Hasil Pencarian :: Kembali

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query ::  Simpan CSV
cover
Febri Syahida; Pembimbing: Budi Hidayat; Penguji: Atik Nurwahyuni, Ismawiningsih, Aan Nurhasanah
Abstrak: Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efektifitas biaya antara Puskesmas yang menerapkan PAL dengan yang tidak menerapkan PAL dalam penanganan Tuberkulosis Paru di Wilayah Kota Administratif Jakarta Timur, dengan melakukan perhitungan menggunakan metode Activity Based Costing (ABC) untuk mendapatkan biaya per aktifitas. Penilaian efektifitas berdasarkan perbandingan antara penjumlahan komponen biaya pada masing-masing alternatif dengan output penelitian yang meliputi efektifitas pengobatan, Quality Adjusted Life Years (QALY's) serta Kegagalan/drop out yang dapat dihindari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Puskesmas PAL lebih efektif dalam penanganan Tuberkulosis Paru berdasarkan output kegagalan/drop out yang dapat dihindari.


This research purposes to compare cost effectivity between Center of Health which implements PAL and Non PAL in treatment Pulmonary Tuberculosis on administrative district East Jakarta. It uses Activity Based Costing (ABC) method to obtain cost per activity. The effectivity evaluation is based on comparison between total cost component at each alternatives with output consists of medical treatment effectiveness, Quality Adjusted Life Years (QALY's) and prevented failure/drop out. The result shows that Puskesmas with PAL is more effective in Pulmonary Tuberculosis treatment based on prevented failure/drop out.

Read More
T-3837
Depok : FKM-UI, 2013
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Vania Christiawantho; Pembimbing: Wahyu Kurnia Yusrin Putra; Penguji: Dyah Mulyawati Utari, Mayesti Akhriani
Abstrak: Penggunaan teledietetics sebagai upaya untuk mencegah peningkatan angkaobesitas yang semakin tinggi menjadi populer di kalangan masyarakat perkotaan yangingin menurunkan berat badan dan menerapkan pola hidup sehat. Walaupun masihtergolong metode yang baru untuk diterapkan di Indonesia, teledietetics telah banyakditerapkan di negara-negara maju karena metode ini dinyatakan lebih mengirit waktu,biaya, dan mempermudah komunikasi antara ahli gizi dan klien.Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas program diet coachingmenggunakan metode teledietetics yang diadakan oleh PT. Gizi Sehat Indonesia dengancara melihat perubahan berat badan dan asupan klien, serta membandingkan rata-ratapenurunan berat badan antar periode komitmen, asupan makan, dan jumlah sesikonsultasi juga melihat adanya pengaruh dari asupan terhadap penurunan berat badanklien. Adapun tujuan penelitian ini untuk melihat efektivitas biaya antar paket dalammenurunkan berat badan.Penelitian ini menggunakan data sekunder dimana studi desain yang digunakanadalah kohort retrospektif dengan total sampling 37 klien yang menjalani holistic dietcoaching di PT. Gizi Sehat Indonesia. Hasil yang ditemukan adalah 78,4% klienmengalami penurunan berat badan, 5,4% klien mengalami penambahan berat badan, dan16,2% klien tidak mengalami perubahan berat badan. Penurunan berat badan paling besarterdapat pada rata-rata penurunan berat badan 6 bulan, dimana rata-rata penurunan beratbadan paling kecil terdapat pada rata-rata penurunan berat badan 1 bulan. Penurunan beratbadan yang signifikan terdapat pada klien yang mengikuti jumlah sesi konsultasi 1-3 kalidan 4-9 kali serta 1-3 kali dan 10-18 kali. Perubahan asupan yang signifikan terdapat padaasupan energi dan asupan lemak. Namun tidak ada asupan yang berdampak padapenurunan berat badan. Paket yang paling efektif secara biaya adalah paket denganperiode komitmen 1 bulan.Penelitian ini menyimpulkan bahwa teledietetics dapat dilakukan sebagai metodekonsultasi gizi terkini terutama pada klien yang ingin menurunkan berat badan danmengubah pola makan. Teledietetics lebih cost-effective pada periode komitmen yanglebih pendek, namun penelitian lebih lanjut harus dilaksanakan untuk menilaikeberhasilan jangka panjang terkait perubahan berat badan dan diet demi memastikantidak terjadinya weight regain atau berat badan kembali.Kata Kunci: Teledietetics; Penurunan Berat Badan; Efektivitas Biaya.
Read More
S-10261
Depok : FKM-UI, 2020
S1 - Skripsi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Irene Tenriana Kenia; Pembimbing: Ascobat Gani; Penguji: Mardiati Nadjib, Vetty Yulianty Permanasari, Pipiet Okti Kusumastiwi, Rini Widyaningrum
Abstrak:
Dewasa ini, teknologi kedokteran gigi di Indonesia, khususnya di Yogyakarta semakin berkembang dengan sangat pesat. Tindakan medis yang umumnya dilakukan pada kasus impaksi gigi berupa pencabutan terhadap gigi yang impaksi. Sebelum dilakukan pencabutan gigi, pasien akan diminta dokter gigi untuk melakukan pemeriksaan radiografi. Teknologi radiografi yang saat ini dikenal sebagai pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis impaksi gigi adalah Cone-Beam Computed Tomography dan Panoramik. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui efektivitas biaya dari dua fasilitas pemeriksaan penunjang, yaitu CBCT dan Panoramik yang dilakukan di RSGM UMY Yogyakarta. Penelitian ini bersifat non eksperimental menggunakan evaluasi ekonomi model cost effectiveness analysis dengan cohort retrospective. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah rekam medis, dokumen keuangan, dokumen bagian fix asset, dan dokumen pencatatan ruang radiologi di RSGM UMY dari 1 Januari 2021 hingga 31 Desember 2021. Penelitian ini menghitung biaya dari setiap aktivitas menggunakan metode Activity Based Costing. Biaya yang dihitung dalam penelitian ini terdiri dari biaya investasi, biaya pemeliharaan, serta biasanya operasional. Biaya tersebut dihitung sesuai dengan aktivitas yaitu di pendaftaran, poli perawat, poli gigi, poli radiologi, dan kasir. Sedangkan output pada penelitian ini terdapat empat indikator yaitu akurasi radiografi, error rate radiograf, dosis radiasi, dan waktu paparan. Efektivitas yang dihitung dari akurasi radiograf kedua pemeriksaan penunjang. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa biaya pemeriksaan CBCT Rp 614.843,4 dan kelompok Panoramik didapatkan hasil yang lebih murah yaitu Rp 333.342,0. Biaya investasi yang memiliki kontribusi adalah biaya investasi di poli gigi yaitu sebesar Rp 89.545,9 baik pada pemeriksaan CBCT maupun Panoramik. Output yang diukur dalam penelitian ini adalah akurasi radiograf, error rate radiograf, dosis radiasi, dan waktu paparan. Namun, untuk mendapatkan nilai efektivitas dilakukan perhitungan akurasi, dimana pada pemeriksaan CBCT didapatkan hasil akurasi sebesar 50% dan persentase akurasi radiografi Panoramik sebesar 90,8%. Panoramik memiliki efektivitas yang lebih baik dari CBCT dan harga yang lebih rendah. Oleh karena itu, radiografi Panoramik pada penelitian ini mendominasi. Sehingga dapat dikatakan Panoramik lebih cost effective dari CBCT. CBCT terbukti tidak cost effective karena memiliki biaya yang lebih tinggi namun efektivitasnya tidak lebih baik. Penelitian ini hanya berfokus pada RSGM UMY. Sampel yang terbatas tidak mencerminkan kondisi pelayanan radiografi gigi secara umum di fasilitas kesehatan lain.

Today, dental technology in Indonesia, especially in Yogyakarta, is growing very rapidly. The most common medical procedure for impacted teeth is the extraction of the impacted tooth. Prior to tooth extraction, the patient will be asked by the dentist to perform a radiographic examination. Radiographic technology currently known as a supporting examination for diagnosing impacted teeth is Cone-Beam Computed Tomography and Panoramic. The purpose of this study was to determine the cost effectiveness of the two supporting examination facilities, namely CBCT and Panoramic which were carried out at RSGM UMY Yogyakarta. This research is non-experimental using an economic evaluation model of cost-effectiveness analysis with a retrospective cohort. The secondary data used in this study are medical records, financial documents, fixed asset section documents, and radiology room recording documents at RSGM UMY from January 1, 2021 to December 31, 2021. This study calculates the cost of each activity using the Activity Based Costing method. The costs calculated in this study consist of investment costs, maintenance costs, and usually operational costs. The fee is calculated according to the activities, namely at registration, nursing poly, dental poly, radiology poly, and cashier. While the output in this study there are four indicators, namely radiographic accuracy, radiographic error rate, radiation dose, and exposure time. Effectiveness was calculated from the accuracy of the radiographs of both investigations. The results showed that the cost of the CBCT examination was Rp. 614,843.4 and the panoramic group got cheaper results, which was Rp. 333,342.0. The investment cost that has a contribution is the investment cost in the dental clinic, which is Rp. 89,545.9 for both CBCT and panoramic examinations. The outputs measured in this study were radiographic accuracy, radiographic error rate, radiation dose, and exposure time. However, to get the effectiveness value, an accuracy calculation is carried out, where the CBCT examination results in an accuracy of 50% and the percentage of Panoramic radiography accuracy of 90.8%. Panoramic has better effectiveness than CBCT and lower cost. Therefore, panoramic radiography in this study dominates. So it can be said that Panorama is more cost effective than CBCT. CBCT is proven not to be cost effective because it has a higher cost but its effectiveness is not better. This research only focuses on RSGM UMY. The limited sample does not reflect the general condition of dental radiography services in other health facilities
Read More
T-6588
Depok : FKM UI, 2022
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Echa Aisyah; Pembimbing: Mardiati Nadjib; Penguji: Sandi Iljanto, Rustandi, Yanyan Bihantoro
T-5029
Depok : FKM-UI, 2017
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Ratu Rosidatun Nasihah; Pembimbing: Septiara Putri; Penguji: Mardiati Nadjib, Ery Setiawan
Abstrak: Vaksinasi tetanus toksoid merupakan intervensi pencegahan tetanus yang terbukti efektif secara klinis. Program vaksinasi tetanus toksoid di negara berkembang sering kali terhambat karena keterbatasan budget yang dialokasikan untuk program vaksinasi, berkompetisi dengan intervensi kesehatan lainnya pada kondisi belanja kesehatan semakin meningkat. Efektivitas klinis perlu bersinergi dengan efektivitas biaya agar dapat mencapai keberhasilan program. Efektivitas biaya program dapat dinilai dengan evaluasi ekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi teknik evaluasi ekonomi pada vaksinasi tetanus toksoid pada ibu hamil. Kajian literatur dilakukan pada Mei 2020 sampai Juli 2020 dengan pencarian pada database CINAHL, Cochrane Library, dan PubMed. Kajian literatur mengikuti panduan Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses guidelines for Scoping Review. Diperoleh 4 studi yang memenuhi kriteria. Diidentifikasi 3 studi menggunakan teknik CUA, 2 studi menggunakan teknik CEA (dengan 1 studi menggunakan kedua teknik) dengan membandingkan intervensi vaksinasi TT dengan do nothing/ current practice. Luaran akhir keempat studi berupa incremental cost-effectiveness ratio (ICER). ICER pada 3 studi menghasilkan kesimpulan bahwa intervensi vaksinasi TT pada ibu hamil memiliki value for money. Diperoleh suatu bukti bahwa vaksinasi dengan tetanus toksoid efektif secara biaya bahkan pada negara-negara yang belum berhasil mengeliminasi tetanus neonatal atau baru mengeliminasi tetanus neonatal secara parsial. Dari berbagai kemungkinan, vaksinasi tetanus toksoid pada ibu hamil selalu dominan dibanding komparator, berlaku pada one way sensitivity analysis dan analisis sensitivitas probabilistik simulasi Monte Carlo. Kata kunci: Tetanus toksoid, vaksinasi TT, vaksinasi maternal, evaluasi ekonomi, analisis efektivitas biaya, analisis utilitas biaya Tetanus toxoid vaccination is an intervention aiming preventing tetanus which clinically proven to be effective. Tetanus vaccination program in developing countries is frequently hampered due to limited budget allocated for vaccination program, competing with other health interventions as health expenditure increases. Clinical effectiveness should be synergized with cost-effectiveness in order to achieve program success. Economic evaluation is an approach to assess cost effectiveness. This study aims to identify economic evaluation techniques of tetanus toxoid vaccination for pregnant women. Literature review was conducted from May 2020 to July 2020 by performing literature search in databases of CINAHL, Cochrane Library, and PubMed. This literature review conformed to the Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses guidelines for Scoping Review. Obtained 4 studies fulfilled the criteria. Identified 3 studies used CUA, 2 studies used CEA (with 1 study used both techniques) comparing TT vaccination intervention with the absence of program scenario (do nothing) or current practice. Outcomes of 4 studies are incremental cost-effectiveness ratio (ICER). ICERs obtained from 3 studies present the evidence that TT vaccination intervention for pregnant women has value for money. This study obtained an evidence that tetanus toxoid vaccination is cost-effective even among countries which have yet to eliminate or have partially eliminated neonatal tetanus. Across various probabilities, tetanus toxoid vaccination in pregnant women remains dominant compared to the comparator, holds in one way sensitivity analysis and probabilistic sensitivity analysis via Monte Carlo simulation. Keywords: Tetanus-toxoid, TT vaccination, maternal vaccination, economic evaluation, cost effectiveness analysis, cost utility analysis
Read More
S-10330
Depok : FKM-UI, 2020
S1 - Skripsi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Zygawindi Nurhidayati; Pembimbing: Mardiati Nadjib; Penguji: Vetty Yulianty Permanasari, Ery Setiawan, Lahargo Kembaren
Abstrak:
Latar belakang: Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat bersifat kronis yang dapat menyebabkan defisit fungsional pasien sehingga mempengaruhi kualitas hidup serta memerlukan biaya perawatan jangka panjang yang besar bila tidak dilakukan pentalaksanaan secara komprehensif. Penatalaksanaan psikofarmakologi memiliki keterbatasan terhadap pemulihan fungsi pasien sehingga dibutuhkan intervensi rehabilitasi psikososial untuk mengoptimalkan fungsi dan kualitas hidup pasien. Hal tersebut akan berdampak pada efisiensi beban biaya pasien skizofrenia dalam jangka panjang yang bisa dioptimalkan. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis luaran klinis dan biaya pada penambahan rehabilitasi psikososial. Metode: Penelitian ini merupakan studi retrospektif yang mengukur efektivitas luara klinis dan kualitas hidup serta biaya pada pasien skizofrenia dengan penambahan rehabilitasi psikososial dibandingkan pasien skizofrenia dengan intervensi psikofarmakologi saja. Luaran klinis yang diukur berupa tingkat pemulihan berdasarkan nilais GAF dan kualitas hidup pasien berdasarkan kuesioner SQLS. Biaya dihitung selama satu tahun perawatan mencakup biaya obat, rehabilitasi, tindakan dan administrasi. Hasil: Pasien skizofrenia yang mendapatkan penambahan intervensi rehabilitasi psikososial sebanyak 81% memiliki nilai GAF > 70, lebih tinggi dibandingkan pasien skizofrenia dengan intervensi psikofarmakologi yang hanya 33,3%. Demikian pula, proporsi pasien dengan kualitas hidup yang baik sebanyak 85,7% sedangkan pasien skizofrenia dengan intervensi psikofarmakologi sebanyak 43,3%. Total biaya rata-rata per pasien pada pasien dengan penambahan rehabilitasi psikososial lebih tinggi dibandingkan dengan intervensi psikofarmakologi. Nilai ICER untuk setiap peningkatan GAF > 70 adalah Rp 70.023,96 dan nilai ICER untuk setiap 1% peningkatan kualitas hidup baik adalah Rp 78.777,00. Nilai tersebut menunjukkan bahwa penambahan rehabilitasi psikososial pada skizofrenia cukup efisien jika dikaitkan dengan luaran klinis. Kesimpulan: Penambahan intervensi rehabilitasi psikososial pada pasien skizofrenia di RSJ dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor memiliki luaran klinis yang lebih baik dan efisien secara biaya jika dikaitkan dengan luaran klinis tersebut. 

Background: Schizophrenia is a chronic, severe mental illness that causes significant functional deficits, affecting quality of life and necessitating substantial long-term care costs if not managed comprehensively. Psychopharmacological treatment alone has limitations in restoring patient functioning, thereby requiring psychosocial rehabilitation interventions to optimize patient function and quality of life. This optimization is anticipated to lead to improved cost-efficiency for schizophrenia patients in the long term. Objective: This study aimed to analyze the clinical outcomes and costs with the addition of psychosocial rehabilitation in schizophrenia patients. Methods: This retrospective study measured the effectiveness of clinical outcomes and quality of life, as well as costs, in schizophrenia patients receiving psychosocial rehabilitation in addition to psychopharmacological intervention, compared to those receiving psychopharmacological intervention. Clinical outcomes were assessed based on GAF scores and patient quality of life using the SQLS questionnaire. Costs were calculated over one year of treatment, encompassing expenses for medication, rehabilitation, medical procedures, and administration. Results: Among schizophrenia patients, 81% who received additional psychosocial rehabilitation achieved a GAF score > 70, which was significantly higher compared to only 33.3% of patients who received psychopharmacological intervention alone. Similarly, the proportion of patients with good quality of life was 85.7% in the psychosocial rehabilitation group, versus 43.3% in the psychopharmacology-only group. The average total cost per patient was higher in the group with additional psychosocial rehabilitation compared to the psychopharmacology-only group. The Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER) for every 1% increase in GAF > 70 was Rp 70,023.96, and for every 1% increase in good quality of life was Rp 78,777.00. These values indicate that the addition of psychosocial rehabilitation in schizophrenia is highly cost-efficient when linked to clinical outcomes. Conclusion: The addition of psychosocial rehabilitation interventions for schizophrenia patients at RSJ dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor results in better clinical outcomes and is cost-efficient when considering these outcomes.
Read More
B-2545
Depok : FKM-UI, 2025
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Hanna Elisabet Lumbangaol; Pembimbing: Mardiati Nadjib; Penguji: Kurnia Sari, Pujiyanto, Irianny Pudjiastuti, I Gusti Ngurah Akwila Dwiyundha
Abstrak:
Total hip arthroplasty (THA) adalah tindakan ortopedi popular, yaitu prosedur mengganti secara keseluruhan sendi panggul yang mengalami kerusakan dengan implan atau prosthesis. Utilitas THA diperkirakan akan terus tumbuh dimasa yang akan datang. enhance recovery after surgery (ERAS) diperkenalkan sebagai pendekatan multidisiplin yang bertujuan untuk mengoptimasi dan mempercepat proses penyembuhan berdasarkan praktik berbasis bukti. Berdasarkan literatur, implementasi ERAS pada THA terbukti mampu mengurangi jumlah hari rawat dan menghembat biaya perawatan. Evaluasi ekonomi ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas/luaran intermediate yang terdiri dari length of stay dan persen sukses operasi serta biaya yang dikeluarkan antara THA protokol ERAS dan konvensional. Studi ini menggunakan desain studi potong lintang dengan perspektif penyedia layanan kesehatan. Data dikumpulkan mulai Januari 2020 hingga Mei 2023. Hasil uji bivariat dengan SPSS menujukkan tidak ada perbedaan yang signifikan pada efektivitas. Evaluasi radiografi menunjukkan persentase sukses 100% pada kedua protokol, sedangkan persentase LOS ≤5 hari menunjukkan hasil sebesar 88% pada THA ERAS dan 75% pada THA konvensional. Hasil perhitungan ACER menunjukkan hal yang sebaliknya, yaitu nilai ACER untuk THA ERAS lebih rendah dibandingkan Konvensional (Rp47.187.729 dan Rp54.460.322). Berdasarkan nilai ACER, THA ERAS berpotensi lebih efisien dibandingkan THA Konvensional dengan efektivitas yang lebih baik. Namun, hasil CMA menunjukkan bahwa biaya rata-rata satu tindakan dengan pendekatan Konvensional lebih rendah daripada ERAS, yaitu Rp40.845.242 dibandingkan Rp41.525.202. Efektivitas ERAS dapat lebih ditingkatkan lagi dan memiliki efektivitas biaya dibandingkan Konvensional bila dapat diperoleh data yang lebih besar sampelnya, prosedur yang lebih jelas untuk pemulangan pasien dan clinical pathway yang tersusun baik. Kata kunci: Penggantian pinggul total, enhance recovery after surgery, evaluasi ekonomi, efektivitas biaya

Total hip arthroplasty (THA) is a widely performed orthopedic procedure involving the complete replacement of a damaged hip joint with an implant or prosthesis. With its increasing popularity, the utilization of THA is expected to grow in the future. Enhance recovery after surgery (ERAS) has emerged as a multidisciplinary approach aimed at optimizing and expediting the healing process through evidence-based practices. Literature supports the implementation of ERAS in THA, as it has been shown to reduce hospitalization duration and treatment costs. This economic evaluation aims to analyze the effectiveness in the form of intermediate outcomes, including length of stay (LOS) and the success rate of the operation, as well as the costs associated with ERAS and conventional THA protocols. The study employs a cross-sectional design from the perspective of healthcare providers, collecting data from January 2020 to May 2023. Bivariate tests conducted using SPSS demonstrate no significant difference in effectiveness. Radiographic evaluation indicates a 100% success rate in both protocols, while LOS ≤5 days is observed in 88% of THA ERAS cases and 75% of conventional THA cases. Calculated ACER values show that THA ERAS has a lower cost (Rp. 47,187,729) compared to Conventional (Rp. 54,460,322), suggesting greater potential in efficiency and effectiveness. However, the cost-minimization analysis (CMA) reveals that the average cost of a single action using the Conventional approach (IDR 40,845,242) is lower than that of ERAS (IDR 41,525,202). To further enhance the effectiveness of ERAS and ensure cost-effectiveness relative to Conventional THA, obtaining a larger sample size, establishing clear patient discharge procedures, and implementing well-organized clinical pathways are recommended. Keywords: Total hip replacement, enhance recovery after surgery, economic evaluation, cost-effectiveness.
Read More
T-6775
Depok : FKM-UI, 2023
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Santi Purna Sari; Promotor: Budi Hidayat; Kopromotor: Mardiati Nadjib, Pradana Soewondo; Penguji: Ratu Ayu Dewi Sarika, Hasbullah Thabrany, Retnosari Andrajati
Abstrak:
Diabetes melitus sebagai penyakit kronis dengan prevalensi tinggi, memerlukan biaya besar sehingga menjadi masalah kesehatan masyarakat utama di seluruh dunia. Terapi kombinasi metformin dengan obat lini kedua semakin meningkat saat ini terutama dengan golongan obat baru seperti penghambat dipeptidil peptidase-4 (DPP-4i). Peningkatan penggunaan obat baru yang lebih mahal seiring dengan peningkatan insiden diabetes melitus tipe 2, secara signifikan berdampak terhadap belanja kesehatan suatu negara, termasuk Indonesia. Penelitian terkait efektivitas biaya terapi kombinasi metformin-DPP4i dan metformin+sulfonilurea selayaknya tersedia di Indonesia, mengingat data biaya dan efektivitas sangat ideal jika menggunakan data primer dari negara sendiri. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi efektivitas biaya terapi kombinasi metformin-DPP4i dan metformin+sulfonilurea pada pasien diabetes melitus tipe 2. Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan data dari rekam medis dan sistem informasi rumah sakit. Sampel penelitian terdiri dari 60 pasien diabetes melitus tipe 2 rawat jalan yang mendapatkan terapi kombinasi metformin+DPP4i dan 30 pasien metformin+sulfonilurea periode Januari 2018-Juni 2019. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan efektivitas terapi kombinasi dalam pencapaian HbA1c<7% tanpa hipoglikemia sebesar 36,6% dengan perbedaan total biaya terapi Rp.2.340.768, sehingga diperoleh Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER) sebesar Rp.63.955/1% efektivitas. Analisis multivariat dengan regresi logistik menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh signifikan terhadap efektivitas tersebut adalah durasi dan komplikasi setelah dikontrol oleh variabel pekerjaan, pola konsumsi dan indeks masa tubuh, dan penggunaan antidiabetik oral lainnya. Model Markov dibangun berdasarkan progresivitas penyakit diabetes melitus dengan time horizon 25 tahun, sehingga diperoleh hasil bahwa penggunaan terapi metformin+DPP-4i memberikan tambahan tahun hidup berkualitas yang disesuaikan (QALY) selama 2,29 tahun. Terapi kombinasi metformin+DPP4i cost effective untuk pasien diabetes melitus tipe 2 dengan nilai ICER Rp.24.948.213/QALY dibawah threshold Rp.172.282.122. Perlunya kebijakan di tingkat Kementerian dan Lembaga untuk mendukung pelaksanaan studi evaluasi ekonomi menggunakan real world data sehingga menjamin akses data yang berkualitas

Diabetes melllitus is one of the most prevalent and costly chronic diseases globally, thereby being a major public health problem worldwide. The combination of metformin with a second-line treatment regimen is increasing, in particular with newer drug - Dipeptidyl peptidase-4 inhibitors (DPP-4i). The choice of high cost treatment regimen and the incidence of type-2 diabetes mellitus (T2DM) impose an economic burden on national health expenditure worldwide, including Indonesia. Thus, a cost-effectiveness evidence for the use of Metformin+DPP-4i should be conducted in Indonesia, considering data collection from our own country and in comparison with the combination use of Metformin + Sulfonylurea. This study assessed the cost-effectiveness of dipeptidyl peptidase-4 inhibitors compared to sulfonylureas in combination with metformin in patients with T2DM. This retrospective cohort study utilized data from medical records and hospital information system. Statistical analysis comparing those treatments was then performed utilising multivariate regression and Markov models. 60 outpatients with T2DM and a filled prescription for a combination treatment of either a DPP-4 inhibitor or 30 a sulfonylurea together with metformin during the time period January 2018 to end of June 2019 were identified. Of the 90 patients, 36,6% achieved endpoint of an HbA1c <7% without hypoglycemia, calculating incremental cost of Rp.2,340,768. Thus, the incremental cost-effectiveness ratio (ICER) was Rp.63,955/1% effectiveness. When applying logictic regression analysis, the study revealed that variables associated with the effectiveness included duration of diabetes and diabetes-related complications correlating with other factors such as occupation, dietary patterns, body mass index and others oral antidiabetic. A Markov model was constructed with a 25-year time horizon observing disease progress status. Therefore, metformin+DPP-4i therapy would provide an additional 2.29 years of quality adjusted life years (QALY). Metformin + DPP4i combination therapy is cost effective for type 2 diabetes mellitus patients with an ICER of Rp.24,948,213/QALY below the threshold of Rp.172,282,122. Requirement of policy at Ministry or Institution level to ensure proper quality data access will help carry out economic evaluation research using real world data.
Read More
D-466
Depok : FKM-UI, 2022
S3 - Disertasi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Andreas Wijaya; Pembimbing: Wachyu Sulistiadi; Penguji: Ede Surya Darmawan, Mardiati Nadjib, Melvin Lukito, Kalsum Komaryani
Abstrak:
Latar Belakang: Siloam Hospitals Kupang, sebagai rumah sakit swasta dengan layanan unggulan urologi, mampu melakukan berbagai tindakan pemecahan batu ginjal yaitu, Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL), Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL), dan Retrograde Intrarenal Surgery (RIRS). Namun, tingginya jumlah pasien yang menjalani tindakan ESWL berulang lebih dari 1 kali setiap bulan, menimbulkan pertanyaan penting bagi manajemen rumah sakit terkait efektivitas biaya dari setiap prosedur yang tersedia. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektifitas biaya dari beberapa tindakan pemecahan batu ginjal di Siloam Hospitals Kupang. Metode: Penelitian dilakukan terhadap data 3 tindakan pemecahan batu ginjal selama periode September 2024 – November 2024 dengan mengambil seluruh sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi pada periode tersebut. Selanjutnya sampel dianalisis dengan analisis biaya yang membandingkan Average Cost Effectiveness Ratio (ACER) dan Incremental Cost Effectivenes Ratio (ICER) antara setiap tindakan terhadap pasien batu ginjal. Data primer didapatkan melalui kuesioner dan data sekunder dari laporan biaya rumah sakit serta rekam medis pasien. Pengukuran efektifitas dilakukan dengan menggabungkan antara indikator bebas batu, skala nyeri, durasi rawat inap, serta tingkat komplikasi. Hasil: Tindakan RIRS memiliki tingkat efektivitas yang paling baik dengan skor total 53,3%, nilai ACER sebesar Rp36.978.877. Diikuti oleh PCNL dengan efektivitas 20% degan ACER Rp80.940.986, dan ESWL dengan efektivitas 12,5% dengan ACER Rp16.268.591. Bila ESWL digantikan dengan RIRS akan memberikan nilai ICER Rp43.429.793, sedangkan bila digantikan dengan PCNL maka akan memberikan nilai ICER Rp189.360.602.  Kesimpulan: Tindakan RIRS adalah tindakan yang paling efektif diikuti oleh PCNL, dan ESWL memiliki efektifitas yang paling rendah. Jika ESWL diganti dengan RIRS maka biaya yang dibutuhkan akan lebih rendah dibandingkan bila diganti dengan PCNL. Jika dibandingkan dengan tarif klaim dari BPJS Kesehatan, maka hanya ESWL yang masih sesuai dengan nilai tarif yang disediakan oleh BPJS Kesehatan. Meskipun demikian RIRS masih bisa dilakukan untuk pasien dengan jaminan BPJS Kesehatan dengan catatan perlu dilakukan efisiensi dari sisi biaya alat flexible urethroscope, biaya dokter, dan biaya sewa gedung.

Background: Siloam Hospitals Kupang, as a private hospital with a distinguished urology service, can perform various kidney stone treatment procedures, including Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL), Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL), and Retrograde Intrarenal Surgery (RIRS). However, the high number of patients undergoing repeated ESWL procedures more than once per month has raised a critical question for hospital management regarding the cost-effectiveness of each available treatment option. Objectives: This study aims to analyze the cost-effectiveness of various kidney stone removal procedures at Siloam Hospitals Kupang. Methods: This study was conducted using data from three kidney stone treatment procedures during the period of September 2024 to November 2024 by including all samples that met the inclusion and exclusion criteria within that timeframe. The samples were then analyzed using a cost analysis approach, comparing the Average Cost-Effectiveness Ratio (ACER) and Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER) among the procedures for kidney stone patients. Primary data were collected through questionnaires, while secondary data were obtained from hospital billing reports and patients’ medical records. Effectiveness was measured by combining multiple indicators, including stone-free status, pain scale, length of hospital stay, and complication rate. Results: RIRS demonstrated the highest level of effectiveness with a total score of 53,3% and an ACER of Rp36.978.877. This was followed by PCNL, with an effectiveness of 20,0% and an ACER of Rp80.940.986, and ESWL, which had the lowest effectiveness at 12,5% but the lowest ACER at Rp16.268.591. Replacing ESWL with RIRS resulted in an ICER of Rp43.429.793, whereas replacing it with PCNL led to a significantly higher ICER of Rp189.360.602. Conclusion: RIRS was found to be the most effective procedure, followed by PCNL, while ESWL had the lowest level of effectiveness. When ESWL is substituted with RIRS, the additional cost required is lower compared to substituting it with PCNL. In comparison to the reimbursement tariffs provided by BPJS Kesehatan, only ESWL remains within the acceptable claim limit. Nevertheless, RIRS may still be performed for patients under BPJS Kesehatan coverage, provided that cost efficiencies are implemented, particularly in the use of flexible urethroscope devices, physician fees, and facility rental charges.
Read More
B-2528
Depok : FKM-UI, 2025
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Medita Ervianti; Pembimbing: Adang Bachtiar; Penguji: Kurnia Sari, Mardiati Nadjib, Jeanne Uktolseja, Celesnius Eigya Munthle
Abstrak: Abstrak
Kecacatan merupakan salah satu indikator beban penyakit kusta. Risiko kecacatan akibat kusta tidak hanya terjadi pada kasus baru kusta, tetapi juga selama pengobatan dan setelah selesai pengobatan. Metode pengamatan berperan untuk mengendalikan tingkat cacat pada penderita yang telah selesai pengobatan. Metode pengamatan pasif diterapkan di Indonesia sejak tahun 1982. Pada tahun 2009, metode pengamatan semi aktif diterapkan di Kabupaten Pasuruan. Belum diketahui metode pengamatan yang lebih efektif biaya. 
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas biaya antara metode pengamatan pasif dan metode pengamatan semi aktif setelah selesai pengobatan kusta dalam pengendalian tingkat cacat. Efektivitas dan biaya pada masing-masing metode dihitung dan dilihat berapa rasio efektivitas biaya dalam pengendalian tingkat cacat. Hubungan faktor-faktor seperti umur, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, tingkat ekonomi, tipe kusta, riwayat reaksi, pencegahan cacat, perawatan diri dengan pengendalian tingkat cacat serta faktor apa yang paling dominan juga diteliti. Desain penelitian adalah cross sectional. 
Hasil penelitian menunjukkan metode pengamatan semi aktif lebih efektif biaya dibandingkan dengan metode pengamatan pasif. Berdasarkan hasil analisis bivariat, terdapat hubungan antara pencegahan cacat dan perawatan diri dengan pengendalian tingkat cacat. Sedangkan hasil multivariat menyatakan perawatan diri sebagai faktor yang mempengaruhi. 
Disability is one of indicator of the leprosy burden. The risk of disability due to leprosy, not only in new cases of leprosy, but also during treatment and after release from treatment. Surveillance is one of method to control level of disability in patients who had completed treatment. Passive surveillance implemented in Indonesia since 1982. In 2009, the semi-active surveillance applied in Pasuruan. Not yet known which surveillance is more cost-effective. 
This study aims to analyze the cost-effectiveness of the passive and semi-active surveillance after release from leprosy treatment in controlling the level of disability. The effectiveness and cost of each method was calculated and seen the cost-effectiveness ratio to the control of the level of disability. Relationship of factors such as age, education level, knowledge level, economic level, type of leprosy, history of reactions, defect prevention, self-care by controlling the level of disability and what is the most dominant factor is also studied. The study design was cross-sectional. 
The results showed semi active surveillance more cost-effective than passive surveillance. Based on the results of the bivariate analysis, there is a relationship between defect prevention and self-care by controlling the level of disability. While the results of the multivariate declared self-care as a affected factor.
Read More
T-3703
Depok : FKM-UI, 2013
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
:: Pengguna : Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
Library Automation and Digital Archive