Hasil Pencarian :: Kembali

Ditemukan 40900 dokumen yang sesuai dengan query ::  Simpan CSV
cover
Evi Yuniawati; Pembimbing: Sutanto Priyo Hastono, Iwan Ariawan; Penguji: Besral, Julitasari Sundoro, Felix Kasim
T-2636
Depok : FKM-UI, 2007
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Achmad Jajuli; Pembimbing: Sudijanto Kamso, Dian Ayubi; Penguji: Sutanto Priyo Hastono, Bagus Satriyo Budi, Ismoyowati
Abstrak:

Tahun 2003, kelangsungan pemberian ASI eksklusif di tiga Kabupaten (Cirebon, Cianjur dan Ciamis) Propinsi Jawa Barat masih rendah, yaitu 0,06%. Rendahnya kelangsungan pemberian ASI eksklusif ini diperkirakan karena belum dilakukan kajian ilmiah mengenai kelangsungan pemberian ASI eksklusif secara komprehensif dengan metode yang memadai secara substansial. Oleh karena itu karena itu dilakukan penelitian dengan metode yang memadai dengan analisis survival untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kelangsungan pemberian ASI eksklusif. Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif pada 1339 orang ibu menyusui yang terdapat di tiga kabupaten (Cirebon,Cianjur Dan Ciamis) Propinsi Jawa Barat pada tahun 2003. Analisis yang digunakan adalah analisis survival. Penelitan ini mendapatkan hasil bahwa kelangsungan pemberian ASI eksklusif di tiga Kabupaten (Cirebon,Cianjur dan Ciamis) Propinsi Jawa Barat adalah 0,75%. Penelitian ini menemukan faktor yang berpengaruh terhadap kelangsungan pemberian ASI eksklusif adalah faktor kontrasepsi yang digunakan ibu dan faktor kunjungan ke tenaga kesehatan pada saat neonatal. Faktor kontrasepsi yang digunakan ibu merupakan faktor pencetus ketahanan pemberian ASI eksklusif dengan hazard ratio sebesar 11,5 sedangkan faktor kunjungan ke tenaga kesehatan pada Saat neonatal rnerupakan faktor yang bersifat protektif terhadap kelangsungan pemberian ASI eksklusif dengan hazard ratio sebesar 0,11. Berdasarkan hal tersebut di atas perlu dilakukan peningkatan penggunaan kontrasepsi non pil bagi ibu yang menyusui, selain itu juga perlu ketegasan pelaksanaan Kepmen No. 237/MENKES/SK/IV/1997 tentang pemasaran susu pengganti serta pemantauan kelangsungan pemberian ASI eksklusif dengan menggunaan KMS. Perlu juga dilakukan penelitian lebih mendalam yang mencakup variabel Iain seperti sisial budaya dengan pendekatan yang lebih memadai untuk dapat menjelaskan kelangsungan pemberian ASI eksklusif.


In 2003, the continuity of exclusive breastfeeding in the three regions (Cirebon, Cianjur, and Ciamis) of West Java Province, which is 0.75%, is still low. This is possibly because scientific evaluation about the continuity of exclusive breastfeeding has never been conducted comprehensively using a method that is substantially adequate. Therefore a research is done using an adequate method of survival analysis to determine the factors which influence the continuity of exclusive breastfeeding. The study design is retrospective cohort based on 1339 lactating mothers living in the three regions (Cirebon, Cianjur, and Ciamis) of West Java Province in the year of 2003. The analysis used is survival analysis. Results from the study show that the continuity of exclusive breastfeeding in the three regions (Cirebon, Cianjur, and Ciamis) of West Java Province is 0.75%. This research found factors which influence the continuity of exclusive breastfeeding are contraception used by mothers and visits to health personals during neonatal period. The contraception used by mothers is a trigger factor for persistency in exclusive breastfeeding with a hazard ratio of 11.5 whereas, visits to health personals during neonatal period has a protective effect for persistency in exclusive breastfeeding with a hazard ratio of 0.11. Based on the findings stated above, there is a need to increase the use of non-pill contraception for lactating mothers. In addition, there is a need for firm implementation of Kepmen No. 237/MENKES/SK/IV/1997 regarding replacement marketing baby milk as well as monitoring the continuity of exclusive breastfeeding by using KMS. A more profound study, which includes other variables such as social culture, with an adequate approach needs to be conducted in order to provide an explanation for the continuity of exclusive breastfeeding.

Read More
T-2586
Depok : FKM-UI, 2007
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Siti Zubaidah; Pembimbing: Kemal Nazaruddin Siregar; Penguji: Besral, Bowo Setiyanto
S-8818
Depok : FKM-UI, 2015
S1 - Skripsi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Annisa Harpini; Pembimbing: Artha Prabawa; Penguji: Besral, Yudianto, Zulfi
Abstrak: Sebagian besar kematian jamaah haji Indonesia pada tahun 2007 (54,5%) disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler. Di Asia Tenggara, jenis kardiovaskuler terbanyak adalah penyakit jantung koroner (PJK). Penelitian ini menggunakan disain studi kasus kontrol, dimana semua jamaah haji embarkasi Jawa Barat yang mengalami PJK di tanah suci dimasukkan ke dalam kelompok kasus, dan yang tidak mengalami PJK di tanah suci dimasukkan ke dalam kelompok kontrol. Penentuan kelompok kontrol dilakukan dengan cara mematchingkan karakteristik individu pada masing-masing kasus (usia, jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan), dengan perbandingan 1 kasus untuk 5 kontrol. Terdapat 48 kasus dan 240 kontrol dalam penelitian ini, dengan jumlah total sampel adalah 288. Terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat hipertensi dan diabetes mellitus pada jamaah dengan kejadian PJK di tanah suci. Dimana odds yang mengalami PJK pada jamaah yang hipertensi 10,69 kali odds PJK pada jamaah yang tidak hipertensi. Dan odds yang mengalami PJK pada jamaah yang diabetes mellitus 4,48 kali odds PJK pada jamaah yang tidak diabetes mellitus. Untuk menurunkan kematian dan kesakitan akibat PJK, jamaah dengan riwayat hipertensi dan diabetes mellitus disarankan untuk selalu menjaga kesehatannya sesuai anjuran petugas medis. Untuk petugas yang menangani kesehatan jamaah, diharapkan meningkatkan pengawasan dan penyuluhan kepada jamaah dengan riwayat hipertensi dan diabetes mellitus.
 

 
In 2007, most of Indonesian pilgrims (54.5%) died due to cardiovascular disease. In Southeast Asia, most common type of cardiovascular is coronary heart disease (CHD). The study design was case-control, in which all hajj pilgrims From The West Javanese Embarkation who experienced CHD in the holy land were in the case group, and who did not have CHD at the holy land were in the control group. Control group was chosen by matching the individual characteristics of each case (age, sex, education, and employment), with a ratio of 1 case to 5 controls. There were 48 cases and 240 controls in this study; with the total number of samples were 288. There were significant relationship between a history of hypertension and diabetes mellitus upon the incidence of CHD in the holy land. Where the odds of experiencing CHD in hypertensive pilgrims was 10.69 times the odds of CHD among those who were not hypertensive. And odds of experiencing CHD in diabetes mellitus pilgrims was 4.48 times the odds of CHD among those who were not diabetes mellitus. To reduce mortality and morbidity due to CHD, pilgrims with a history of hypertension and diabetes mellitus are advised to always keep their health as recommended by the medical officer. For healthcare workers who handle pilgrims, are expected to increase supervision and counseling to the hajj pilgrims with a history of hypertension and diabetes mellitus.
Read More
T-3762
Depok : FKM-UI, 2013
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Rizanda Machmud; Pembimbing: Luknis Sabri; Penguji: Ekowati Rahajeng, Nurul Akbar, Kusharisupeni, Pandu Riono
Abstrak:

Banyak orang tidak menyadari timbulnya perlemakan hati. Hal ini dibuktikan pada hasil pengumpulan survey pada 975 orang di kota Depok menunjukkan prevalensi perlemakan hati paling tinggi diantara penyakit tidak menular lainnya. Prevalensi ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan negara- negara seperti Amerika, Canada, Italia maupun Jepang.Hal yang ditakutkan dari perlemakan hati adalah bila terjadi komplikasi yang berlanjut menjadi sirosis dan kegagalan fungsi hati. Hampir sebagian besar hasil penelitian di luar negeri mendapatkan penyebab perlemakan hati tersebut oleh karena alkohol, sedangkan di Indonesia alkohol bukan sesuatu hal yang umum dikonsumsi, sehingga dengan mengetahui faktor-faktor risiko perlemakan hati akan memudahkan dalam usaha menurunkan prevalensi perlemakan hati tersebut.Penelitian ini menggunakan data sekunder dari studi operasional promosi gaya hidup sehat dalam pengendalian faktor risiko penyakit tidak menular utama secara terintegrasi berbasis masyarakat di kota Depok Jawa Barat kerjasama antara WHO, Departemen Kesehatan dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pengambilan sampel dilakukan dengan multistage random sampling pada 55 000 orang, dengan kriteria umur sampel 25 tahun keatas. Interview dilakukan pada 975 orang yang terpilih dengan kuisioner standar. Dari seluruh data yang ada, diambil variabel-variabel yang diduga berhubungan dengan perlemakan hati meliputi: umur, jenis kelamin, trigliserida, diabetes melitus, pola konsumsi lemak, kegemukan, aktifitas fisik dan olahraga, serta perlemakan hati. Sampel yang terpilih adalah yang sesuai dengan kriteria inidusi yaitu, tidak meminum Alkohol dan tidak menderita hepatitis serta tidak terdapat missing value, maka dari 975 sampel yang dapat dianalisa tinggal 808 saja. Analisa pada penelitian ini menggunakan regresi logistik.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi perlemakan hati non alkohol di kelurahan Abadi Jaya adalah 30.6% (SE 1.965). Proporsi umur yang paling besar menderita perlemakan hati adalah pada kategori umur menengah (middle age) yaitu sebesar 37.2% (interval kepercayaan 95% 32.4; 42.3). Proporsi jenis kelamin yang mengalami perlemakan hati lebih banyak adalah pria sebesar 33.3% (interval kepercayaan 95% 27.6; 39.6), sedangkan wanita sebesar 29.3% (interval kepercayaan 95% 24.9; 34.0).Faktor risiko yang memiliki hubungan dengan perlemakan hati adalah: umur, hiperkipidemia, diabetes melitus dan kegemukan, sedangkan jenis kelamin, pola konsumsi makan, aktivitas fisik dan olahraga tidak berhubungan dengan kejadian perlemakan hati. Nilai besarnya hubungan ini, didapatkan setelah mengontrol variabel-variabel lainnya melalui analisis multivariat menunjukkan, kegemukan berisiko terhadap kejadian perlemakan hati sebesar 4.8 kali (interval kepercayaan 95% OR 3.3; 6.8,p < 0.0001) dibandingkan orang yang tidak gemuk. Pada umur 45-55 tahun (middle age) risiko mengindap perlemakan hati meningkat sebesar 2.3 kali (interval kepercayaan 95% OR 1.3; 4.1, p = 0.004) dibandingkan umur dibawah 45 tahun, sedangkan umur diatas 55 tahun peningkatan risikonya sebesar 1.8 kali (interval kepercayaan 95% OR 1.03; 3.0, p = 0.04) dibanding umur dibawah 45 tahun. Bagi penderita diabetes melitus, besarnya risiko mengalami perlemakan hati adalah 2.2 kali (interval kepercayaan 95% OR I.4; 3.5, p < 0.0001) dibandingkan yang bukan penderita diabetes melitus. Orang dengan hipertrigliserida akan meningkatkan risiko mengindap perlemakan hati sebanyak 2.4 kali (interval kepercayaan 95% OR L6; 3.5, p < 0_000 1), dibandingkan dengan kadar trigliserida dalam darah normal. Dan bila seseorang menderita diabetes melitus dan hipertrigliserida, maka risiko untuk mengalami perlemakan hati sebesar 3.0 kali (interval kepercayaan 95% OR 2.1; 19, p = 0.012) dibandingkan orang tanpa diabetes dan kadar trigliserida normal.Kesimpulan pada penelitian ini, faktor yang paling dominan dan berisiko paling tinggi pada kejadian perlemakan hati adalah kegemukan. Kontribusi faktor risiko menunjukkan, bila kegemukan dapat dihilangkan pada populasi tersebut, maka perlemakan hati akan turun dari 30.6% menjadi 11.7% (interval kepercayaan 95% 10.3; 13.7).Daftar Bacaan: 74 (1982 - 2001)


 

Risk Factors and Impact Fraction's Analysis of Fatty Liver in Abadi Jaya village Sukmajaya Distric Depok West Java 2001 (Secondary Data Analysis)Most of people do not recognize that they had suffered with fatty liver. It can be proofed by the result of survey on 975 people in Depok sub-urban 2001, that fatty liver was the highest prevalence on the other non-communicable disease. The prevalence is higher than other country such as USA, Canada, Italy, and Japan.The reason why complication of fatty Iiver is the worries thing, because fatty liver may progress to liver fibrosis and cirrhosis and may result in liver-related morbidity and mortality. The use of alcohol is commonly related to fatty liver in West Countries or Japan, but in Indonesia the alcohol drinking is rare_ The objective of this study is to investigate risk factors for fatty liver and do some impact fraction's analysis to know the prevention impact in fatty liver.The study used the data from non-communicable disease study in the sub urban area in collaborations with WHO, and Ministry of Health. Multistage random sampling methods were applied to 55 000 people with targeted sample for age of older than 25 years old. Interview was done for 975 people chosen with standardized questioner. Variables included were age, sex, dietary intake, body mass index, trygliceride, activity and sport, and fatty liver it self. Inclution criteria on this study are sample who's not drinking alcohol and not have hepatitis. There were 808 could be analyzed from 975 sample Logistic regression analysis was used to analyze the data.The results of this study indicated that prevalence of non-alcoholic fatty liver was 30.6% (SE 1.349). Proportion of fatty liver was biggest in middle age 37.2% (95% confidence intervals 32.4; 42.3). Male (33.3% with 95% confidence intervals 27.6; 39.6) get more chance to have fatty liver than female (29.3% with 95% confidence intervals 24.9; 34.0).Independent predictors for fatty liver were age, hiperlipidemia, diabetes mellitus and obesity. The others factors such as sex, dietary intake of fat, sport and activity not associated with fatty liver. The risk for fatty liver was higher by 4.8 fold (95% confidence intervals for OR 3.3; 6.8, p < 0.0001) in obesity compared with normal body mass index. The risk for fatty liver was 2.3 fold (95% confidence intervals for OR 1.3; 4.1, p = 0.004) in middle age compared with young age. Age of > 55 years will get higher risk for fatty Iiver compared young age by 1.8 fold (95% confidence intervals for OR 1.03; 3.0,p = 0.040). If someone get suffered for diabetes mellitus the risk for fatty liver was 2.2 fold (95% confidence intervals for OR 1.4; 3.5, p<0.0001) compared with non diabetic. The risk for fatty liver will be higher by 2.4 fold (95% confidence intervals for OR 1.6; 3.5, p < 0.0001) in hipertriglyceride compared with normal triglyceride. If someone has both of diabetic and hipertriglyceride, so the risk for fatty liver will be 3.0 fold (95% confidence intervals for OR 2.1; 3.9, p < 0.0001) compared with non diabetic and normal triglyceride.Conclusion in the present study, the strongest associated factor for fatty liver was obesity. The analysis of impact fraction indicated, if obesity was eliminated in population, prevalence of fatty liver will be decreased from 30.6% to 11.7% (95% confidence intervals 10.3; 13.7).References: 74 (1982 -- 2001)

Read More
T-1253
Depok : FKM-UI, 2002
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Ichwanuddin; Pembimbing: Toha Muhaimin ;Penguji: Luknis Sabri, Kusharisupeni, Nanang Prayitno, Pudjo Hartono
Abstrak:

Kurang Energi Protein (KEP) merupakan masalah gizi utama di Indonesia. Menurut Morley, D (1994), KEP terdiri dari kegagalan pertumbuhan, marasmus dan Kwashiorkor. KEP saat ini sering terjadi pada usia 6 bulan sampai 5 tahun. Keadaan ini bila dilihat masa Ialunya berasal dari kehidupan awal dalam janin sampai terjadinya bayi dengan BBLR, dan seringkali juga diakibatkan oleh pertumbuhan yang tidak adekuat pada 6 bulan pertama dalam kehidupannya.Rancangan studi ini adalah Kohort Prospektif dengan menggunakan data sekunder. Data berasal dari penelitian dengan judul "The Implementation of Risk Approach On Pregnancy Outcome by Traditional Birth Attendant - yang dilakukan oleh WHO Collaborating Center for Perinatal Care, Maternal and Child Health dan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung.Studi ini mempelajari risiko BBLR terhadap kejadian KEP bayi usia 3 bulan sampai 12 bulan. Analisisnya menggunakan Stratifikasi dan Pemodelan. Data yang dikumpulkan selama 28 bulan (Oktober 1987 sampai Januari 1990) dan diikuti pertumbuhan bayinya sejak kelahiran sampai 12 bulan.Hasil studi menunjukkan bahwa dari 3.615 bayi yang diteliti, 425 (11,8%) dengan kelahiran BBLR. Prevalensi KEP berkisar 2%-24,1% (3-12 bulan). Risiko BBLR terhadap kejadian KEP menunjukkan hasil yang signifikan (p<0,05), masing-masing pada usia 3 bulan`(RR=8,43; 95% CI=5,37-13,25), 6 bulan (RR=5,93; 95% CI=4,41-7,99), 9 bulan (RR=2,72; 95% CI=2,29-3,22), dan 12 bulan (RR=2,16; 95% CI=1,90-2,46).Analisis stratifikasi faktor-faktor ibu (umur, pendidikan, pekerjaan, layanan antenatal dan jumlah kehamilan) dan faktor-faktor bayi (lama kehamilan dan jenis kelamin) dilihat interaksinya dengan BBLR terhadap kejadian KEP, hasilnya menunjukkan bahwa tidak satupun faktor-faktor tersebut berinterakasi dengan BBLR (Uji homogenitas : p>0,05).Pemodelan dengan Regressi Logistik Berganda untuk estimasi probabilitas KEP menunjukkan P(KEP 3 bulan) = 9,02% (riwayat BBLR dan layanan antenatal buruk), P(KEP 6 bulan) = 89,8% (riwayat KEP, BBLR dan tidak diberi ASI), P(KEP 9 bulan) = 70,8% (riwayat KEP, BBLR dan tidak diberi ASI) dan P(KEP 12 bulan) = 87,9% (riwayat KEP).Oleh karena itu studi ini menyarankan perlu dan pentingnya pemberian ASI, asupan makanan yang adekuat dan imunisasi lebih dipentingkan pada anak-anak yang menderita KEP.


 

Protein Energy Malnutrition (PEM) is a major nutrition problem in Indonesia. According to Morley, D (1994); PEM comprises growth failure, marasmus and Kwashiorkor. PEM present most ?frequently between the ages of 6 months and 5 years, however, its origins go back to early fetal life, to Low Birth Weight (LBW), and sometimes to inadequate growth in the first 6 months of life.This study design was Cohort Prospective by secondary data analysis. Its taken from ?The Implementation of Risk Approach On Pregnancy Outcome by Traditional Birth Attendant? by WHO Collaborating Center for Perinatal Care, Maternal and Child Health, and Faculty of Medicine University of Padjadjaran Bandung.This Study assessed the association between LBW risk and PEM the ages of 3 months to 12 months. The Analysis used Stratified and Modelling. Data were collected over a periode of 28 months (October 1987 to January 1990) and followed up until 1989-1991.The Study showed that from 3.615 infants, 425 (11,8%) of them were LBW. The prevalence of PEM between 2%-24,1O% (3-12 months). LBW risk was significantly associated in univariate analysis with low weight for age (PEM), 3 months (RR=8,43; 95% CI=5,37-13,25), 6 months (RR=5,93; 95% CI=4,41-7,99), 9 months (RR=2,72; 95% CI=2,29-3,22), 12 months (RR=2,16; 95% CI=1,90-2,46).Stratilied Analysis showed that no one of mothers?s factors (age, education, occupation, antenatal care and number of pregnancies) contribute to association between LBW and PEM ages 3 months.The Modelling by Multiple Logistic Regression Model to estimated probability PEM ages 3 months showed that only 9,02% with LBW history and bad antenatal care, meanwhile for ages 6 and 9 months, the estimated probability PEM was 89,8% and 70,8% with PEM history, LBW and lack of breastfeeding. The estimated probability PEM was 87,9% for ages 12 months with PEM history.Therefore this study suggest that breastfeeding, adequate food intake and immunization should give emphasis to children with PEM.

Read More
T-1204
Depok : FKM-UI, 2002
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Leli Purnamasari; Pembimbing: Luknis Sabri; Penguji: Pandu Riono, Ika Lastyaningrum
S-7489
Depok : FKM-UI, 2012
S1 - Skripsi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Khimatul Ulya; Pembimbing: Martya Rahmaniati Makful; Penguji: R. Sutiawan, Hera Nurlita
S-7487
Depok : FKM-UI, 2012
S1 - Skripsi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Atik Purwasantika; Pembimbing: Pandu Riono; Penguji: Budi Utomo, Mardiati Nadjib, Wendy Hartono, Sri Moertiningsih Adioetomo
T-2458
Depok : FKM-UI, 2006
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Trimulyaningsih; Pembimbing: Sabarinah B. Prasetyo, Ririn Arminsih Wulandari; Penguji: Pandu Riono, Mahmud, Didik Supriyono
Abstrak:

Di negara berkembang penyakit diare merupakan penyebab kematian dan kesakitan pada balita diperkirakan 1,8 juta setiap tahun. Prevalensi diare balita di Indonesia Tahun 2002-2003 terbanyak terdapat di Propinsi Sulawesi Selatan dan di Propinsi Jawa Barat. Sedangkan prevalensi diare pada batita Tahun 2005 terbanyak di Propinsi Sumatera Utara, Nangroe Aceh Darusalam dan Jawa Barat. Berdasarkan pola 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap, diare merupakan penyakit terbanyak. l3eberapa hasil penelitian menyatakan bahwa lingkungan merupakan faktor risiko terhadap kejadian diare pada batita. Faktor sanitasi lingkungan terutama sarana air bersih, sarana pembuangan kotoran, sarana pembuangan sampah dan kepadatan human sangat berperan dalam kejadian diare. Penelitian ini merupakan analisis lanjut data Survei Rumah Tangga Pelayanan Kesehatan Dasar Tahun 2005. Besar sampel sebanyak 1893 bayi di bawah tiga tahun di Propinsi Jawa Barat. Analisis data yang digunakan adalah analisis multivariabel dengan menggunakan teknik analisis regresi logistik ganda dilakukan dengan pembobotan. Hasil penelitian memperlihatkan kejadian diare pada batita di Propinsi Jawa Barat sebesar 28,5%. Dari analisis multivariabel dengan regresi logistik ganda didapatkan batita dari keluarga dengan sarana pembuangan kotoran yang tidak memenuhi syarat kesehatan berisiko 1,5 kali menderita diare. Sedangkan batita dari keluarga dengan sarana pembuangan sampah yang tidak memenuhi syarat kesehatan berisiko 2 kali menderita diare. Kejadian diare pada batita dari keluarga dengan status ekonomi rendah berisiko 2 kali dibandingkan batita dari keluarga status ekonomi tinggi. Batita dari ibu dengan pengetahuan rendah berisiko 2 kali dibanding batita dari ibu yang berpengetahuan tinggi. Begitu pula dengan kejadian diare pada batita dari ibu yang bersikap kurang balk berisiko 2 kali. Batita Bari ibu yang jarang mencuci tangan dengan sabun sebelum menyuapi anak dan menyediakan makanan, berisiko 2 kali menderita diare. Berdasarkan hasil penelitian, disarankan selain penyediaan sarana sanitasi lingkungan yang memenuhi syarat kesehatan, masyarakat juga dapat meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat. Terutama kebiasan mencuci tangan yang merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah penyakit diare, karena sebagian besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur fecal oral.


 

In developing countries diarrhea is mortality and morbidity cause on infant estimated 1,8 million people per year. Infant diarrhea prevalence in Indonesia year 2002-2003 mostly found in South Celebes Province and West Java Province. While diarrhea prevalence on infant in 2005 mostly found in North Sumatra Province, NAD and West Java. Based on 10 diseases pattern mostly inpatient, diarrhea is the most disease. Some of research result suggested that environment is risk factor toward diarrhea in infant. Environment sanitation factor especially pure water means, waste disposal means, garbage disposal means, and resident density have a very important role in diarrhea cases. This research was further analysis of Basic Human Services Baseline Household Survey in 2005. Samples are infants under three years in 1893 of West Java Province. Data analysis that used is multivariable analysis using multiple logistic regression. Research result shows diarrhea cases on infant in West Java Province is 28,5%. From multivariable analysis with multiple logistic regression found infant from family with waste disposal means that not qualifying health risk is 1,5 times suffering diarrhea. While infant from family with garbage disposal means, that not qualifying health risk is 2 times suffering diarrhea. Diarrhea cases on infant from family with the lower economic status have 2 times risk compared to infant from high economic status. Diarrhea cases on infant from family with low knowledge have 2 times risk compared to infant from high knowledge mother. So also, diarrhea on infant of mother that has bad attitude got 2 times risk. Infant of mother who is rarely wash their hand with soap before feeding their children and providing food has 2 times risk of suffering diarrhea. Based on research result, suggested besides providing environment sanitation means that qualified health requisite, public could also increasing hygiene life behavior and healthy. Especially washing hand behavior that is the most effective ways in preventing diarrhea, because most of infectious germ that cause diarrhea infecting through fecal oral line.

Read More
T-2353
Depok : FKM-UI, 2006
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
:: Pengguna : Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
Library Automation and Digital Archive