Read More
T-5284
Depok : FKM-UI, 2018
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Rezki Wahyu Meidayanti; Pembimbing: Atik Nurwahyuni; Penguji: Mardiati Nadjib, Achmad Fauzi Yahya, Miftahussaadah
Abstrak:
Di Indonesia, penyakit kardiovaskular masih menjadi penyebab kematian tertinggi dibandingkan penyakit lainnya, yaitu sebesar 12.9% dari total kematian pertahunnya yang penyebabnya didominasi oleh penyakit jantung koroner. Data Riskesda tahun 2018 juga menyebutkan prevalensi penyakit jantung di Indonesia mencapai 1.5%, yang artinya jika merujuk pada jumlah populasi penduduk Indonesia yang mencapai 275 juta jiwa, sekitar 4 juta lebih masyarakat di Indonesia menderita penyakit jantung. Dari sisi pembiayaan juga hal ini berakibat pada besarnya pembiayaan untuk tindakan terapi penyakit jantung, salah satunya adalah tindakan Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Penelitian ini menganalisa bagaimana efektivitas dan biaya dari tindakan IKP yang konvensional dengan tindakan IKP yang terpandu pencitraan Intravascular Ultrasound (IVUS) sebagai tambahan. Metode penelitian dilakukan secara kombinasi, yaitu melakukan review sistematis untuk memperoleh nilai efektivitas klinis dan penelitian cohort retrospektif untuk analisis biayanya. Diperoleh hasil bahwa Tindakan IKP Terpandu IVUS terbukti memiliki efektivitas klinis yang lebih baik dibandingkan tindakan IKP Konvensional yang hanya menggunakan pencitraan Angiografi Secara besaran biaya, tindakan IKP Terpandu IVUS masih memiliki biaya yang lebih tinggi dibanding tindakan IKP Konvensional, dengan selisih rerata biayanya pada tahun 2023 sebesar Rp 17.725.559,- untuk setiap tindakan IKP dengan pemasangan 1 stent.

In Indonesia, cardiovascular disease is still the highest cause of death compared to other diseases, namely 12.9% of total annual deaths, the cause of which is dominated by coronary heart disease. Riskesda data for 2018 also states that the prevalence of heart disease in Indonesia reached 1.5%, which means that if we refer to Indonesia's population of 275 million, around 4 million more people in Indonesia suffer from heart disease. In terms of financing, this also results in large amounts of funding for heart disease therapy, one of which is Percutaneous Coronary Intervention (IKP). This study analyzes the cost and outcome of conventional IKP procedures compared to IKP procedures that use Intravascular Ultrasound (IVUS) imaging as an adjunct. The research method was carried out in a combination, namely conducting a systematic review to obtain clinical effectiveness values and a retrospective cohort study for cost analysis. The results showed that IVUS Guided IKP procedures were proven to have better clinical effectiveness than conventional IKP procedures which only use angiography imaging. In terms of costs, IVUS Guided IKP procedures still have higher costs than conventional IKP procedures, with the difference in average costs in 2023 amounting to IDR 17,725,559 for each IKP procedure with the implantation of 1 stent.
Read More
T-7032
Depok : FKM UI, 2024
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Irwan Saputra; Pembimbing: Hasbullah Thabrany; Penguji: Pujiyanto, Ferri Yanuar
Abstrak:

Di Propinsi Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) , malaria masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang sudah berlangsung lama dan sampai saat ini belum bisa diatasi. Salah satu kabupaten di NAD yaitu Kabupaten Aceh Utara merupakan daerah endemis malaria. Selama 5 (lima) tahun terakhir (2003-2007) AMI (Annual Malaria Jndeks) di Kabupaten Aceh Utara mengalami peningkatan dibandingbn tahun-iahun sebelumnya. Pada tahun 2007 angka AMI sebesar 3,67 per 1000 penduduk. dengan jumlah penderita klinis yang diobati pada puskesmas mencapai 1.555 orang. Aogka tersebut tidak termasuk: kasus-bsus malaria pada rumah saldt pemerintah maupun swasta.. Tinggi AMI di Kabupaten Aceh utara tersebut tidak hanya memberikan dampak terhadap sektor kesehatan saja, tetapi juga berdampak: terbadap sektor ekonomi masyarakat. Tingginya kasus malaria tersebut menyebabkan banyaknya waktu yang hilang karena sesorang tersebut sakit sehingga dia tidak produktif dan harus kehilangan penghasilannya. Selain itu penderita malaria juga meugelwukan biaya untuk pengobatan. tnmsportasi, konswnsi dan sebagainya. Kerugian tersebut tidak banya dirasakanoJeh penderita tetapi juga o1eh pemerintah karena adanya pengeluaran dalam angka penanggulangan penyalit malaria. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran kerugian ekonomi akib&t malaria di Kabupaten Aceh tfurra Tahun 2007. Tujuan kuhusus adalab untuk mengetahui karakteristik penderita malaria tahun 2007, berapa besar biaya Jangsomg dan fidak 1angsung yang dilrelwukan oleh peoderita baik sebelum., selama dan sesudah pengobatan perawatan di puskesmas, faktor-faktor apa Saja yang mempengaruhi total biaya yang dilkeluarkan penderita malaria, juga untuk mengetahui berapa besar biaya yang dikeluarkan pemerintah baik preventif maupun kuratif dalam jangka penanganan penyakiAceh Utara mengenai biaya yang telah dikeluarkan oleh pemerintah selama Tahun 2007 dalam rangka penanganan penyakit malaria. Hasil Penelitian menuqjukkan bahwa penderita malaria di Kabupaten Aceh Utara tahun 2007 sebagian besar laki-laki mencapai 92.3% dari total seluruh sampel penelitian. Dari segi umur responden, didapatkan bahwa sebagian besar penderita berumur 26 tahun - 35 tahun yang sebagian besar bek.erja di daemh pen.ggummgan sebagai petani atau buruh lac!ang. Biaya tidak langsung yang dikeluarlam oleh responden beJjumlah rata-rata sebesar Rp. 948.009,- atau 82,5% dari total biaya keselurulum. Sementara biaya l.mgsuog sdalah Rp. 195.000,- atau 17,5 % dari total biaya keseluruhan. Rata-rata total biaya yang dikeluarlam oleh setiap responden pada Tahun 2007 karena sakit malaria adalah Rp. Rp. 1.565.922,?Jumlah penderita klinis Tahun 2007 menurut laponm dinas kesehatan adalah 1.555 orang sehingga total pengeluaran penderita malaria Tahun 2007 adalah sebesar Rp.2.435.008.710,­ Pengeluaran Pemerintah Kabupaten Aceh Utara Tahun 2007 untuk penanganan penyakit malaria berdasarkan laporan dinas kesehatan adalah sebesar 566.555.000,­ atau naik 25 kali lipat dari tahun 2006 yang hanya sebesar Rp. 22.800.000,- Total kerugian ekonomi alaOat malaria (Economic Loss) di Kabupaten Aceh Utara Tahun 2007 adalah sebanyak Rp. 3.001.563.710,-.Total kerugian ini hanya mencakup nilai perhitungan dari pasien yang datang ke puskesmas dan pengeluaran pemerintah selama Tabw 2007. Hasil analisis bivariat menemukan, hanya satu variabel yang tidak menunjukan hubungan dengan total biaya, yaitu lama hari tidak produk1if penderita, sedangkan variabel lain seperti jenis plasmodium, jenis kelamin, pendidikan, pengbasilan. hari rawat dan jenis pekerjaan menuqjukkan adanya hubungan dengan total bi.aya yang dikeluarlam penderita selama sakit malaria Tahun 2007. Saran yang disampaikan adalah perlu dilakukan penelitian yang lengkap tentang bahaya yang di timbulkan oleh penyakit malaria, baik dari sisi pasein maupun dari pemerintah serta dampak ekonomi secara luas terbadap perekonomian masyarakat.Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Utara perlu mengupayakan kerjasama dengan dinas perkebunan yang mempunyai akses langsung dengan perusahaan tempat buruh bekeJja untok pemberantasan malaria. Puskesmas dalam wilayah Kabupaten Aceh Utara perlu meningkatkan upaya.upaya promotif dan preventif dengan tidak mengabaikan upaya buratif yang tepat dan efesien, terutama yang menyangkut tentang upaya pencegahan dari masyarakat sendiri sebingga dapat menurunkan kasus malaria. Dan bagi pemerintah Kabupataten Aceh Utara diharapkan dapat memberikan perhatian yang khusus terhadap berbagai faktor risiko yang bekaitan dengan penyebaran penyakit malaria. Dengan demikian diharapkan adanya intervensi yang berkelanjutan untuk dapat menurunkan kasus malaria sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.


Malaria is still one of public health problems for a long time and it can not be overcame yet until now in Province of Nanggroe Ac:eh Darussalam. One of districts in Nanggroe Aceh Darussalam is North Aceh which is a place with malaria endemic. Annual Malaria Index (AMI) improved for five years (2003-2007) in North Aceh district. AMI level is 3,67 of 1000 population with amount of clinic patients which are medicated at Primary Health Care are 1.555 peoples. These numbers do not include malaria cases at private and government hospital. High number of AMI in North Ac:eh district does not only give impact for health sector, but it also gives impact for economic sector.This high malaria case caused of many missing times because someone is ill so they are not productive and they have to lose their income. Besides, malaria patient must spend more expenses for medication, transportation, consumption and others. Loss is not only felt by patient but also by government because there are expenses for overcoming malaria disease. This study aim generally to get describing of economic loss which is caused of malaria at North Ac:eh district in 2007. Specific aim is to know how big expenses directly and indirectly which are spent by patient before, during and after medication at Primary Health Care. It is also to know how big expenses which are spent by government for promotion, prevention, and curative for handling malaria disease in 2007. This study don't cover the expenses which are spent by malaria patient who are looking for medication beside to Primary Health Care at North Aceh district in 2007. This study used a descriptive exploitative method with a cross sectional design which has been done from March until June in 2008 by 91 samples. Primary data was got from patient or family who got health service both of outpatient and inpatient with malaria in 2007. While secondary data was got from Health Department at North Ac:eh district concerning the expenses which have been spent by government during 2007 for handling of malaria disease Study result indicated that malaria patient at North Aceh district in 2007, most of them were men. They were 92,3% from total sample of this study. From respondent age got that most patient age 26 - 35 years old who most of them worked as farmer and farm worker at mount area. The expenses which were spent indirectly by respondents were Rp. 948.009 or 82,5% of total costs entirely.While direct costs were Rp. 195.000 or 175% of total costs entirely. Average of total costs which were spent by every respondent with malaria in 2007 were Rp. 1.565.922.Amount of clinic patient in 2007 based on report of Health Department were l.SSS patient so total expenses of malaria patient in 2007 were Rp. 2.435.008.710. The expenses of North Aceh district government in 2007 for handling of malaria disease based on report of Health Department were 566.555.000 or increased 25 times from 2006 which they were only Rp. 22.800.000. Total economic loss which was caused of malaria in North Aceh district in 2007 were Rp. 3.001.563.710. This total loss was only including of calculation value from patient who came to Primary Health Care and government expenses during 2007. From Bivariate analysis result indicated that it was only one variable which didn't indicate a relationship?with total cost including total day of unproductive patient, while other variables like typos of plasmodium, gender, education, income, care day and job indicated the eXistence of relationship with total costs which were spent by patient during malaria sick in 2007. It was suggested to do a compreliensive study concerning the expenses which were spent by malaria disease both of patient and government side and also economic impact for public economic. Health Department ofNorth Aceh District must strive cooperation by Plant Department which has direct access with company where labors work for overcoming malaria. Primary Health Care of North Aceh District must improve the efforts of promotion and prevention without disregarding correct and efficient curative effort, especially concerning prevention effort of public its self so it can reduce malaria case. It was also suggested to government of North Aceh District to give a special attention of various risk factors related to spreading of malaria disease. It was expected a comprehensive intervention to be able to reduce malaria case so it can increase public income and prosperity.

Read More
T-2853
Depok : FKM-UI, 2008
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Siti Kulsum; Pembimbing: Ascobat Gani; Penguji: Prastuti Soewondo, H. Soedibjo Sastroasmoro, Alma Lucyati
T-2297
Depok : FKM-UI, 2006
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Asnimar Azwar; Pembimbing: Mardiati Nadjib; Penguji: Pujiyanto, Ede Surya Darmawan, Lily Indrawati, Sri Nurjuanida
T-2444
Depok : FKM-UI, 2006
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
:: Pengguna : Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
Library Automation and Digital Archive