Ditemukan 35154 dokumen yang sesuai dengan query :: Simpan CSV
Rocky Setya Budi; Pembimbing: Wiku Bakti Bawono Adisasmito; Penguji: Adang Bachtiar, Amal Chalik Sjaaf, Roberia, Elvi Rosanti
Abstrak:
Read More
Abstrak Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2019 Tentang Pusat Kesehatan Masyarakat, Puskesmas menyelenggarakan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perseorangan (UKP) tingkat pertama, dengan mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan upaya kuratif maupun rehabilitatif. Di era Jaminan Kesehatan Nasional, fungsi puskesmas lebih banyak melakukan pengobatan dari pada pencegahan penyakit. Puskesmas memiliki Puskesmas Pembantu sebagai jaringan yang sebenarnya dapat memperkuat UKM dan UKP di tingkat Desa/Kelurahan jika Puskesmas Pembantu menjadi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Namun, belum ada kebijakan tentang puskesmas pembantu dapat menjadi FKTP. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan Pendekatan teori proses analisis kebijakan William N. Dunn. Lokasi penelitian di Puskesmas Perkotaan (Kota Solok), Puskesmas Perdesaan (Kabupaten Tanah Datar), Puskesmas Terpencil (Kabupaten Solok Selatan), serta di Direktorat Tata Kelola Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan yang dilaksanakan pada bulan juni sampai juli 2023. Penelitian dilaksanakan dengan wancara mendalam terhadap 9 orang Kepala Puskesmas, 9 orang penanggungjawab Puskesmas Pembantu, 9 orang Masyarakat, Plt. Direktur Tata Kelola Masyarakat, dan Fokus Group Discussion (FGD) terhadap 4 orang Tim Kerja Kebijakan Puskesmas dan Integrasi Layanan Primer, serta telaah dokumen. Temuan penelitian mengungkapkan, Puskesmas memiliki beban kerja yang berat dan lebih fokus pada pelayanan pengobatan, akses masyarakat terhadap FKTP belum semuanya mudah dijangkau oleh masyarakat, belum ada kebijakan yang mengatur wewenang Puskesmas Pembantu sebagai FKTP, dan sebenarnya Puskesmas Pembantu telah layak dijadikan FKTP Klinik Pratama. Diharapkan ada Peraturan Menteri Kesehatan tentang Puskesmas Pembantu menjadi FKTP Klinik Pratama untuk memperkuat Upaya Kesehatan Masyarakat dan Upaya Kesehatan Perorangan yang terintegrasi di tingkat Desa/Kelurahan.
Abstract Based on the Regulation of the Minister of Health Number 43 of 2019 concerning Puskesmas, the Puskesmas organizes first-level Public Health Efforts (UKM) and Individual Health Efforts (UKP), with priority on promotive and preventive efforts without neglecting curative and rehabilitative efforts. In the era of the National Health Insurance, the function of the puskesmas was more to treat disease than to prevent disease. The health center has a sub-health center as a network which can actually strengthen UKM and UKP at the Village/Kelurahan level if the sub-health center becomes a First Level Health Facility (FKTP). However, there is no policy regarding how auxiliary puskesmas can become FKTPs. This study uses qualitative research methods with William N. Dunn's policy analysis process theory approach. The research locations were Urban Health Centers (Solok City), Rural Health Centers (Tanah Datar Regency), Remote Health Centers (South Solok Regency), as well as at the Ministry of Health's Directorate of Public Health Management which was conducted from June to July 2023. The research was conducted with in-depth interviews with 9 Heads of Health Centers, 9 people in charge of Supporting Health Centers, 9 people from the Community, Plt. Director of Community Governance, and Focus Group Discussion (FGD) of 4 Community Health Center Policy Work Teams and Integration of Primary Services, as well as document review. The research findings revealed that Puskesmas have a heavy workload and are more focused on medical services, not all of the community's access to FKTPs are easy for the community to reach, there is no policy that regulates the authority of Puskesmas Pembantu as FKTPs, and actually Puskesmas Pembantu are appropriate to be made Primary Clinic FKTPs. It is hoped that there will be a Regulation of the Minister of Health regarding Puskesmas Pembantu to become Primary Clinic FKTPs to strengthen Integrated Public Health Efforts and Individual Health Efforts at the Village level.
T-6827
Depok : FKM-UI, 2023
S2 - Tesis Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
☉
Renta Yulfa Zaini; Pembimbing: Wachyu Sulistiadi; Penguji: Ascobat Gani, Dumilah Ayuningtyas, Upik Rukmini, Anita Dianawati
Abstrak:
Read More
Untuk mewujudkan seluruh program prioritas yang menjadi tanggung jawabnya, Puskesmas melakukan kolaborasi dengan jejaring Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama lain di wilayah kerjanya melalui integrasi pelayanan kesehatan. Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Pedoman Penyelenggaraan Integrasi Pelayanan Kesehatan di Puskesmas dengan FKTP lain dalam pelaksanaan Program Prioritas. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi kebijakan Integrasi Pelayanan Kesehatan di Puskesmas dengan FKTP Lain di Kabupaten Kendal Jawa Tengah. Penelitian merupakan analisis kebijakan, menggunakan pendekatan kualitatif dengan disain penelitian menggunakan model implementasi kebijakan Edward III yang dikombinasikan dengan kerangka kerja dari WHO dan segitiga analisis kebijakan dari Walt & Gilson untuk memetakan variabel-variabelnya. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara mendalam dan telaah dokumen yang dilaksanakan pada bulan April – Mei 2024. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan sudah mulai berjalan akan tetapi belum semua kebijakan terlaksana. Sikap pelaksana sudah baik tetapi belum didukung pemahaman kebijakan yang utuh. Dukungan sumber daya belum optimal dalam hal anggaran dan pemanfaatan teknologi digital untuk pelaporan. Komunikasi belum efektif dalam kejelasan kebijakan. Struktur birokrasi di tingkat FKTP masih kurang, pemahaman pedoman kurang sehingga peran dan pembagian wewenang di FKTP belum berjalan dengan baik. Monitoring dan evaluasi belum berjalan optimal, serta keterlibatan swasta perlu didorong dalam integrasi pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, upaya-upaya peningkatan efektivitas implementasi memerlukan penguatan kebijakan, peningkatan komunikasi, penatalaksanaan sumber daya, serta monitoring dan evaluasi
To implement all priority programs for which they are responsible, Puskesmas collaborates with other First Level Health Facility networks in their working areas through health service integration. The Ministry of Health has issued Guidelines for the Implementation of Health Service Integration at Puskesmas with other primary health care facilities in the implementation of Priority Programs. This study aims to analyze the implementation of the Health Service Integration policy at Puskesmas with other FKTPs in Kendal District, Central Java. The research is a policy analysis using a qualitative approach with a research design using the Edward III policy implementation model combined with the WHO framework and the policy analysis triangle from Walt & Gilson to map the variables. Data collection was carried out through in-depth interviews and document reviews conducted in April - May 2024. The results showed that the policy has started to run but not all policies have been implemented. The attitude of the implementers is good but has not been supported by a complete understanding of the policy. Resource support has not been optimal in terms of budget and utilization of digital technology in reporting. Communication has not been effective in policy clarity. Bureaucratic structure at the FKTP level is still lacking, and understanding of the guidelines is lacking so the role and division of authority at FKTP has not gone well. Monitoring and evaluation have not run optimally, and the involvement of the private sector needs to be encouraged in the integration of health services. Therefore, efforts to improve implementation effectiveness require strengthening policies, improving communication, managing resources, as well as monitoring and evaluation.
T-6972
Depok : FKM UI, 2024
S2 - Tesis Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
☉
Iskandar Taran; Pembimbing: Vetty Yulianty Permanasari; Penguji: Dumilah Ayuningtyas, Wiku Bakti Bawono Adisasmito, Asjikin Iman Hidayat Dachlan, Wiendra Waworuntu
Abstrak:
Read More
Pandemi Covid-19 telah mengekspos kerentanan dalam sistem kesehatan di Indonesia dan menjadi alarm bagi pemerintah untuk memperkuat kesiapsiagaan di pintu masuk negara. Salah satu instrumen untuk mencegah dan mengendalikan penyebaran penyakit menular yang berpotensi pandemi adalah melalui penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan di pintu masuk Negara dilaksanakan oleh UPT Bidang Kekarantinaan Kesehatan. Namun, kapasitas unit ini dihadapkan pada berbagai tantangan seperti kapasitas koordinasi dan komunikasi lintas sektor di pintu masuk masih lemah dan bervariasi antar wilayah, regulasi yang sudah tidak relevan, keterbatasan SDM, sarana dan prasarana serta teknologi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan terkait kelembagaan, tata kerja dan sumber daya pada UPT Bidang Kekarantinaan Kesehatan di Indonesia. Pendekatan mixed-methods dengan desain explanatory sequential digunakan dalam penelitian ini. Diawali dengan survei online terhadap 287 responden, kemudian dilanjutkan dengan wawancara mendalam dengan 7 informan. Hasilnya, UPT Bidang Kekarantinaan Kesehatan perlu penguatan kelembagaan melalui pembentukan Badan/Direktorat Jenderal yang fokus pada urusan kekarantinaan kesehatan atau bahkan badan mandiri yang mengadopsi model CDC (Center for Disease Control and Prevention) dimana fungsi surveilans, penelitian dan laboratorium berada dalam satu organisasi serta menggunakan pendekatan one-health. Meskipun tata kerja UPT telah berjalan cukup efektif dengan adanya NSPK dan SOP, namun sebagian besar SOP perlu diperbarui agar selaras dengan kebutuhan dan tantangan kekarantinaan kesehatan terkini. Selain itu, masih terdapat kesenjangan antara kebutuhan dan jumlah pegawai yang tersedia yang dapat memengaruhi efektivitas pelaksanaan tugas UPT Bidang Kekarantinaan Kesehatan, sehingga dibutuhkan perencanaan SDM yang lebih terukur, terstruktur, dan berkelanjutan guna memperkuat kapasitas kelembagaan secara menyeluruh.
The Covid-19 pandemic has exposed vulnerabilities in Indonesia’s health system and served as a wake-up call for the government to strengthen preparedness at the country’s points of entry. One key instrument for preventing and controlling the spread of potentially pandemic infectious diseases is the implementation of health quarantine. Health quarantine at points of entry is carried out by the Health Quarantine Technical Implementation Unit (UPT). However, these units face various challenges, such as weak and inconsistent cross-sectoral coordination and communication across regions, outdated regulations, limited human resources, inadequate infrastructure, and insufficient technology. This study aims to analyze policies related to institutional structure, work systems, and resources of the Health Quarantine UPT in Indonesia. A mixed-methods approach with an explanatory sequential design was used, starting with an online survey of 287 respondents, followed by in-depth interviews with 7 informants. The results show that institutional strengthening is needed, including the establishment of an Agency or Directorate General focused on health quarantine affairs—or even an independent body modeled after the CDC (Centers for Disease Control and Prevention), in which surveillance, research, and laboratory functions are integrated under one organization using a one-health approach. Although UPT work systems are relatively effective with the presence of NSPK and SOPs, many SOPs need to be updated to meet current health quarantine challenges. Additionally, a gap remains between workforce needs and available personnel, affecting the effectiveness of the UPT’s functions. Therefore, structured, measurable, and sustainable human resource planning is required to comprehensively strengthen institutional capacity.
The Covid-19 pandemic has exposed vulnerabilities in Indonesia’s health system and served as a wake-up call for the government to strengthen preparedness at the country’s points of entry. One key instrument for preventing and controlling the spread of potentially pandemic infectious diseases is the implementation of health quarantine. Health quarantine at points of entry is carried out by the Health Quarantine Technical Implementation Unit (UPT). However, these units face various challenges, such as weak and inconsistent cross-sectoral coordination and communication across regions, outdated regulations, limited human resources, inadequate infrastructure, and insufficient technology. This study aims to analyze policies related to institutional structure, work systems, and resources of the Health Quarantine UPT in Indonesia. A mixed-methods approach with an explanatory sequential design was used, starting with an online survey of 287 respondents, followed by in-depth interviews with 7 informants. The results show that institutional strengthening is needed, including the establishment of an Agency or Directorate General focused on health quarantine affairs—or even an independent body modeled after the CDC (Centers for Disease Control and Prevention), in which surveillance, research, and laboratory functions are integrated under one organization using a one-health approach. Although UPT work systems are relatively effective with the presence of NSPK and SOPs, many SOPs need to be updated to meet current health quarantine challenges. Additionally, a gap remains between workforce needs and available personnel, affecting the effectiveness of the UPT’s functions. Therefore, structured, measurable, and sustainable human resource planning is required to comprehensively strengthen institutional capacity.
T-7423
Depok : FKM-UI, 2025
S2 - Tesis Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
☉
Aditia Putri; Pembimbing: Dumilah Ayuningtyas; Penguji: Amal Chalik Sjaaf, Purnawan Junadi, Maria Endang Sumiwi, Trihono
Abstrak:
Read More
Transformasi pelayanan kesehatan primer merupakan Pilar Pertama dalam Transformasi Kesehatan. Pendampingan Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer di Puskesmas (ILP) untuk mewujudkan fokus transformasi pelayanan kesehatan primer dilaksanakan pada bulan Juli sampai Oktober 2022. Penelitian bertujuan melakukan analisis kebijakan ILP di lokasi intervensi awal, mewakili karakteristik wilayah Puskesmas. Lokasi penelitian adalah Puskesmas Kebonsari, Kota Surabaya, Puskesmas Jereweh, Kabupaten Sumbawa Barat, Puskesmas Banjarwangi, Kabupaten Garut, dan Puskesmas Niki-Niki, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif dengan desain studi kasus eksploratif. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan realist evaluation dengan empat tahap yaitu pengembangan teori program, pengumpulan data, pengujian teori program serta interpretasi dan perbaikan. Data primer diperoleh dari wawancara mendalam, FGD, telaah dokumen dan observasi. Informan penelitian ini sejumlah 73 orang mulai dari tingkat Pusat dan daerah (Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota, Puskesmas dan Desa). Di seluruh lokasi, durasi pelayanan bertambah akibat skrining antara lain disebabkan kurangnya dokter. Di perkotaan, terdapat sistem pendaftaran online dan batasan durasi pelayanan yang berpengaruh. Posyandu Prima dan Posyandu mewujudkan tersedianya akses di tingkat desa melalui pemenuhan sumber daya termasuk bidan, perawat dan kader. Belum semua lokasi melaksanakan Posyandu dusun terintegrasi satu waktu. Pelaksanaan Posyandu integrasi perlu memperhatikan jumlah sasaran dan SDMK yang bertugas. Sosialisasi dengan pendekatan sesuai karakter masyarakat dapat meningkatkan utilisasi layanan dalam ILP. Dashboard untuk mewujudkan Pemantauan Wilayah Setempat masih belum optimal. Koordinasi kasus antar Puskesmas sampai desa dilakukan manual via telepon maupun kartu kontrol. Tingginya komitmen ditunjukkan oleh para aktor tingkat Pusat, Daerah dan Desa dibuktikan secara verbal, regulasi pendukung maupun alokasi anggaran termasuk insentif kader. Daerah siap mereplikasi ILP namun menyampaikan kebutuhan kejelasan regulasi. Penelitian ini menghasilkan teori program pelaksanaan ILP mengacu pada tiga fokus transformasi pelayanan primer serta regulasi, integrasi kebijakan dan dukungan stakeholders. Dalam konteks berbeda, pendekatan ILP akan mengalami mekanisme berbeda dalam menghasilkan outcome peningkatan utilisasi layanan. Diperlukan percepatan kebijakan untuk mendukung pendekatan ILP serta harmonisasi kebijakan pendukung untuk konsistensi dukungan daerah dalam replikasi ILP.
Transformation of primary health services is the first pillar of Health Transformation. Pilot of Integrated Primary Health Care in Puskesmas (ILP) to implement the focus of the transformation of primary health services carried out from July to October 2022. This research aims to conduct a policy analysis of ILP at the initial intervention location, representing the characteristics of the Puskesmas. Research locations were in Puskesmas Kebonsari in Surabaya, Puskesmas Jereweh in Sumbawa Barat, Puskesmas Banjarwangi in Garut, and Puskesmas Niki-Niki in Timor Tengah Selatan. This research used qualitative method with an exploratory case study design. The study was conducted using a realist evaluation approach in four stages: development of program theory; data collection; testing the program theory; interpretation and refinement. Primary data were obtained from in-depth interviews, FGDs, document reviews, and observations. The informants for this study were 73 people from the central and regional levels (Provincial, District/City Health Offices, Puskesmas, and Villages). In all locations, the duration of service increased as a result of screening, in part because of a lack of doctors. In urban areas, there is an online registration system, and service duration limits that matter. Posyandu Prima and Posyandu provide access at the village level through the fulfillment of resources including midwives, nurses, and cadres. Not all locations performed integrated Posyandu at one time. The implementation of integrated Posyandu needs to pay attention to the number of targets and the health staff involved. Socialization with an approach depending on community character can increase service utilization od ILP. The dashboard for accomplish Local Area Monitoring is still not optimal. Coordination of cases between Puskesmas and villages was done manually via telephone or control card. Actors at the Central, Regional, and Village levels showed a high level of commitment as evidenced verbally, supporting regulations and budget allocations including cadre incentives. Several regions are ready to replicate the ILP, but convey the need for regulatory clarification. This research create program theories of ILP referring to the three focuses of primary service transformation as well as regulation, policy integration, and stakeholders support. In different contexts, the ILP approach will experience different mechanisms in producing service utilization improvement outcomes. Policy acceleration is needed to support the ILP approach and harmonize supporting policies for consistent local government support in ILP replication.
T-6753
Depok : FKM-UI, 2023
S2 - Tesis Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
☉
Ernisfi; Pembimbing: Jaslis Ilyas; Penguji: Anhari Achadi, Vetty Yulianty Permanasari, Enny Ekasari, Novi Andriani
Abstrak:
Tesis ini membahas mengenai kinerja Puskesmas dan peningkatan kinerja Puskesmas dalam pencapaian standar pelayanan minimal bidang kesehatan di Kota Depok tahun 2018. Tesis ini menggunakan teori sistem dimana peneliti mendeskripsikan faktor input Puskesmas, factor proses puskesmas berupa penyelenggaraan pelayanan puskesmas dan output Puskesmas yaitu Kinerja Puskesmas berdasarkan 12 indikator SPM. Meode penelitian yang digunakan adalah penelitian mixed methods, yaitu penelitian kuantitatif dari univariate hingga multivariate dengan menggunakan data sekunder. Metode kualitatif menggunakan wawanara mendalam dan diskusi terarah. Hasil penelitian menunjukan bahwa Kinerja Puskesmas terhadap pencapaian SPM sangat rendah, fackor yang berpengaruh terhadap kinerja Puskesmas adalah factor bangunan, alat kesehatan dan BMHP serta factor ketenagaan,. Hasil uji regresi logistik menunjukan faktor yang paling berpengaruh adalah faktor ketenagaan
Read More
T-5652
Depok : FKM-UI, 2019
S2 - Tesis Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
☉
Ratih Oktarina; Pembimbing: Dumilah Ayuningtyas; Penguji: Adang Bachtiar, Puput Oktamianti, Amila Megraini, Mira Miranti Puspitasari
Abstrak:
Read More
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh isu Tuberkulosis (TBC) di Indonesia yang menjadi kasus TBC terbesar kedua di dunia selama bertahun-tahun. Meskipun TBC telah ditetapkan menjadi agenda prioritas kesehatan Nasional namun upaya penanggulangan penyakit ini belum menunjukkan hasil yang signifikan. Di salah satu daerah prioritas nasional untuk penanggulangan TB, yaitu Kota Depok, indikator success reate masih di angka 68% per September tahun 2024, sementara di tahun 2022 dan 2023 adalah 85% dan 83% secara berturut-turut. Beban TBC bertambah dengan meningkatnya jumlah kasus TB-RO yang mencapai 148 kasus 2024. Di sisi lain, Kota Depok memiliki beberapa komunitas yang bergerak pada penanggulangan TBC, seperti Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI), Konsorsium STPI-Penabulu (KSP), komunitas bentukan pemerintah: Tim Kampung Ramah TB (KAPITU), serta masyarakat yang diberdayakan untuk mendukung upaya penemuan kasus hingga pendampingan pengobatan. Studi ini bertujuan untuk menelaah masalah penanggulangan TBC yang melibatkan para kader TBC terlatih dan kesenjangan yang ada pada kebijakan yang telah ada, selanjutnya menelaah temuan yang ada dalam kerangka pengembangan instrumen kebijakan tentang penguatan kader TBC dalam program penanggulangan TBC. Pengumpulan data antara lain melalui survey terhadap kader kesehatan yang terlibat dalam program penanggulangan Tuberkulosis sebanyak 143 responden, Focus Group Discusion (FGD) terhadap 8 (delapan) koordinator kader TB per wilayah kerja program TB, observasi terhadap kader TBC, serta wawancara mendalam terhadap 2 (dua) Pendamping Menelan Obat (PMO) atau Patient Support, penanggung jawab (PJ) program di komunitas dan Puskesmas, Dinas Kesehatan Kota, dan Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda). Penguatan peran kader kesehatan dalam program penanggulangan Tuberkulosis di Kota Depok menjadi penting mengingat: tingginya beban TBC baik dari sisi epidemiologi, isu sosial maupun beban upaya untuk merespon amanat kebijakan di level pusat terutama untuk melaksanakan Investigasi Kontak (IK), pelacakan pasien yang mangkir, serta pendampingan pengobatan pasien hingga sembuh. Terdapat kesenjangan dalam instrumen kebijakan yang terkait dengan pemberdayaan kader kesehatan yang berperan dalam program penanggulangan TBC di Kota Depok yang antara lain dapat dilihat dari Peraturan Walikota Kota Depok Nomor 61/2023 yang belum memiliki turunan kebijakan yang memuat peran-peran serta penghargaan yang khusus bagi kader kesehatan. Selain itu, Puskesmas sebagai perwakilan pemerintah yang memberikan penugasan langsung kepada para kader kesehatan juga belum menyediakan logistik yang teralokasi khusus bagi kader kesehatan. Sebagai alternatif solusi, diperlukan kebijakan turunan yang mendorong penyediaan logistik bagi kader kesehatan yang mendukung capaian kinerja Puskesmas dalam hal investigasi kontak melalui perencanaan kegiatan terkait penanggulangan TBC yang melibatkan kader kesehatan dan Standar Operasional Prosedur (SOP) atau instrumen kebijakan lain yang memuat peran kader di dalamnya sehingga Puskesmas memiliki dasar untuk mengalokasikan logistik bagi kader kesehatan. Di samping itu, penting bagi pemerintah Kota Depok yang tengah menyusun SK Tim dan Rencana Aksi Daerah (RAD) tentang Percepatan Penanggulangan Tuberkulosis untuk memasukan unsur kader kesehatan di dalam kedua instrumen kebijakan tersebut. Dengan instrumen-instrumen tersebut diharapkan terbangun komitmen dan integritas dari para kader dalam menjalankan perannya, serta pemerintah dapat menjaga keberlanjutan dalam hal pengalokasian sumber daya dalam bentuk program Kampung Ramah Tuberkulosis (Kapitu) sebagai menu wajib di kelurahan – terutama bagi kelurahan yang memiliki kantung TB.
This study is driven by the issue of Tuberculosis (TB) in Indonesia, which has ranked as the second-largest contributor to global TB cases for several years. Despite being established as a national health priority, efforts to combat this disease have not yielded significant results. In one of the national priority areas for TB control, Depok City, the success rate indicator was recorded at 68% as of September 2024, compared to 85% and 83% in 2022 and 2023, respectively. The TB burden is further exacerbated by the rise in multidrug-resistant TB (TB-RO) cases, reaching 148 cases in 2024. On the other hand, Depok City is home to several communities actively working on TB control, such as the Indonesian Tuberculosis Eradication Association (PPTI), the STPI-Penabulu Consortium (KSP), government-initiated groups like the TB-Friendly Village Teams (KAPITU), and community members empowered to support case detection and treatment assistance. This study aims to examine TB control efforts involving trained TB cadres and the gaps in existing policies. It further seeks to analyze the findings within the framework of developing policy instruments to strengthen the role of TB cadres in TB control programs. Data collection methods include surveys of 143 health cadres involved in TB control programs, focus group discussions (FGDs) with eight TB cadre coordinators from different program work areas, observations of TB cadres, and in-depth interviews with two Treatment Supporters (PMOs) or Patient Supporters, program coordinators at community and health center levels, representatives from the City Health Office, and the Regional Development Planning Agency (Bappeda). Strengthening the role of health cadres in TB control programs in Depok City is crucial, considering the high TB burden from epidemiological, social, and response workload perspectives. This includes implementing central policy mandates such as contact investigation (CI), tracking of defaulting patients, and treatment support until recovery. Policy gaps related to the empowerment of health cadres in Depok's TB control program are evident, for instance, in the Depok Mayor Regulation No. 61/2023, which lacks derivative policies outlining specific roles and rewards for health cadres. Additionally, health centers (Puskesmas), which directly assign tasks to health cadres, have not yet allocated specific logistics for their support. As an alternative solution, derivative policies are needed to promote the provision of logistics for health cadres, supporting the performance of health centers in contact investigations. This can be achieved through TB control activity planning involving health cadres and operational standards (SOPs) or other policy instruments that define the roles of cadres. Such measures would provide health centers with a basis for allocating logistics to health cadres. Moreover, it is essential for the Depok City government, currently drafting the Decree on the TB Acceleration Task Force Team and the Regional Action Plan (RAD) for Accelerated TB Control, to include the role of health cadres in both policy instruments. These instruments are expected to foster commitment and integrity among cadres in carrying out their roles, while the government ensures sustainability in resource allocation through initiatives like the TB-Friendly Village (KAPITU) program as a mandatory agenda at the sub-district level—particularly in areas with high TB prevalence.
T-7206
Depok : FKM UI, 2025
S2 - Tesis Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
☉
Salman Mauluddin Idris; Pembimbing: Atik Nurwahyuni; Penguji: Dumilah Ayuningtyas, Pujiyanto, Nurul Jamal, Misbachul Munir
Abstrak:
Read More
Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia dan pengirim jemaah haji terbanyak ke Arab Saudi. Minat penduduk muslim Indonesia berhaji sangat tinggi mengakibatkan masa tunggu keberangkatan yang sangat panjang. Lamanya masa tunggu mempengaruhi kesiapan dan kemampuan jemaah haji, termasuk status kesehatannya. Jemaah haji yang berangkat ke Arab Saudi dengan risti penyakit dan usia lanjut berpotensi menimbulkan permasalahan kesehatan selama menunaikan ibadah haji. Kebijakan Istithaah Kesehatan Haji merupakan upaya untuk melakukan filterisasi kesehatan bagi Jemaah sebelum berangkat agar dapat menunaikan ibadah haji dalam keadaan sehat dan mandiri. Istithaah kesehatan ditetapkan saat pemeriksaan kesehatan tahap kedua, satu tahun sampai tiga bulan sebelum keberangkatan ke Arab Saudi. Implementasi kebijakan tidak terlepas dari tantangan dan kendala di lapangan, sehingga perlu dilakukan revisi dan simplifikasi agar tujuan kebijakan menjaga kesehatan jemaah haji sebelum berhaji dapat tercapai dengan baik. Oleh karena itu menarik untuk dilakukan Policy Review terhadap kebijakan istithaah kesehatan haji yang ada, untuk menghasilkan rekomendasi terhadap kebijakan istithaah kesehatan haji yang sedang direvisi dan disimplifikasi. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualititatif dengan metode wawancara mendalam terhadap informan kunci serta telaah dokumen. Segitiga kebijakan Walt dan Gilson digunakan untuk melakukan review terhadap kebijakan istithaah kesehatan haji dengan melihat dimensi aktor, konten, konteks dan proses dalam penyusunan sampai implementasi kebijakan ini. Kesimpulan hasil review menunjukkan kebijakan telah dilaksanakan dengan baik dari pusat sampai ke daerah, tetapi perlu pengembangan dan revisi terkait pemeriksaan kesehatan dan penentuan status Istihaah Kesehatan. Keterlibatan aktor Pusat dan Daerah dengan kewenangan/perannya berjalan sinergis dan responsif terhadap permasalahan yang ada. Harmonisasi kebijakan selaras dengan peraturan yang lebih tinggi dan sinergis dengan kebijakan dari Kementerian Agama terkait penyelenggaraan haji. Revisi dan simplifikasi terhadap substansi kebijakan berdasarkan hasil diskusi dan saran dari stakeholder digunakan sebagai masukan dalam membuat penyempurnaan konten kebijakan istithaah kesehatan haji. Secara konteks, faktor yang mempengaruhi pengembangan dan implementasi kebijakan istithaah kesehatan adalah faktor situasional terkait kondisi internal Jemaah, yaitu tingginya angka risti kesehatan dan usia lanjut pada jemaah haji, serta kondisi eksternal yaitu kebijakan pelaksanaan ibadah haji Arab Saudi sebagai respon dari kondisi kesehatan masyarakat internasional yang berpengaruh terhadap pelaksanaan ibadah haji. Faktor struktural yaitu belum adanya struktur organisasi yang menangani program kesehatan haji di Dinkes Provinsi dan Kab/Kota, sehingga penyelenggaraan kesehatan haji belum terkelola dengan baik. Proses Birokratisasi melibatkan stakeholder terkait dalam penyusunan sampai penerapan kebijakan, tidak terbatas pada pemerintah tetapi juga masyarakat dan keagamaan agar kebijakan yang disusun sesuai dengan syariat Islam. Monitoring dan evaluasi dilaksanakan untuk menganalisis apakah kebijakan berjalan dengan baik serta kepentingan pengembangan kebijakan selanjutnya. Penelitian merekomendasikan untuk melakukan revisi dan simplifikasi terhadap substansi Kebijakan Istithaah Kesehatan Haji, kemudian perlu pembahasan untuk mitigasi kondisi kesehatan khusus yang mempengaruhi penyelenggaraan haji. Selain itu perlu peningkatan kerjasama terkait pertukaran dan pemanfaatan data jemaah antara Kemenag dengan Kemenkes serta Dinkes Provinsi dan Kab/Kota, sosialisasi Istithaah kesehatan haji dalam materi edukasi kesehatan pada manasik haji di Kabupaten/Kota, serta diperlukan struktur organisasi untuk menjalankan program kesehatan haji di Dinkes Provinsi dan Kab/Kota, sehingga jemaah haji dapat mencapai kondisi istithaah kesehatan sebelum berangkat menunaikan ibadah haji di Arab Saudi.
Indonesia is a country with the largest Muslim population in the world and sends the most pilgrims to Saudi Arabia. The interest of the Indonesian Muslim population for hajj is very high resulting in a very long waiting period for departure. The length of the waiting period affects the readiness and ability of the pilgrims, including their health status. Pilgrims who leave for Saudi Arabia with a history of illness and old age have the potential to cause health problems during the pilgrimage. The Istithaah Hajj Health Policy is an effort to carry out health screening for pilgrims before departure so that they can perform the Hajj in a healthy and independent condition. Health istithaah is determined during the second phase of the medical examination, one year to three months before departure to Saudi Arabia. Policy implementation is inseparable from challenges and obstacles in the field, so it is necessary to revise and simplify the policy, so that the policy objectives of maintaining the health of pilgrims before pilgrimage can be achieved properly. Therefore, it is interesting to carry out a Policy Review of the existing Hajj health istithaah policies, to produce recommendations for the Hajj health istithaah policies which are being revised and simplified. This research was conducted using a qualitative approach using in-depth interviews with key informants and document analysis. Walt and Gilson's policy triangle is used to review the Hajj health istithaah policy by looking at the dimensions of actors, content, context, and process in the preparation to implementation of this policy. The conclusion of the review results shows that the policy has been implemented well from the center to the regions government, but it needs development and revision related to medical examination and determining the status of Health Istihaah. The involvement of central and regional actors with their authority/role is synergistic and responsive to existing problems. Policy harmonization is in line with higher regulations and synergistic with policies from the Ministry of Religion regarding the implementation of Hajj. Revision and simplification of the substance of the policy based on the results of discussions and suggestions from stakeholders are used as input in making improvements to the content of the Hajj health istithaah policy. In context, the factors that influence the development and implementation of health istithaah policies are situational factors related to the internal conditions of the pilgrims, like the high number of health high risk and old age among pilgrims, as well as external conditions, specifically the policy of pilgrimage by Saudi Arabia Kingdom, as a response to the health situation of the international community that influence for the pilgrimage. Structural factors such as the absence of an organizational structure that handles the Hajj health program at the Provincial and District/City Health Offices, that impact the implementation of Hajj health is not well managed. The bureaucratization process involves relevant stakeholders in the formulation and implementation of policies, not limited to the government but also the community and religion so that the policies prepared are in accordance with Islamic law. Monitoring and evaluation is carried out to analyze whether the policy is running well and the interests of further policy development. The research recommends revising and simplifying the substance of the Hajj Health Istithaah Policy, then discussing the mitigation of special health conditions that affect the implementation of the Hajj. In addition, it is necessary to increase cooperation regarding the exchange and utilization of pilgrims data between the Ministry of Religion and the Ministry of Health as well as Provincial and District/City Health Offices, socialization of Hajj health Istithaah in health education materials on Hajj rituals in Regencies/Cities, and an organizational structure is needed to run the Hajj health program at the Health Office Provinces and Regencies/Cities, so that pilgrims can reach a state of health istithaah before leaving to perform the pilgrimage in Saudi Arabia
T-6689
Depok : FKM-UI, 2023
S2 - Tesis Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
☉
Tri Agustina Rosita; Pembimbing: Adang Bachtiar; Penguji: Puput Oktamianti, Ede Surya Darmawan, Nana Mulyana, Trihono
Abstrak:
Read More
Tantangan kesehatan masyarakat di Indonesia, yang merupakan negara dengan populasi keempat terbesar di dunia, masih substansial. Program desentralisasi dan disparitas tinggi memperburuk kondisi ini. Konsep pembangunan berwawasan kesehatan (Health in All Policies/HiAP) sangat penting untuk menggerakkan upaya lintas sektor secara efektif. Penguatan sistem pelayanan primer, termasuk program promotif, preventif, dan pengurangan risiko penyakit, memerlukan reformasi dalam sistem kesehatan. Peran tenaga kesehatan masyarakat (Kesmas), yang memiliki delapan kompetensi dasar, sangat penting dalam membangun strategi kesehatan masyarakat dan menjalankan intervensi berdasarkan determinan masalah kesehatan. Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui bagaimana analisis untuk kebijakan penempatan ASN Tenaga Kesehatan Masyarakat di desa, baik melalui konten, konteks, proses, dan aktor kebijakannya. Menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan sistem kebijakan, metode pengumpulan data melalui telaah kebijakan, wawancara mendalam semi terstruktur, dan FGD, kemudian dilakukan analisis isi (content analysis). Konten Kebijakan meliputi latar belakang, ukuran dan tujuan, serta definisi dalam kebijakan. Konteks kebijakan mempertimbangkan kondisi sosial budaya, dan politik. Proses kebijakan melibatkan sumber daya, komunikasi, karakteristik organisasi, dan disposisi. Aktor kebijakan meliputi Kementerian Kesehatan, Kementerian Desa PDTT, dan organisasi non-pemerintah. Dengan mempertimbangkan keempat aspek kebijakan, penempatan ASN Tenaga Kesmas di desa diharapkan mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat desa secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Public health challenges in Indonesia, which is the country with the fourth largest population in the world, remain substantial. Decentralization programs and high disparities exacerbate this condition. The concept of health-oriented development (Health in All Policies/HiAP) is very important to drive cross-sector efforts effectively. Strengthening the primary care system, including promotive, preventive and disease risk reduction programs, requires reform in the health system. The role of public health workers (Kesmas), who have eight basic competencies, is very important in developing public health strategies and implementing interventions based on determinants of health problems. The aim of this research is to find out how the policy for placing ASN Community Health Workers in villages is analyzed, both through content, context, process and policy actors. Using a qualitative descriptive research method with a policy system approach, data collection methods through policy reviews, in-depth semi-structured interviews, and FGDs, then content analysis was carried out. Policy content includes background, measures and objectives, as well as definitions in the policy. The policy context considers socio-cultural and political conditions. The policy process involves resources, communications, organizational characteristics, and dispositions. Policy actors include the Ministry of Health, Ministry of PDTT Villages, and non-governmental organizations. By considering the four policy aspects, the placement of ASN Public Health Workers in villages is expected to be able to improve the health status of village communities in a comprehensive and sustainable manner
T-7159
Depok : FKM UI, 2024
S2 - Tesis Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
☉
Khansa Fatihah Muhammad; Pembimbing: Ede Surya Darmawan; Penguji: Ascobat Gani, Anhari Achadi, Yuni Dahyuni, Wiku Bakti Bawono Adisasmito
Abstrak:
Read More
Pelayanan kesehatan usia produktif sebagai salah satu jenis pelayanan dasar dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan pelayanan yang diberikan kepada penduduk usia produktif (15-59 tahun) dalam bentuk edukasi dan skrining kesehatan. Berdasarkan target dan indikator kinerja pencapaian SPM Bidang Kesehatan yang tertera dalam Peraturan Wali Kota Bekasi Nomor 16 Tahun 2022, diketahui bahwa target penerima layanan dasar dari pelayanan kesehatan usia produktif setiap tahunnya yaitu sebesar 100%. Namun, persentase pelayanan kesehatan usia produktif di Kota Bekasi belum mencapai target 100% tersebut. Pada tahun 2022, Puskesmas dengan persentase Pelayanan Kesehatan Usia Produktif tertinggi di tahun 2023 yaitu Puskesmas Rawa Tembaga dengan persentase sebesar 79,41%, kemudian Puskesmas dengan persentase Pelayanan Kesehatan Usia Produktif terendah yaitu Puskesmas Mustika Jaya dengan persentase sebesar 3,36%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase penduduk usia produktif di Kota Bekasi masih belum mencapai target capaian sebesar 100%. Oleh karena itu, beberapa hal yang dilakukan khususnya di Puskesmas Mustika Jaya dan Puskesmas Rawa Tembaga adalah bagi TPCB Dinas Kesehatan untuk memberikan pembinaan dan pengawasan khususnya kepada kedua Puskesmas tersebut untuk mengoptimalkan SDMK, pembiayaan, serta edukasi dan skrining kesehatan sebagai bagian dari Pelayanan Kesehatan Usia Produktif.
Productive Age Healthcare Services, as a part of Minimum Service Standards (SPM) and are provided to the productive age population (15-59 years) through health education and health screening. According to the targets and performance indicators of SPM achievement in the health sector, outlined in Bekasi Mayor Regulation No. 16 of 2022, it is mentioned that the annual target for beneficiaries of productive age healthcare services is set at 100%. However, the percentage of productive age healthcare services in Bekasi City has not yet reached this 100% target. In 2022, the Puskesmas with the highest percentage of productive age healthcare services in 2023 was Puskesmas Rawa Tembaga, at 79.41%, while the lowest was Puskesmas Mustika Jaya, at 3.36%. The results of this research indicate that the percentage of the productive age population in Bekasi City receiving these services still falls short of the 100% target. Consequently, actions taken by the Bekasi Health Department’s Coaching Team for Assisted Clusters, especially targeting Mustika Jaya Community Health Centre and Rawa Tembaga Community Health Center, include providing guidance and oversight to optimize human resources, funding, as well as education and health screenings as part of the Productive Age Healthcare Services.
T-7176
Depok : FKM UI, 2025
S2 - Tesis Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
☉
Ias Tarina Puspitasari; Pembimbing: Ascobat Gani; Penguji: Amal Chalik Sjaaf, Lis Prifina, Sri Kartinah
Abstrak:
Read More
Undang-undang No 23 tahun 2014 menyebutkan pembagian urusan pemerintah bidang kesehatan antara pemerintah pusat dan daerah, salah satunya perencanaan SDMK. Berdasarkan telaah dokumen perencanaan kebutuhan SDMK provinsi Banten, terdapat ketidakseragaman dokumen perencanaan kebutuhan jika dibandingkan dengan Permenkes No 33 tahun 2015. Menurut data SISDMK masih terdapat 46.4% puskesmas di provinsi Banten yang belum lengkap 9 jenis tenaga kesehatan sesuai standar. Capaian indikator Kota Tangerang sebesar 83.78% dan Kota Serang sebesar 25%. Penelitian bertujuan untuk mengetahui implementasi kebijakan penyusunan dokumen perencanaan kebutuhan SDMK di Kota Serang dan Kota Tangerang, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian merupakan penelitian non-eksperimental dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dan telaah dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan penyusunan dokumen perencanaan kebutuhan SDMK di Kota Serang dan Kota Tangerang belum berjalan sesuai dengan Permenkes 33 tahun 2015. Ketersediaan SDM baik dari kuantitas maupun kualitas berpengaruh terhadap implementasi kebijakan. Adanya pembinaan dan pengawasan sangat berpengaruh terhadap implementasi kebijakan untuk meningkatkan komitmen dan komunikasi dalam penyusunan perencanaan kebutuhan SDMK di tingkat Kab/Kota. Selain itu ketersediaan insentif dan pendanaan juga perlu dilakukan peningkatan. Menurut hasil penelitian, faktor SOP tidak berpengaruh terhadap implementasi kebijakan. Namun perlu dilakukan penyusunan SOP untuk mempermudah proses monitoring terhadap tahapan penyusunan perencanaan kebutuhan SDMK
Law No. 23 of 2014 stipulates the division of government affairs in the health sector between the central and local governments, one of which is HRH planning. Based on a review of the HRH needs planning documents for Banten province, there is a lack of uniformity in planning needs documents when compared to Permenkes No 33 of 2015. According to SISDMK data, there are still 46.4% of puskesmas in Banten province who do not have nine types of health workers according to standards. The achievement indicator for Kota Tangerang is 83.78% and Kota Serang is 25%. The aim of this study was to determine the implementation of the policy for preparation of HRH needs planning documents and the factors influenced. This research is a non experimental research with a qualitative approach. Data collection was carried out through in-depth interviews and document review. The results of the study show that the implementation of the policy for preparing planning documents for HRH requirements in the Kota Serang and Kota Tangerang has not been carried out in accordance with Permenkes 33 /2015. The availability of human resources, both in terms of quantity and quality, has an effect on policy implementation. The existence of guidance and supervision greatly influences the implementation of policies to increase commitment and communication in the preparation of HRH planning needs at the District/City level. In addition, the availability of incentives and funding also needs to be increased. According to the research results The SOP has no effect on policy implementation. However, it is necessary to prepare SOPs to facilitate the monitoring process for the stages of preparing HRH planning needs.
T-6700
Depok : FKM-UI, 2023
S2 - Tesis Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
☉
