Ditemukan 23751 dokumen yang sesuai dengan query :: Simpan CSV
Penyakit tuberkulosis (TBC) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar yang sedang dihadapi Indonesia, karena jumlah penderitanya menduduki urutan ketiga di dunia. Pengobatan yang dimulai segera merupakan tindakan yang penting dalam program penanganan TBC yang efektif. Keterlambatan pengobatan TBC atau ketidaktepatan waktu memulai pengobatan oleh penderita TBC setelah didiagnosis BTA positif dapat menyebabkan keparahan dan kematian penderita TBC, memperpanjang transmisi dan dapat meperluas penyebaran penyakit ke komunitas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proporsi ketidaktepatan waktu memulai pengobatan oleh penderita TBC paru setelah didiagnosis BTA positif, dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketidaktepatan tersebut. Penelitian ini menggunakan disain potong lintang, dilakukan dari 1 Januari 2007 ? 23 Desember 2008 di Kecamatan Ciracas. Ketidaktepatan berdasarkan form TB 01 dari penderita TBC paru baru BTA positif yang teregistrasi di Puskesmas Kecamatan Ciracas dan Puskesmas Kelurahan Ciracas. Ketidaktepatan didefinisikan sebagai waktu pengambilan OAT oleh penderita dalam atau lebih dari 1 (satu) hari, yang dihitung dari tanggal hasil pemeriksaan dahak akhir sampai pertama kali mengambil OAT. Faktor risiko yang berhubungan dengan ketidaktepatan tersebut dianalisis dari perspektif penderita yang diperoleh melalui wawancara penderita dengan kuisioner terstruktur. Untuk menganalisis faktor risiko yang berhubungan bermakna secara statistik digunakan metoda statistik regresi logistik. Sejumlah 286 penderita TBC paru baru BTA positif (165 orang pria dan 121 orang wanita) telah berpartisipasi dalam penelitian ini. Dari penelitian didapatkan 57,7% yang mengalami ketidaktepatan, dengan rata-rata dan median waktu ketidaktepatan berturut-turut 3,29 hari dan 2 hari. Tidak ada hubungan yang bermakna antara faktor kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, akses ke Pelayanan kesehatan, anggapan pasien terhadap penyakit dan pengetahuan tentang TBC dengan ketidaktepatan. Dengan analisis multivariat diperoleh faktor socioekonomi dan anjuran berobat merupakan faktor risiko yang berhubungan bermakna dengan ketidaktepatan. Dari penelitian ini disimpulkan terdapat 57,7% penderita TBC paru baru BTA positif yang memulai pengobatan dalam atau lebih dari 1 hari setelah pemeriksaan dahak dan faktor yang mempengaruhi kejadian tersebut adalah sosioekonomi dan anjuran berobat.
Tuberculosis (TB) disease remains a major public health problem in Indonesia, which is the third highest burden of TB globally. Immediate initiation of treatment are essential for an effective tuberculosis (TB) control program. A delay of TB treatment commencement is significant to both disease prognosis at individual level and transmission within the community. The objective of this study was to determine the proportion of TB patients who had delayed in treatment commencement after diagnosis, and to analyze the factors affecting the delay. A Cross sectional study was conducted from 1 January 2007 to 23 December 2008 in Ciracas district. The study was based on TB 01 form of registered patients in Primary health center of Ciracas district and Ciracas sub district. A delayed treatment was defined as time interval between diagnosis and start of DOTS treatment attained within or more than 1 days. Associated risk factors of treatment delay was analyzed from patient perspective. Patients were interviewed using a structured questionnaire. Logistics regression analysis was applied to analyze the risk factors of the delay. A total of 286 newly smear positive diagnosed pulmonary TB patients (165 males and 121 females) participated in this study. Approximately 57.7% of patients were treated within and more than 1 days after sputum diagnosed. The mean and median delayed treatment were 3.29 days and 2 days, respectively. No significant association was found between delayed treatment and sex, age, education, occupation, access to Primary health center, perceived of disease and TB knowledge. However, using the multivariate analysis, socio-economic and treatment advice were significant risk factors for delayed treatment. To sum up, there are 57.7% newly smear positive diagnosed pulmonary TB patients who treated within and more than 1 days after sputum diagnosed. Socio-economic and treatment advice were the associated risk factors.
Proporsi ketidakpatuhan penderita Tb paru berobat di beberapa daerah di Indonesia, angkanya bervariasi dan umumnya masih tinggi mulai dari 30 % sampai dengan 65 %. Kepatuhan berobat sangat penting karena berhubungan dengan resistensi. Di Kota Padang Propinsi Sumatera Barat penderita Tb paru dengan pengobatan kategori 1, tidak patuh berobat sebesar 38,88 %, sehingga kemungkinan terjadinya resistensi masih cukup tinggi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan persepsi penderita terhadap peran pengawas menelan obat dengan kepatuhan penderita Tb paru berobat di kota Padang tahun 2001. Penelitian ini dilaksanakan dalam waktu satu setengah bulan dengan menggunakan data primer.Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kasus kontrol. Sampelnya adalah sebagian atau seluruh penderita tuberkulosis paru berumur 15 tahun atau lebih yang berobat ke Puskesmas di Kota Padang dari 1 Januari 2001 s/d 31 Desember 2001 yang memdapat obat anti tuberkulosis (OAT) kategori I. Jumlah sampel sebesar 260 responden, yang terdiri dari 130 responden sebagai kasus dan 130 responden sebagai kontrol.Hasil penelitian menunjukkan bahwa probabilitas penderita Tb paru BTA positif yang tidak patuh berobat terpapar oleh aktivitas PMO kurang baik 18,95 kali lebih besar, dibandingkan dengan probabilitas penderita Tb paru BTA positif yang terpapar dengan aktivitas PMO baik, setelah dikontrol oleh penghasilan keluarga dan pengetahuan penderita.Pengukuran dampak potensial memberikan informasi adanya kantribusi aktivitas PMO kurang baik terhadap terjadinya ketidakpatuhan penderita Tb paru BTA positif berobat di Kota Padang sebesar 81,46 %.Penelitian ini menyarankan kepada pengelola program perlu meningkatkan pengetahuan dan motivasi pengawas menelan obat, agar dalam melaksanakan tugas pengawasannya berjalan secara aktif. Meningkatkan pengetahuan penderita mengenai penyakit Tb paru serta akibat bila tidak patuh berobat. Dan perlu di teliti lebih lanjut terhadap variabel jenis PMO dan pekerjaan serta penghasilan keluarga dengan sampel yang lebih besar.
The Relationship of the Perception of Tb Patients on the Role of Treatment Observer and Compliance of Pulmonary Tuberculosis Patients in Padang, 2001The proportion of tuberculosis patients who does not take treatment regularly in Indonesia varies with areas, with the number ranging from 30 to 65%. Regularity in taking treatment is very crucial because it relates to drug resistance. In Padang, West Sumatra, category I tuberculosis sufferers who do not take treatment regularly is 38, 88%. Hence, the possibility of resistance is still high. The objective of the research is to study the perception relationship between the role of drug intake supervisors (DIS) or treatment observer and compliance of pulmonary tuberculosis patient attending the treatment in Padang in 2001. This study was conducted during a month and a half period using primary data.The design used is case-control study. Its sample consists of all pulmonary TB patient age 15 or above who take treatment at public health centers in Padang from January 1 to December 31, 2001. All of TB patient received-category I anti-tuberculosis drugs. The size of the sample is 260; the respondents consist of 130 as cases and another 130 as controls. The study found that the probability of positive sputum acid fast bacilli (category I) pulmonary TB patient who do not take treatment regularly under insufficient supervision of drug intake supervisors (DIS) is 18.95 times higher than the probability of category I pulmonary TB patients who do not take treatment regularly under sufficient supervision of drug intake supervisors (DIS), after improvement of family income and knowledge level of TB patients.As a conclusion, potential impact measurement provide information that insufficient activities of drug intake supervisors contribute to the irregularity of category I pulmonary TB patients in taking treatment in Padang of 81.46%.It is recommended to all program directors to improve knowledge and motivation of treatment observer and compliant in order to increase effectiveness of their supervisory duties. In addition, they should also improve knowledge of pulmonary TB patients and communicate negative impacts of not taking treatment regularly. And research of this kind should be expanded in the future, especially that relates to drug intake supervisors types, jobs, and family income, with bigger samples.
