Hasil Pencarian :: Kembali

Ditemukan 39176 dokumen yang sesuai dengan query ::  Simpan CSV
cover
Joyce Mangoma; Pembimbing: Wachyu Sulistiadi; Penguji: Helen Andriani, Apt Riswandy Wasir, S Farm,MPH, PhD
Abstrak:
Latar belakang Penggunaan obat tradisional (TM) tersebar luas secara global, sehingga menimbulkan tantangan regulasi Afrika memiliki sejarah yang kaya akan TM, yang penting untuk perawatan kesehatan. Di Binga, Zimbabwe, TM merupakan bagian integral dari kehidupan sosial dan budaya. Konteks geografis dan ekonomi Binga mempengaruhi praktik TM. Undang-Undang Pengendalian Obat dan Zat Terkait (MASCA) berdampak pada kesehatan ibu, selaras dengan SDGs 3 dan 5. Studi ini menilai dampak MASCA terhadap penggunaan obat-obatan terlarang dan hasil kesehatan ibu di Binga, menawarkan wawasan tentang kerangka peraturan dan praktik kesehatan berkelanjutan. Objektif Studi ini menilai dampak Undang-Undang Pengendalian Obat dan Zat Terkait (MASCA) terhadap penggunaan obat tradisional dan hasil kesehatan ibu di Binga, Zimbabwe. Secara khusus, makalah ini mengkaji aksesibilitas, persepsi, proses pengambilan keputusan, dan pengaruh sosial budaya terkait pengobatan tradisional berdasarkan peraturan MASCA, mengevaluasi hasil kesehatan ibu termasuk komplikasi kehamilan, kematian ibu, dan hasil kelahiran. Metode Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, termasuk wawancara, tinjauan dokumen, dan observasi etnografi, untuk menilai dampak MASCA terhadap penggunaan obat tradisional dan hasil kesehatan ibu di Binga, Zimbabwe. Pengambilan sampel yang bertujuan dan bersifat bola salju akan memastikan keterwakilan peserta yang beragam. Data akan dianalisis menggunakan analisis tematik untuk memberikan rekomendasi kebijakan berbasis bukti. Hasil Studi ini mengeksplorasi dampak MASCA terhadap layanan kesehatan ibu tradisional di Binga. Temuan utama mencakup peningkatan keamanan dan kualitas namun berkurangnya ketersediaan dan keterjangkauan penyembuh karena peraturan. Persepsi yang beragam dari para praktisi mempengaruhi aksesibilitas layanan. Wanita hamil menunjukkan pandangan yang beragam, menyeimbangkan keamanan dan pembatasan. Faktor budaya, ekonomi, dan peraturan mempengaruhi keputusan antara layanan kesehatan tradisional dan modern. MASCA bertujuan untuk meningkatkan hasil namun menimbulkan tantangan dalam aksesibilitas dan penerimaan budaya. Pengamatan etnografis menyoroti interaksi yang kompleks antara praktik tradisional, kesehatan ibu, dan persepsi masyarakat. Kesimpulan Studi ini menyoroti tingginya angka kematian ibu di Distrik Binga, yang diperburuk oleh dampak buruk Penggunaan obat tradisional dan kesenjangan kesehatan lokal, meskipun terjadi penurunan secara nasional. Laporan ini merekomendasikan pendekatan yang seimbang yang mencakup dukungan keuangan dan untuk dukun, peraturan yang peka terhadap budaya, dan model layanan kesehatan yang terintegrasi. Strategi-strategi ini bertujuan untuk meningkatkan hasil kesehatan ibu dan menyelaraskan dengan target SDG 3.1. Mengintegrasikan praktik tradisional dengan layanan kesehatan modern, pemantauan berkelanjutan, dan membina kolaborasi dapat memastikan perawatan ibu yang aman, efektif, dan menghormati budaya. Kata Kunci: Obat tradisional, Medicines and Allied Substances Control Act (MASCA), Hasil kesehatan ibu, Aksesibilitas, Kerangka peraturan

Background Traditional medicine (TM) use is widespread globally, posing regulatory challenges. Africa has a rich history of TM, essential for healthcare. In Binga, Zimbabwe, TM is integral to social and cultural life. Binga's geographical and economic context influences TM practices. The Medicines and Allied Substances Control Act (MASCA) impacts maternal health, aligning with SDGs 3 and 5. This study assesses MASCA's effects on TM use and maternal health outcomes in Binga, offering insights into regulatory frameworks and sustainable health practices. Objective This study assesses the impact of the Medicines and Allied Substances Control Act (MASCA) on traditional medicine usage and maternal health outcomes in Binga, Zimbabwe. Specifically, it examines accessibility, perceptions, decision-making processes, and socio-cultural influences related to traditional medicine under MASCA regulations, evaluating maternal health outcomes including pregnancy complications, maternal mortality, and birth outcomes. Method This study uses qualitative- descriptive method, including interviews, document reviews, and ethnographic observations, to assess the impact of MASCA on traditional medicine usage and maternal health outcomes in Binga, Zimbabwe. Purposeful and snowball sampling will ensure diverse participant representation. Data will be analysed using thematic analysis to inform evidence-based policy recommendations. Results The study explores MASCA's impact on traditional maternal healthcare in Binga. Key findings include improved safety and quality but reduced healer availability and affordability due to regulations. Practitioners' mixed perceptions affect service accessibility. Pregnant women show diverse views, balancing safety and restrictions. Cultural, economic, and regulatory factors influence decisions between traditional and modern healthcare. MASCA aims to enhance outcomes but poses challenges in accessibility and cultural acceptance. Ethnographic observations highlight the complex interplay of traditional practices, maternal health, and community perceptions. Conclusion The study highlights the high maternal mortality ratio in Binga District, exacerbated by the adverse impact of traditional medicine use and localized health disparities, despite national declines. It recommends a balanced approach that includes financial and educational support for traditional healers, culturally sensitive regulations, and integrated healthcare models. These strategies aim to improve maternal health outcomes and align with SDG 3.1 targets. Integrating traditional practices with modern healthcare, continuous monitoring, and fostering collaboration can ensure safe, effective, and culturally respectful maternal care. Keywords: Traditional medicine, Medicines and Allied Substances Control Act (MASCA),Maternal health outcomes, Accessibility ,Regulatory frameworks
Read More
T-7026
Depok : FKM UI, 2024
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Emma Rahmadhanti; Pembimbing: Anhari Achadi; Penguji: Wachyu Sulistiadi, Suprijanto Rijadi, Nur Ratih Purnama, Cici Sri Suningsih
Abstrak: Pembaharuan izin harus dilakukan oleh industri obat tradisional paling lama 2 (dua) tahun sejak diundangkan (23 Februari 2012) sesuai dengan Permenkes Nomor 006 tahun 2012. Capaian pembaharuan izin IOT di Propinsi DKI Jakarta hingga Maret 2015 belum optimal yaitu sebesar 36,36%. Untuk itu penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi kendala dalam implementasi pembaharuan izin IOT di Propinsi DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk menggali informasi secara mendalam dari 4 (empat) IOT pada bulan April-Juni 2015. Hasil penelitian menunjukkan tujuan kebijakan telah dipahami oleh pelaksana sehingga memiliki tingkat kepatuhan cukup baik. Kendala yang dihadapi dalam CPOTB terkait sumber daya finansial, karena membutuhkan investasi yang cukup besar untuk pemenuhannya. Penetapan klaster terhadap kemampuan pemenuhan CPOTB bagi IOT yang terdaftar serta pendampingan dalam memenuhi seluruh persyaratan diharapkan dapat menjadi solusi bagi permasalahan pembaharuan izin IOT. Kata kunci : implementasi, industri obat tradisional, pembaharuan izin
Read More
T-4544
Depok : FKM-UI, 2015
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Aryani Dwi Hartanti; Pembimbing: Amal Chalik Sjaaf; Penguji: Dumilah Ayuningtyas, Purnawan Junadi, Abdul Hafiz, Ahadi Wahyu Hidayat
Abstrak:
Penelitian ini ini bertujuan untuk melakukan analisis dan strategi mitigasi risiko, sampai dengan memberikan alternatif kebijakan dalam penyelenggaraan kesehatan haji terhadap obat dan perbekalan kesehatan. Dinamika penyelenggaraan kesehatan haji mempengaruhi rangkaian penyelenggaraan mulai dari di Indonesia (pra operasional), di Arab Saudi (operasional), dan kembali ke Indonesia (pasca operasional). Hasil mitigasi risiko dilakukan analisis untuk mendapatkan alternatif kebijakan terhadap faktor risiko penyelenggaraan kesehatan haji terhadap jemaah serta obat dan perbekalan kesehatan. Metode penelitian yang dilakukan menggunakan metode penelitian kualitatif berdasarkan makna. Desain penelitian menggunakan metode mitigasi risiko Gray and Larson yang terbagi ke dalam 4 tahapan yaitu tahap identifikasi risiko, penilaian risiko, pengembangan risiko, dan mengontrol respon risiko. Hasil penelitian menggunakan metode Risk Breakdown Structur (RBS) diperoleh 20 faktor risiko yang dikelompokkan ke dalam masa pra operasional, operasional, dan pasca operasional. Dari risiko yang diidentifikasi dilakukan analisis dan matriks yang mengkategorikan status risiko yaitu level 5 (sangat tinggi) sebanyak 8 risiko, level 4 (tinggi) 5 risiko, level 3 (sedang) 6 risiko, dan level 2 (rendah) 1 risiko. Masing-masing risiko dilakukan mitigasi sampai dengan alternatif penanganan risiko. Beberapa masukan dan saran diberikan kepada Kementerian Kesehatan (Pusat Kesehatan Haji, Direktorat Pengelolaan dan Pelayanan Kefarmasian), dan Kementerian Agama sebagai alternatif kebijakan di masa mendatang.

This research aims to carry out risk analysis and mitigation strategies, up to providing alternative policies in organizing Hajj health regarding medicines and health supplies. The dynamics of Hajj health management influence the series of activities starting from Indonesia (pre-operational), Saudi Arabia (operational) and returning to Indonesia (post-operational). The results of risk mitigation are analyzed to obtain alternative policies regarding the risk factors for organizing Hajj health care for pilgrims as well as medicines and health supplies. The research method used was a qualitative research method based on meaning. The research design uses the Gray and Larson risk mitigation method which is divided into 4 stages, namely risk identification, risk assessment, risk development and risk response control. The results of research using the Risk Breakdown Structure (RBS) method obtained 20 risk factors which were grouped into pre-operational, operational and post-operational periods. From the identified risks, an analysis and matrix is carried out which categorizes the risk status, namely level 5 (very high) with 8 risks, level 4 (high) with 5 risks, level 3 (medium) with 6 risks, and level 2 (low) with 1 risk. Each risk is mitigated through alternative risk management. Several inputs and suggestions were given to the Ministry of Health (Hajj Health Center, Directorate of Management and Pharmaceutical Services), and the Ministry of Religion as alternative policies in the future.
Read More
T-7149
Depok : FKM UI, 2024
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Misas Muchlas Hamid; Pembimbing: Ede Surya Darmawan; Penguji: Vetty Yulianty Permanasari, Aliyah Cendanasari, Yenny Sulistyowati
Abstrak:
Penerbitan Surat Izin Praktik (SIP) bagi dokter spesialis merupakan aspek krusial dalam menjamin legalitas dan mutu pelayanan kesehatan. Terbitnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan membawa perubahan signifikan terhadap kebijakan perizinan, salah satunya adalah penghapusan kewajiban memperoleh rekomendasi dari organisasi profesi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesesuaian penerapan kebijakan pembuatan SIP dokter spesialis di DKI Jakarta dengan peraturan terbaru tersebut. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain studi deskriptif komparatif melalui wawancara mendalam terhadap informan dari DPR RI, Dinas Kesehatan, DPMPTSP, rumah sakit, dan dokter spesialis di DKI Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih terdapat ketidaksesuaian antara norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) dengan pelaksanaan di lapangan, terutama dalam aspek komunikasi kebijakan, keterbatasan pemahaman dari sumber daya manusia dan teknologi informasi. Selain itu, masih terjadi kebingungan terkait perubahan regulasi dan lemahnya sosialisasi kepada tenaga medis. Dari sisi output, implementasi kebijakan belum sepenuhnya efektif dalam memastikan percepatan dan efisiensi layanan perizinan, meskipun proses digitalisasi telah mulai diterapkan. Kesimpulannya, penerapan kebijakan pembuatan SIP dokter spesialis di DKI Jakarta pasca terbitnya UU No. 17 Tahun 2023 masih belum sepenuhnya sesuai dengan harapan regulasi dan membutuhkan perbaikan dari aspek struktur birokrasi, dukungan teknologi, dan peningkatan koordinasi lintas sektor.

The issuance of a Practice License (SIP) for medical specialists is a crucial aspect in ensuring the legality and quality of healthcare services. The enactment of Law Number 17 of 2023 on Health has brought significant changes to licensing policies, one of which is the elimination of the requirement to obtain recommendations from professional organizations. This study aims to analyze the conformity of the implementation of SIP issuance policy for medical specialists in DKI Jakarta with the new regulation. The study uses a qualitative approach with a comparative descriptive study design through in-depth interviews with informants from the House of Representatives (DPR RI), the Health Office, One-Stop Integrated Service (DPMPTSP), hospitals, and medical specialists in Jakarta. The results show that discrepancies still exist between the norms, standards, procedures, and criteria (NSPK) and their implementation in the field, particularly in aspects of policy communication, limited understanding among human resources, and inadequate information technology systems. Furthermore, confusion persists regarding regulatory changes and weak socialization efforts toward medical personnel. From the output perspective, policy implementation has not yet been fully effective in ensuring the acceleration and efficiency of licensing services, even though digitalization processes have begun to be adopted. In conclusion, the implementation of the SIP issuance policy for medical specialists in DKI Jakarta following the enactment of Law No. 17 of 2023 has not yet fully aligned with regulatory expectations and requires improvements in bureaucratic structure, technological support, and enhanced inter-sectoral coordination.

Read More
T-7355
Depok : FKM UI, 2025
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Maya Masita; Pembimbing: Helen Andriani; Penguji: Adang Bachtiar, Ascobat Gani, Sito Hatmoko, Pitut Aprilia Savitri
Abstrak:
Tuberkulosis masih menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat. Pelaksanaan program terus dilakukan demi tercapainya Eliminasi Tuberkulosis tahun 2030. Namun demikian indikator program masih belum mencapai target, salah satunya angka tuberkulosis resistensi obat. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 67 Tahun 2016 dan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis menyebutkan bahwa Strategi Nasional Penanggulangan Tuberkulosis salah satunya dengan pelibatan masyarakat dan komunitas. Penelitian bertujuan untuk menganalisis implementasi kebijakan penanggulangan Tuberkulosis di Kabupaten Banyumas dalam pengendalian Tuberkulosis Resisten Obat melalui peran kader dan organisasi kemasyarakatan pegiat tuberkulosis yang ditinjau menggunakan teori implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horn (1975). Penelitian ini merupakan penelitian analitik kualitatif. Informan ditentukan dengan menggunakan purposive sampling. Informan penelitian antara lain kader puskesmas, kader tuberkulosis resisten obat (patient support), penanggung jawab program tuberkulosis puskesmas, koordinator bidang P2PM Dinas Kesehatan dan komunitas Yayasan Mentari Sehat Indonesia (MSI). Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder berupa hasil wawancara mendalam dan telaah dokumen. Diperoleh hasil penelitian bahwa pada standar dan ukuran kebijakan telah dipahami oleh pelaksana. Pemahaman ini didukung komunikasi yang jelas dan berkelanjutan antara Dinas Kesehatan, puskesmas dan komunitas MSI. Disposisi ditunjukan dengan sikap positif berupa komitmen bersama dan Rencana Aksi Daerah. Kader dan komunitas berkontribusi dalam penemuan kasus, pendampingan pengobatan, edukasi dalam upaya pencegahan, dan dukungan sosial ekonomi serta mengurangi stigma. Implementasi kebijakan program penanggulangan tuberkulosis telah berjalan, namun belum didukung anggaran yang memadai, terbatasnya jumlah kader, kurangnya komitmen antar organisasi perangkat daerah serta masih adanya stigma di masyarakat.

Tuberculosis remains a threat to public health. Program implementation continues in order to achieve Tuberculosis Elimination in 2030. However, the program indicators still have not reached the target, one of which is the rate of drug-resistant tuberculosis. Regulation of the Minister of Health No. 67/2016 and Presidential Regulation No. 67/2021 on Tuberculosis Control states that the National Strategy for Tuberculosis Control includes community involvement. The study aims to analyze the implementation of the Tuberculosis Control Policy in Banyumas Regency in controlling drug-resistant tuberculosis through the role of cadres and community organizations of tuberculosis activists using Van Meter and Van Horn's (1975) policy implementation theory. This research is a qualitative analytic research. Informants were determined using purposive sampling. The research informants included primary health care cadres, drug-resistant tuberculosis cadres (patient support), the person in charge of the primary health care tuberculosis program, the coordinator of the P2PM field of the Health Office and the Mentari Sehat Indonesia Foundation (MSI) community. The data collected were primary data and secondary data in the form of in-depth interviews and document review. The results showed that the policy standards and measures were understood by the implementers. This understanding is supported by clear and continuous communication between the Health Office, primary health care and the MSI community. Disposition is shown by positive attitudes in the form of joint commitments and Regional Action Plans. Cadres and communities contribute to case finding, treatment assistance, education in prevention efforts, and socioeconomic support and reduce stigma. Implementation of the TB control program policy has been running, but has not been supported by an adequate budget, limited number of cadres, lack of commitment among regional apparatus organizations, and the persistence of stigma in the community
Read More
T-6861
Depok : FKM-UI, 2024
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Sulastri; Pembimbing: Wachyu Sulistiadi; Penguji: Helen Andriani, Vetty Yulianty Permanasari, Pamian Siregar, Ayu Amalia Rachman
Abstrak:
Pengembangan bahan baku obat dalam negeri mutlak diperlukan untuk mencapai kemandirian sektor farmasi Indonesia. Pemerintah telah mengeluarkan Inpres Nomor 6 Tahun 2016 guna mewujudkan hal tersebut dengan mendorong kerja sama lintas sektor. Namun demikian, hingga saat ini impor bahan baku obat masih sangat tinggi. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi Inpres tersebut, khususnya pelaksanaan tugas masing-masing Kementerian/Lembaga terkait. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan memanfaatkan data hasil wawancara mendalam dan telaah dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi Inpres Nomor 6 Tahun 2016 dikatakan belum berhasil (unsuccessful implementation), masih terdapat kesenjangan antara tujuan dan capaian kebijakan. Dimensi kebijakan, pengoperasian, serta perencanaan implementasi dan sumber daya belum cukup baik dalam mendukung implementasi Inpres, meskipun dimensi lain, yaitu kepemimpinan, pemangku kepentingan, dan umpan balik sudah cukup baik. Selain itu, masih terdapat sejumlah dukungan kebijakan yang diperlukan industri farmasi dalam rangka pengembangan bahan baku obat. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan pada dimensi-dimensi yang belum cukup baik dalam mendorong keberhasilan implementasi Inpres, peninjauan terhadap kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan Kementerian/Lembaga terkait dan/atau penyusunan kebijakan baru yang diperlukan.

The development of local drug raw materials is urgently needed to achieve the independence of Indonesia's pharmaceutical sector. The government has issued Presidential Instruction No. 6/2016 to realize this by encouraging cross-sector collaborations. However, the import of drug raw materials is still very high. For this reason, this study aims to analyze the implementation of the Presidential Instruction, particularly the execution of each Ministry/Agency's responsibilities. The research was conducted using a qualitative approach by utilizing data from in-depth interviews and document review. The research showed that the implementation of Presidential Instruction No. 6/2016 was unsuccessful; there is still a gap between policy objectives and achievements. The dimensions of policy, operations, and implementation planning and resources are not good enough to support the implementation of the Presidential Instruction, although the other dimensions such as leadership, stakeholders, and feedback are quite good. Other than that, there are several policy supports that the pharmaceutical industry still needed in order to develop drug raw materials. Therefore, it is necessary to improve the dimensions that are not good enough to encourage the successful implementation of the Presidential Instruction, review the policies that have been issued by related Ministries/Institutions and/or develop the new policies as needed.
Read More
T-6869
Depok : FKM-UI, 2024
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Iyana Putri; Pembimbing: Adang Bachtiar; Penguji: Wahyu Sulistiadi, Ascobat Gani, Irene Adyatmaka, Nana Mulyana
Abstrak: Penurunan pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi pada masa pandemi COVID-19 ini akan berdampak pada penurunan penggunaan bahan kesehatan pada prakter dokter gigi. Diperlukan strategi dan kebijakan dalam pemasaran produk bahan kesehatan pada pandemi COVID-19. Tujuan penelitian adalah menganalisa manfaat media sosial dalam loyalitas penggunaan bahan kesehatan pada praktek dokter gigi. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain cross-sectional. Besar sampel dalam penelitian ini adalah 441 orang. Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner online. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden dalam grup whatsapp (80,9%) adalah promoters. Sedangkan pada responden yang bukan dalam grup whatsapp, hanya sebagian kecil responden (41,6%) yang merupakan promoters. Hasil uji statistik menggunakan uji chi-square ditemukan bahwa p-value<0,001. Artinya, terdapat hubungan yang signifikan antara kelompok media sosial dengan loyalitas pelanggan. Dari faktor pemanfaatan media sosial antara sebelum dan sesudah COVID-19, NPS responden pada kelompok grup whatsapp sesudah pandemi COVID-19 jauh lebih tinggi dari sebelum pandemi COVID-19. Sedangkan, NPS responden yang bukan grup whatsapp sama antara sebelum dan sesudah pandemi COVID-19. Hal ini menunjukkan bahwa dalam grup whatsapp terdapat lebih banyak loyal customer yang akan terus membeli dan merekomendasikan produk
The decrease in the utilization of dental health services during the COVID-19 pandemic will have an impact on the use of health materials. Strategies and policies are needed in the marketing of health products during the COVID-19 pandemic. This study used to analyze the benefits of social media in the loyalty of the use of health materials in dental practices. This study used a cross-sectional design, consist of 441 respondent. Data was collected through an online questionnaire. The results showed that the majority of respondents in the WhatsApp group (80.9%) were promoters. Meanwhile, for respondents who are not in the WhatsApp group, only a small proportion of respondents (41.6%) are promoters. The results of the chi-square test found that the p-value <0.001. This means that there is a significant relationship between social media groups and customer loyalty. From the factor of using social media between before and after COVID-19, the NPS of respondents in the WhatsApp group after the COVID-19 pandemic was higher than before the COVID-19 pandemic. Meanwhile, the NPS of respondents who are not in the WhatsApp group are the same. In the WhatsApp group, there are more loyal customers who will continue to buy and recommend products
Read More
T-6304
Depok : FKM-UI, 2022
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Patricia Soetjipto; Pembimbing: Wiku Bak Bawono Adisasmito; Penguji: Pujiyanto, Ahari Achadi, Rohani Budi Prihatin, Widyastuti Wibisana
Abstrak:

Abstrak

Pembentukan kebijakan pengendalian dampak tembakau dipengaruhi oleh faktor diantaranya kesehatan, ekonomi, hukum dan politik. Keempat faktor tersebut merupakan faktor yang saling mempengaruhi didalam membentuk kebijakan pengendalian dampak tembakau. Faktor Kesehatan merupakan faktor yang paling utama dalam pembentukan kebijakan ini. Tingginya prevalensi perokok di Indonesia, perokok dewasa pria maupun wanita, dan terutama perokok remaja dan anak-anak. Rokok menyebabkan sakit dan kematian. Faktor ekonomi tidak seluruhnya mempengaruhi, ekonomi yang terkait beban sakit dan mati saja yang merupakan faktor yang mempengaruhi bagi dibentukan kebijakan ini. Ekonomi terkait pertanian dan industri diatur dalam kebijakan yang berbeda dengan kebijakan pengendalian tembakau. Faktor hukum merupakan faktor yang harus ada dalam memberikan dasar hukum, payung hukum dan menjadi hukum positif yang ditaati dan melindungi kepentingan kesehatan masyarakat dari dampak buruk rokok. Sedangkan faktor politik merupakan faktor penentu dalam mewujudkan kebijakan pengendalian tembakau. Sedangkan faktor politik merupakan kunci bagi sebuah kebijakan untuk dapat diwujudkan menjadi hukum positif. Proses, persepsi dan komitmen dari pembentuk kebijakan merupakan faktor politik yang sangat mempengaruhi pembentukan kebijakan pengendalian dampak tembakau.


The making of policies on the control of Tobacco Effects on Health is affected by various factors, including health, economy, law and politics. Those four factors are mutually affecting in the making of policies on the control of tobacco effects. The health factor is the most dominant factor in this matter, including the high level of smokers? prevalence in Indonesia, adult male and female smokers, and especially teenage and child smokers. Cigarettes cause diseases and death. The economic factor does not entirely affect the policy making, only economic aspects which are related to the burden of illness and death are influential to the policy making. Economic aspects related to agriculture and industry are regulated by policies which are separated from the policies on tobacco control. The legal factor must exist in order to provide legal basis and legal umbrella, and will also become the positive law which must be complied with and will protect public health interest from the negative impacts of cigarettes. Whereas the political factor is a determining factor in realizing policies on tobacco control. The political factor is also a key factor for enabling a policy to become a positive law. The process, perception and commitment of the policy-makers constitute the political factors which greatly affect the making of policies on the control of tobacco effects.

Read More
T-3505
Depok : FKM-UI, 2012
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Yohani Satya Putri Liman; Pembimbing: Purnawan Junadi; Penguji: Dumilah Ayuningtyas, Pujiyanto, Muhammad Rais Haru, Hidayat Nuh Ghazali Djadjuli
Abstrak:
Filariasis limfatik masih menjadi tantangan kesehatan masyarakat di Indonesia, khususnya di wilayah endemis seperti Kecamatan Membalong, Kabupaten Belitung, yang telah memperoleh sertifikat eliminasi namun, angka mikrofilaria rate di beberapa wilayahnya tetap berada di atas ambang batas nasional. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) filariasis tahun 2023 di Kecamatan Membalong dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan desain studi kasus. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, dan telaah dokumen terhadap pelaksana program di dua Puskesmas serta Dinas Kesehatan. Analisis menggunakan model Donabedian diperkuat dengan pendekatan Indeks Kualitas Kebijakan (IKK) dari LAN, dan model Van Meter dan Van Horn untuk mengevaluasi aspek structure, process, serta output dan outcome berupa dampak. Hasil penelitian pada aspek structure menunjukkan bahwa kebijakan POPM filariasis di Kecamatan Membalong tergolong efektif sebagai dasar pelaksanaan program dan telah memenuhi indikator kualitas kebijakan menurut pendekatan IKK. Strategi pelaksanaan dinilai adaptif, ditunjukkan melalui penyesuaian waktu, pelaksanaan, sweeping serta pelibatan lintas sektor. Namun, terdapat kendala keterbatasan jumlah sumber daya manusia dan pencatatan logistik yang masih manual sehingga menimbulkan potensi risiko. Sarana prasarana dinilai memadai, dan dana kegiatan juga mencukupi kebutuhan, meskipun terdapat perbedaan dalam sistem penganggaran antar Puskesmas. Pada aspek process, Komunikasi dan koordinasi antar pemangku kepentingan sudah berjalan, namun perlu ditingkatkan sebab penting dalam dimensi process IKK yang turut menentukan kualitas implementasi kebijakan pelaksanaan POPM. Pendataan sasaran telah dilakukan secara detail, namun akurasinya masih dipengaruhi oleh mobilitas penduduk. Sosialisasi telah dilaksanakan, namun belum sepenuhnya menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Pemberian obat telah mengikuti petunjuk teknis, namun belum seluruh sasaran hadir dan mengonsumsi obat di pos pelayanan. Sweeping efektif meningkatkan cakupan, namun keterbatasan SDM dan waktu membuat pelaksanaannya belum optimal. Fleksibilitas sweeping menjadi indikator penting dalam proses IKK untuk menilai efektivitas kebijakan. Kejadian ikutan pasca POPM umumnya bersifat ringan dan telah tertangani, tetapi pelaporan dan pemantauan masih bersifat pasif. Monitoring dan evaluasi POPM sudah terstruktur, namun masih terkendala kepatuhan, pelaporan manual, dan kurangnya integrasi. Hal ini menunjukkan perlunya penguatan indikator IKK, terutama dalam aspek efektivitas, efisiensi, dan umpan balik pelaksanaan kebijakan. Dari aspek Output, Cakupan obat di Kecamatan Membalong tinggi, namun prevalensi mikrofilaria masih >1% di beberapa wilayah. Dalam IKK, keberhasilan dinilai dari konsumsi obat yang valid serta dampaknya, bukan hanya capaian angka. Jumlah obat yang digunakan telah sesuai dengan sasaran, tetapi ditemukan selisih antara obat yang didistribusikan dengan yang benar-benar dikonsumsi oleh masyarakat. Hasil survei darah jari menunjukkan angka MF rate di wilayah Puskesmas Simpang Rusa masih di atas 1%. Pada aspek Outcome menunjukkan bahwa POPM filariasis menurunkan kasus namun eliminasi belum tercapai di seluruh kecamatan. Kesimpulan penelitian ini menegaskan bahwa Implementasi POPM filariasis di Kecamatan Membalong didukung kebijakan yang kuat dan strategi adaptif, namun masih terkendala kekurangan SDM, pencatatan logistik manual, dan pemantauan minum obat yang belum optimal. Cakupan pemberian obat tinggi, tetapi eliminasi belum tercapai karena masih ada wilayah dengan MF rate di atas ambang batas. Temuan ini menegaskan perlunya penguatan SDM, sistem pencatatan, dan kolaborasi lintas sektor.  Dalam IKK, hal ini menunjukkan efektivitas kebijakan masih perlu evaluasi dan penyesuaian strategi agar eliminasi filariasis dapat dicapai secara berkelanjutan.

Lymphatic filariasis remains a public health challenge in Indonesia, especially in endemic areas such as Membalong Subdistrict, Belitung Regency, which has received elimination certification; however, the microfilaria rate in several regions still exceeds the national threshold. This study aims to analyze the implementation of the Mass Drug Administration (MDA) program for filariasis prevention in Membalong Subdistrict in 2023 using a qualitative approach and case study design. Data were collected through in-depth interviews and document reviews involving program implementers at two primary health centers (Puskesmas) and the District Health Office. The analysis applied the Donabedian model, reinforced with the Policy Quality Index (IKK) from LAN, and Van Meter and Van Horn’s implementation model to evaluate aspects of structure, process, as well as output and outcome in terms of program impact. The findings on the structural aspect indicate that the filariasis MDA policy in Membalong is effective as the program’s foundation and fulfills policy quality indicators according to the IKK approach. The implementation strategy is considered adaptive, shown by schedule adjustments, door-to-door sweeping, and cross-sectoral involvement. However, challenges remain, such as limited human resources and manual logistic recording, which pose potential risks. Facilities and infrastructure are generally adequate, and funding meets the needs, although there are differences in budgeting systems between health centers. In terms of process, communication and coordination among stakeholders are established, but need strengthening, as these are essential in the IKK process dimension, which also determines the quality of policy implementation. Target population data collection has been conducted in detail, though its accuracy is still affected by population mobility. Socialization activities have been carried out, but have not fully reached all community groups. Medicine distribution has followed technical guidelines, but not all targets have attended and consumed the drugs at service posts. Sweeping has effectively increased coverage, but human resource and time constraints have hindered optimal implementation. The flexibility of sweeping is an important indicator in the IKK process dimension for assessing policy effectiveness. Adverse events after MDA were mostly mild and well managed, but reporting and monitoring remain passive. Monitoring and evaluation are structured but still hampered by compliance issues, manual reporting, and lack of integration. This highlights the need to strengthen IKK indicators, especially in effectiveness, efficiency, and feedback in policy implementation. In terms of output, drug coverage in Membalong is high, but microfilaria prevalence remains above 1% in some areas. According to the IKK, success is measured not just by coverage numbers, but by valid drug consumption and real impact. The number of drugs used matches the target, but discrepancies remain between drugs distributed and those actually consumed. Blood survey results show that the MF rate in the Simpang Rusa health center area is still above 1%. The outcome aspect indicates that the MDA program has reduced cases but elimination has not yet been achieved throughout the subdistrict. The study concludes that MDA implementation in Membalong is supported by strong policy and adaptive strategies, but still faces barriers such as limited human resources, manual logistics recording, and suboptimal drug consumption monitoring. Coverage is high, but elimination has not been achieved, as some areas still have MF rates above the threshold. These findings underscore the need to strengthen human resources, data recording systems, and cross-sector collaboration. According to the IKK, this suggests that policy effectiveness still requires evaluation and strategic adjustment to achieve sustainable filariasis elimination.
Read More
T-7304
Depok : FKM UI, 2025
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Ari Sulandari; Pembimbing: Amal Chalik Sjaaf; Penguji: Anhari Achadi, Pujiyanto, Enggar Utari, Lia Susanti
T-4290
Depok : FKM UI, 2015
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
:: Pengguna : Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
Library Automation and Digital Archive