Hasil Pencarian :: Kembali

Ditemukan 28644 dokumen yang sesuai dengan query ::  Simpan CSV
cover
Ari Dwi Aryani; Promotor: Adang Bachtiar; Kopromotor: Ali Ghufron Mukti, Fachmi Idris; Penguji: Dumilah Ayuningtyas, Kemal Nazaruddin Siregar, Mardiati Nadjib, Sabarinah, Rizanda Machmud
Abstrak:
Inekuitas pelayanan kesehatan masih terjadi setelah pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pemantauan secara berkala Kinerja Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) merupakan kunci untuk menurunkan inekuitas pelayanan kesehatan sebagai tujuan utama JKN. Penerapan Kapitasi Berbasis Kinerja (KBK) dengan tiga indikator sejak tahun 2016, menunjukkan terjadi perbaikan kinerja FKTP dalam meningkatkan kualitas dan efisiensi di pelayanan tingkat pertama. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model indikator kinerja, kapasitas FKTP dan indikator ekuitas agar dapat mengukur ekuitas pelayanan kesehatan. Desain penelitian menggunakan exploratory sequential-mixed method. Penelitian dibagi menjadi tiga tahapan. Tahap satu adalah systematic review untuk mengidentifikasi indikator yang dapat digunakan dalam mengukur kapasitas, kinerja FKTP dan ekuitas pelayanan kesehatan. Tahap dua dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan teknik Consensus Decision Making Group (CDMG) untuk menentukan indikator yang dapat dipakai dalam pengukuran kapasitas dan kinerja FKTP serta pengukuran ekuitas pelayanan kesehatan dengan para pakar. Tahap tiga adalah membuat pengembangan model indikator kinerja FKTP berdasarkan skema kapitasi yang dapat mengukur ekuitas akses layanan kesehatan, menggunakan analisis Structural Equation Modelling (SEM). Berdasarkan hasil SR, CDMG dan analisis SEM, indikator terpilih untuk mengukur kapasitas FKTP terdiri dari tiga indikator yaitu rasio dokter umum, sumberdaya sarana dan manusia (skor rekredensialing) dan pembiayaan (persen pembayaran KBK yang diterima). Indikator kinerja terpilih delapan indikator yaitu angka kontak, proporsi penderita DM diperiksa gula darah, proporsi penderita Hipertensi diperiksa tekanan darah, proporsi pasien tidak rujuk RS, proporsi rujukan non spesialistik, proporsi pasien rujuk balik, proporsi skrining penyakit jantung, DM dan Hipertensi, rasio pasien prolanis terkendali. Ekuitas pelayanan kesehatan dilihat dari rate utilisasi peserta FKTP berdasarkan jenis kelamin, usia dan sosial ekonomi (PBI-Non PBI). Analisis SEM menunjukan terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kapasitas dan kinerja FKTP dengan ekuitas pelayanan.

Healthcare inequities still occur after the implementation of the National Health Insurance (JKN). Regular monitoring of the performance of primary healthcare facilities (FKTP) is key to reducing healthcare inequities as the main goal of JKN. The implementation of Performance-Based Capitation (KBK) with three indicators since 2016 has shown improvements in the performance of primary healthcare facilities in improving the quality and efficiency of first-level services. Their capacity influences the performance of primary care facilities and impacts primary care performance outcomes (health service equity). This study objective was to develop a model of performance indicators, FKTP capacity and equity indicators to measure health service equity. The research design utilized an exploratory sequential-mixed method. The study was divided into three phases. Phase one was a systematic review to identify indicators that can be used in measuring capacity, FKTP performance and health service equity. Phase two was carried out by a qualitative approach with the Consensus Decision Making Group (CDMG) technique to determine indicators that can be used in measuring FKTP capacity and performance as well as measuring health service equity with experts. Phase three was the development of a model for FKTP performance indicators based on a capitation scheme that can measure the equity of health service access. This phase was carried out using Structural Equation Modeling (SEM) analysis. The SR, CDMG and SEM analysis show that there are three selected indicators to measure the capacity of primary health care facilities: general practitioner ratio, facility sufficiency(recredentialing score) and financing (percentage of KBK payments received). Eight performance indicators were selected, namely contact rate, proportion of DM patients checked for blood sugar, proportion of Hypertension patients checked for blood pressure, proportion of patients not referred to hospital, proportion of non-specialistic referrals, proportion of patients referred back to primary care providers, proportion of screening for heart disease, diabetes mellitus, and hypertension; and ratio of controlled Prolanis patients. Health service equity was analyzed from the utilization rate of participants based on gender, age and socioeconomic factors(PBI-Non PBI). SEM analysis showed a positive and significant relationship between the capacity and performance of primary health care facilities and equity.
Read More
D-508
Depok : FKM-UI, 2024
S3 - Disertasi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Wahyu Pudji Nugraheni; Promotor: Hasbullah Thabrany; Ko-Promotor: Budi Hidayat, Mardiati Nadjib; Penguji: Indang Trihandini, Soewarta Kosen, Fahmi Idris, Pujiyanto, Eko Setyo Pambudi
D-374
Depok : FKM-UI, 2017
S3 - Disertasi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Trisna Budy Widjayanti; Peromotor: Amal Chalik Sjaaf, Anhari Achadi, Budi Hidayat; Penguji: Meiwita Budiharsana, Mardiati Nadjib, Purnawan Junadi, Trihono, Harimat Hendrawan
Abstrak:
Penelitian ini bertujuan melihat hubungan antara faktor sosial ekonomi dan klinis dengan pemanfaatan Clinical Pathway (CP) Sectio Caesaria serta outcome klinis serta pembayaran klaim pada pelayanan Ibu melahirkan Sectio Caesaria (SC). Studi desain Cross Sectional pada unit analisis 1155 data rekam medis ibu melahirkan SC periode 1 Januari 31 Desember 2018 di 3 RS. Hasil penelitian menunjukan pemanfaatan Clinical Pathway Ibu melahirkan Sectio Caesaria peserta Jaminan Kesehatan Nasional dari ke 3 RS studi penelitian proporsinya sebesar 43.1% dengan skor dibawah nilai mean 10. RS Pemda memiliki Proporsi tertinggi skor pemanfaatan Clinical Pathway Sectio Caesaria dibawah nilai mean 10 (76.8%), kemudian diikuti RSP (36.8%). RSNP menunjukkan proporsi (98.1%) skor pemanfaatan Clinical Pathway Sectio Caesaria diatas dan sama dengan (≥) nilai mean 10. Faktor sosial ekonomi dan klinis ibu melahirkan SC peserta JKN antara lain jenis RS (p=0.000), Kelas rawat (p=0.014) dan Rujukan (p=0.008), jenis SC (p=0.005), Usia Ibu (p=0.053), Paritas (p=0.016), Riwayat ANC (p=0.000), Kondisi Panggul p=0.000), kondisi plasenta (p=0.001), penyakit penyerta (p=0.000) dan riwayat SC (p=0.000) menunjukkan berhubungan secara signifikan dengan pemanfaatan Clinical Pathway Sectio Caesaria (p<0.05). Pemanfaatan Clinical Pathway ibu melahirkan Sectio Caesaria peserta JKN menunjukan adanya hubungan yang signifikan dengan Outcome klinis (p=0.002) dan pembayaran klaim (p=0.000). Pemanfaatan Clinical Pathway ibu melahirkan Sectio Caesaria di RS menunjukkan ketidakseragaman dalam dimensi ICPAT dan tidak melibatkan kondisi pasien dalam penyusunannya. Pemerintah harus membuat payung hukum Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) yang menjadi standar prosedur operasional untuk menyelaraskam penyelenggaraan program jaminan kesehatan
Read More
D-417
Depok : FKM-UI, 2020
S3 - Disertasi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Andi Afdal Abdullah; Promotor: Budi Hidayat; Kopromotor: Pujiyanto; Penguji: Atik Nurwahyuni, Mardiati Nadjib, Soewarta Kosen, Ali Ghufron Mukti; Mahlil Ruby; Teguh Dartanto
Abstrak:
Latar belakang: Kemudahan akses pelayanan kesehatan bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan penduduk Indonesia. Kemudahan akses ini terwujud dengan bertambahnya fasilitas kesehatan yang melayani peserta JKN. Indikator kemudahan akses terlihat dari bertambahnya jumlah peserta yang berkunjung ke fasilitas kesehatan baik di tingkat pelayanan rawat jalan maupun rawat inap. Kunjungan peserta JKN per 1.000 penduduk dikenal dengan isitilah rate sebagai salah satu indikator utilisasi pelayanan kesehatan untuk menjaga kesinambungan program JKN. Tujuan: penelitian ini bertujuan menganalisis faktor yang mempengaruhi rate rawat jalan tingkat lanjutan (RJTL) maupun rawat inap inap tingkat lanjutan (RITL) dan pemodelan prediksi rate RJTL dan rate RITL. Data yang digunakan berasal dari database BPJS Kesehatan dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2016 – 2019 yang diolah berdasarkan faktor predisposing, faktor enabling, dan faktor need dimana semua data digunakan dalam penelitian atau total sampling. Metode: analisis data panel dinamis yang ditujukan untuk membuat model prediksi rate RJTL dan rate RITL. Hasil: model prediksi yang digunakan pada rate RJTL dan rate RITL adalah estimator First Difference Generalized Method of Moment (FDGMM). Kesimpulan: rate RJTL dipengaruhi oleh variabel nilai tagihan klaim dibayar per kunjungan RJTL; jumlah rumah sakit kelas A, B, C, D; jumlah peserta pria; jumlah peserta berusia > 50 tahun; jumlah peserta dengan jumlah anggota keluarga > 3 orang; jumlah peserta berpengeluaran di bawah garis kemiskinan; jumlah peserta dengan penyakit tidak menular; rasio fragmentasi; rasio rujukan; dan jumlah peserta berpendidikan SMP. Sedangkan, rate RITL dipengaruhi oleh variabel nilai tagihan klaim dibayar per kunjungan RITL; jumlah rumah sakit kelas A, B, C, D; jumlah peserta pria; jumlah peserta berusia > 50 tahun; jumlah peserta dengan jumlah anggota keluarga > 3 orang; rate readmisi; jumlah peserta berpendidikan SMP; dan jumlah peserta berpendidikan Perguruan Tinggi. Saran: hasil penelitian menyarankan agar Pemerintah Daerah turut mendukung pemenuhan sarana prasarana pelayanan kesehatan agar masyarakat dapat menjangkau pelayanan kesehatan dengan mudah, mengelola perencanaan penambahan rumah sakit sesuai kebutuhan; Kementerian Kesehatan dapat memberikan regulasi terkait pemenuhan dan pemerataan fasilitas kesehatan maupun tenaga medis, terutama pada daerah dengan keadaan geografis yang sulit; BPJS Kesehatan dapat menggunakan model prediksi rate RJTL dan rate RITL sebagai alat bantu dalam menilai kebutuhan penambahan kerjasama dengan rumah sakit. Peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian dengan faktor utilisasi yang lebih luas dan lengkap serta melakukan kajian yang lebih mendalam pada satu wilayah tertentu dengan mempertimbangkan pengaruh aspek geografis, seperti jarak antar fasilitas kesehatan, luas wilayah dan kondisi akses ke fasilitas kesehatan.

Background: easy access to health services for participants of the National Health Insurance (JKN) is one of the efforts to improve the health status of the Indonesian population. This accessibility is achieved through an increase in health facilities serving JKN participants. The indicator of accessibility can be observed from the rising number of participants visiting health facilities, both at the outpatient and inpatient levels. The rate of visits by JKN participants per 1.000 population is considered an indicator of health service utilization, which contributes to the continuity of the JKN program. Objective: this study aims to analyze the factors that influence the advanced level of outpatient care (RJTL) and inpatient care (RITL) and to model the prediction of RJTL rates and RITL rates. The data used is derived from the BPJS Kesehatan database and the 2016-2019 National Socioeconomic Survey (SUSENAS), which are processed based on predisposing factors, enabling factors, and need factors. All data is utilized in the research, employing total sampling. Method: dynamic panel data analysis is employed to develop prediction models for RJTL rates and RITL rates. Results: the prediction model used for the RJTL rate and RITL rate is the First Difference Generalized Method of Moment (FDGMM) estimator. Conclusion: RJTL rate is influenced by several variables: value of claims bills paid per RJTL visit, number of class A, B, C, and D hospitals, number of male participants, number of participants aged over 50 years, number of participants with more than 3 family members, number of participants with expenditures below the poverty line, number of participants with non-communicable diseases, fragmentation ratio, referral ratio, and number of participants with junior high school education. On the other hand, the RITL rate is affected by value of claim bills paid per RITL visit, number of class A, B, C, and D hospitals, number of male participants, number of participants aged over 50 years, number of participants with more than 3 family members, readmission rate, number of participants with junior high school education, and number of participants with university education. Recommendations: the results of this study suggest that the Regional Government should also support the fulfillment of health service infrastructure so that partisipant can reach health services easily, manage plans for adding hospitals as needed; The Ministry of Health can provide regulations regarding the fulfillment and equity of health facilities and medical personnel, especially in areas with difficult geographical conditions; BPJS Kesehatan can use RJTL rate prediction model and RITL rate as a tool in assessing the need for additional collaboration with hospitals. Future researchers can conduct research with broader and more complete utilization factors and conduct more in-depth studies in a particular area by considering the influence of geographical aspects, such as the distance between health facilities, area size and conditions of access to health facilities.
Read More
D-483
Depok : FKM-UI, 2023
S3 - Disertasi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Widyastuti Wibisana; Promotor: Amal C. Sjaaf; Ko-promotor: Hasbullah Thabrany; Penguji: Ascobat Gani, Soewarta Kosen, Purnawan Junadi, Sudijanto Kamso, Mardiati Nadjib
D-205
Depok : FKM-UI, 2007
S3 - Disertasi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Muh. Arief Rosyid Hasan; Promotor: Adang Bachtiar; Kopromotor: Hasbullah Thabrany, Fachmi Idris; Penguji: Anhari Achadi, Dumilah Ayuningtyas, Prastuti Soewondo, Ali Ghufron Mukti; Julita Hendrartini
Abstrak:
Penelitian ini membahas rumusan kebijakan asuransi kesehatan tambahan (AKT) untuk peserta program JKN di Indonesia. Program JKN menjamin pelayanan yang komprehensif untuk pesertanya sesuai kebutuhan atau indikasi medis (need), namun masih ada masyarakat yang menginginkan peningkatan dari pelayanan yang dijamin program JKN. Prinsip Program JKN sosial dan ekuitas, sedangkan prinsip AKT pasar dan keuntungan. Disertasi ini bertujuan membuat Rumusan Kebijakan Asuransi Kesehatan Tambahan (AKT) Peserta JKN untuk menjembatani kedua prinsip tersebut. Pendekatan pada penelitian adalah kuantitatif dan kualitatif. Uji regresi logistik berganda dan multinomial menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (2019-2021) dilakukan untuk mengatahui determinan yang berhubungan dengan kepemilikan dan pemanfaatan asuransi kesehatan tambahan. Analisis kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam dan focus group discussion (FGD) kepada stakeholder yang berkaitan dengan perumusan kebijakan AKT. Variabel analisis kepemilikan AKT dengan Odd Ratio paling tinggi adalah pengeluaran selain makanan per kapita per bulan diatas rata-rata UMP nasional (rata-tara OR per tahun=4,34). Pemanfaatan kombinasi AKT dan JKN paling sedikit (rawat jalan=9,6%; rawat inap=4,3%); AKT paling banyak (rawat jalan=37,7%; rawat inap=56,5%), dan masih ada yang membayar sendiri atau OOP (rawat jalan=24%; rawat inap=7%). Terjadi tren kenaikan terhadap permintaan naik kelas rawat inap dengan rata-rata setiap tahun 509,75% (2019-2022). Melalui wawancara mendalam dengan peserta individu dan FGD bersama pemberi kerja, perusahaan AKT dan yayasan kesehatan pekerja ditemukan bahwa AKT lebih cenderung digunakan dibandingkan program JKN saat mengakses fasilitas pelayanan kesehatan. Informan menjadi peserta program JKN karena mandatory dari Negara. Pemberi kerja dan AKT berharap pemanfaatan program JKN dapat lebih optimal, sehingga iurannya sepadan dengan manfaat yang didapatkan. Kebijakan AKT peserta JKN yang dirumuskan pada penelitian ini mengatur terkait (1) manfaat yang didorong untuk menjadi produk AKT yaitu top up dan melarang menduplikat pelayanan yang dijamin program JKN, (2) target peserta AKT adalah peserta aktif program JKN yang menginginkan peningkatan pelayanan; (3) ketentuan premi AKT memper-timbangkan status kepesertaan program JKN; dan (4) metode pembayaran AKT ke provider kesehatan menggunakan metode prospekfit; (5) ketentuan badan usaha yang dapat menjual AKT diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan.

This study discusses the policy of supplementary commercial health insurance (AKT) for Indonesia National Health Insurance Program (JKN) members. The JKN program covered comprehensive services for its participants according to their needs or medical indications, but there are still people who want an top up the services covered by the JKN program. The principle of the JKN program is social and equity, while the AKT principle is market and profit. This study aims to recommend the policy of supplementary health insurance for JKN members to bridge both principles. The approach to research is both quantitative and qualitative. This study using multiple and multinomial logistic regression to see the assocation of determinant variables and supplementary heath insurance ownership and utilization using data from the National Socioeconomic Survey (2019-2021) Qualitative analysis was carried out using in-depth interviews and focus group discussions (FGD) with stakeholders related to AKT policy.The highest Odd Ratio of AKT ownership analysis is per capita non-food expenditure per month above the national Province salary average (average OR per year = 4.34). The least use of the combination of AKT and JKN (outpatient=9.6%; inpatient=4.3%); Most AKT (outpatient = 37.7%; inpatient = 56.5%), and there are still those who pay their own or OOP (outpatient = 24%; inpatient = 7%). There is an increasing trend of demand for top up the inpatient ward with an annual average of 509.75% (2019-2022). Through in-depth interviews with individual member and FGDs with employers, AKT companies and workers' health foundations found that AKT is more likely to be used than the JKN program when accessing health care facilities. Informants registered as the JKN program member because it is mandatory program from the State. Employers and AKT companies hope that the utilization of the JKN program can be more optimal, so that the contributions are worth it’s benefits. This study proposed policy to regulate (1) the AKT mandatory benefits of AKT is the top up of JKN benefits and the prohibit AKT from duplicating benefits that covered by the JKN program, (2) the market of AKT are active JKN program member who want to improve benefits that already covered by JKN program; (3) the AKT premium must take into account JKN program membership status; (4) AKT using procpective payment method to health providers; (5) the term and condition for business entities to sell AKT are regulated by the Financial Services Authority.
Read More
D-481
Depok : FKM-UI, 2023
S3 - Disertasi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Marsaulina Olivia Panjaitan; Promotor: Amal Chalik Sjaaf; Kopromotor: Anhari Achadi, Dwiana Ocviyanti; Penguji: Atik Nurwahyuni, Mardiati Nadjib, Pujiyanto, Supriyantoro, Chairul Radjab Nasution
Abstrak:

Implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional mendapatkan berbagai tantangan salah satunya adalah peningkatan utilisasi pelayanan kesehatan yang berakibat tingginya beban biaya pelayanan kesehatan. Tren persalinan dengan metode bedah caesar mengalami peningkatan setiap tahunnya.  Disertasi ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan dan menyusun suatu usulan kebijakan untuk pengendalian utilisasi tindakan bedah caesar dalam penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional. Jenis penelitian adalah analitik dengan mixed method melalui analisis data kuantitatif dan data kualitatif, analisis kebijakan menggunakan Eugene Bardach’s eightfold framework yang dimodifikasi oleh Collins. Penelitian kuantitif melalui analisis data rekam medis tahun 2019 pada pasien bedah caesar di tiga rumah sakit dengan aspek bisnis yang berbeda di Provinsi Jakarta. Penelitian kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam dengan para pemangku kepentingan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Proporsi persalinan caesar dibanding normal di RSSP Y 99,3% di RSSK Z 63,66%, dan di RSUD X 13,42%. Tidak terdapat perbedaan karakteristik sosial dan karakteristik medis pasien bedah caesar di ketiga rumah sakit. Tidak terdapat perbedaan upaya pengendalian utilisasi operasi bedah caesar di ketiga rumah sakit. Bekas SC 1x memiliki persentase tertinggi sebagai indikasi SC dengan persentase 41,67% di RSUD X, di RSSK Z 39,48% dan di RSSP Y 24,11%. Terdapat hubungan antara usia, adanya komplikasi dalam kehamilan, malposisi janin, hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, dengan metode persalinan ibu secara caesar. Hasil penelitian kualitatif menunjukkan belum terdapat metode/tools khusus untuk pengendalian utilisasi caesar. Berdasarkan analisis kebijakan menggunakan Bardach’s eightfold framework yang dimodifikasi oleh Collins terdapat skenario/alternatif kebijakan pengendalian utilisasi bedah caesar diantaranya penyusunan program promotive preventif yang melibatkan organisasi-organisasi profesi terkait (seperti: Kebidanan Kandungan, Penyakit Dalam, Gizi, Penyakit Jantung) dengan sasaran wanita usia subur yang merencanakan kehamilan dan ibu hamil, yang khususnya berfokus untuk meminimalisir adanya penyulit kehamilan seperti: Hipertensi, Diabetes mellitus, obesitas, penyakit jantung. Hal ini penting dalam upaya menekan penyulit kehamilan yang dapat berpotensi meningkatkan angka utiliasi bedah caesar.


The implementation of the National Health Insurance Program faces various challenges, one of which is the increase in the utilization of health services which results in high health service costs. The trend of childbirth by Caesarean section method has increased every year. This dissertation aims to analyze the policy and prepare a policy proposal for controlling the utilization of Caesarean section procedures in the implementation of the National Health Insurance program. The type of research is analytical with a mixed method through quantitative and qualitative data analysis, policy analysis using Eugene Bardach's eightfold framework modified by Collins. Quantitative research through analysis of medical record data in 2019 on caesarean section patients in three hospitals with different business aspects in Jakarta Province. Qualitative research was conducted through in-depth interviews with stakeholders. The results showed that the proportion of caesarean deliveries compared to normal in RSSP Y was 99.3% in RSSK Z 63.66%, and in RSUD X 13.42%. There were no differences in the social characteristics and medical characteristics of caesarean section patients in the three hospitals. There were no differences in efforts to control the utilization of caesarean section operations in the three hospitals. Former 1x CS has the highest percentage as an indication for CS with a percentage of 41.67% in RSUD X, in RSSK Z 39.48% and in RSSP Y 24.11%. There is a significant influence between age, complications in pregnancy, fetal malposition, hypertension, diabetes mellitus, heart disease, and the method of maternal delivery by caesarean section. The results of qualitative research indicate that there are no specific methods/tools for controlling caesarean section utilization. Based on policy analysis using Bardach's eightfold framework modified by Collins, there are scenarios/alternative policies for controlling caesarean section utilization including the preparation of promotive preventive programs involving related professional organizations (such as: Obstetrics and Gynecology, Internal Medicine, Nutrition, Heart Disease) targeting women of childbearing age who are planning pregnancy and pregnant women, which specifically focus on minimizing pregnancy complications such as: Hypertension, Diabetes mellitus, obesity, heart disease. This is important in an effort to reduce pregnancy complications that can potentially increase the rate of caesarean section utilization.

Read More
D-561
Depok : FKM UI, 2025
S3 - Disertasi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Harimat Hendarwan; Promotor; Amal C. Sjaaf; Kopromotor: Adang Bachtiar, Anhari Achadi; Penguji: Purnawan Junadi, Soewarta Kosen, Dian Ayubi, Delina Hasan
D-246
Depok : FKM-UI, 2011
S3 - Disertasi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Renny Nurhasana; Promotor: Budi Hidayat; Kopromotor: Pujiyanto; Penguji: Hasbullah Thabrany, Purnawan Junadi, Mardiati Nadjib, Fachmi Idris, Vivi Yulaswati, Alin Halimatussadiah
D-375
Depok : FKM-UI, 2018
S3 - Disertasi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Andy Prabowo; Promotor: Ascobat Gani; Kopromotor: Mardiati Nadjib; Penguji: Amal Chalik Sjaaf, Meiwita Paulina Budiharsana, Erna Kristin, Mahlil Ruby, Mursyid Bustami
Abstrak:
Stroke adalah penyakit peringkat ketiga dengan biaya terbanyak dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pelayanan medisnya dilaksanakan sesuai dengan alur klinis (clinical pathway), yang merupakan turunan dari Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK). Tarif pelayanan penyakit stroke iskemik dalam skema Indonesia Case-Based Group (INA-CBG) ditetapkan sebelum pemberlakuan PNPK. Akibatnya, penyusunan tarif stroke iskemik belum sepenuhnya mempertimbangkan standar pelayanan nasional. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa rumah sakit perlu mengelola biaya perawatan dan kualitas layanan agar tarif INA-CBG dapat mencukupi biaya satuan rawat inap stroke iskemik pada pasien JKN di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional (RS PON) Prof. Dr. dr. Mahar Mardjono Jakarta. Desain penelitian yang digunakan adalah noneksperimental dengan data retrospektif Oktober—Desember 2019. Unit analisisnya adalah 96 pasien stroke iskemik yang dirawat di RS PON. Penelitian menunjukkan bahwa rata-rata biaya satuan untuk stroke iskemik di RS PON adalah sebesar Rp11.598.286 ± Rp5.799.088. Uji regresi multipel memperlihatkan bahwa lama hari rawat inap, sistolik dan skor National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) saat admisi ke rumah sakit merupakan determinan signifikan terhadap rata-rata biaya satuan rawat inap stroke iskemik pasien JKN di RS PON. Perbedaan tidak signifikan terlihat antara tarif INA-CBG tahun 2016 regional 1 RS kelas A dan rata-rata biaya satuan rawat inap stroke iskemik pada pasien JKN di RS PON. Namun, temuan ini juga menjelaskan penerapan tarif INA-CBG tahun 2016 regional 1 RS kelas A bagi RS PON mengakibatkan defisit rata-rata sebesar -Rp214.049 ± Rp4.647.223 per kasus. Perbedaan biaya satuan dan tarif INA-CBG ini diperkirakan menyebabkan defisit sebesar -Rp1.262.304.927 bagi RS PON pada tahun 2019. Selain itu, diperkirakan defisit yang ditanggung oleh seluruh rumah sakit peserta JKN mencapai -Rp61.108.299.113, dengan asumsi prevalensi stroke iskemik adalah 1,1‰. Meskipun secara rata-rata biaya satuan lebih tinggi dari tarif, rumah sakit dapat melakukan pengelolaan keuangan yang baik agar operasional tidak terganggu. Hal ini tercermin dari rasio kas dan rasio lancar RS PON yang masing-masing sebesar 240,47% dan 1.695,31%. Dengan demikian, kewajiban jangka pendek dapat dipenuhi oleh RS PON, namun banyak aset lancar yang mengendap dan seharusnya bisa menjadi potensi pendapatan tambahan rumah sakit, atau banyak piutang yang belum terbayarkan. BPJS Kesehatan juga perlu mengelola keuangan dengan baik untuk menjaga keberlangsungan program JKN, yang ditunjukkan dengan rasio kas dan rasio lancar sebesar 152,91% dan 914,6%.

Stroke ranks as the third most costly disease in the National Health Insurance (Jaminan Kesehatan Nasional/JKN) program. Medical services are carried out in accordance with the clinical pathway, which is derived from the national guidelines for medical services (PNPK). The tariff for treating ischemic stroke in the Indonesia Case-Based Group (INA-CBG) was set before establishing of the PNPK, resulting in the tariff for ischemic stroke treatment being issued before calculating the real actual costs of delivering the national service standards of care. This research is necessary to demonstrate that hospitals need to manage care costs and service quality so that the INA-CBG rates can cover the unit costs of inpatient ischemic stroke care for JKN patients at the National Brain Center Hospital (RS PON) Prof. Dr. dr. Mahar Mardjono Jakarta. A retrospective nonexperimental research design was used, analyzing data from ischemic stroke patients hospitalized at RS PON between October—December 2019. The results showed that the average unit cost of inpatient ischemic stroke at RS PON was IDR11,598,286 ± IDR5,799,088, based on the 2019 data. Multiple regression tests indicated that the length of stay, sistolic and the national institutes of health stroke scale (NIHSS) scores upon admission were significant determinants of the variation of the average unit cost. Non-significant difference was found between the INA-CBG 2016 tariff for type A hospitals (region 1) and the average unit cost of inpatient ischemic stroke among JKN patients at RS PON. In conclusion, implementing the INA-CBG 2016 tariff for type A hospitals such as RS PON creates an average deficit of -IDR214,049 ± IDR4,647,223 per case. The discrepancy between unit costs and INA-CBG tariffs is estimated to have resulted in a deficit of -IDR1,262,304,927 for RS PON in 2019. Furthermore, assuming an ischemic stroke prevalence of 1.1‰, the deficit borne by all JKN-participating hospitals is estimated to have reached -IDR 61,108,299,113. Although the average unit cost is higher than the tariff, the hospital can manage its finances well to ensure that operations are not disrupted. This is reflected in RS PON's cash ratio and current ratio, which are 240.47% and 1,695.31%, respectively. Thus, RS PON can meet its short-term obligations, but many current assets are idle and should be potential additional hospital revenue or m any outstanding receivables. BPJS Kesehatan also needs to manage its finances well to maintain the continuity of the JKN program, as indicated by its cash ratio and current ratio of 152.91% and 914.6%.
Read More
D-590
Depok : FKM-UI, 2025
S3 - Disertasi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
:: Pengguna : Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
Library Automation and Digital Archive