Ditemukan 31179 dokumen yang sesuai dengan query :: Simpan CSV
ABSTRAK Dalam rangka mengantisipasi mahalnya harga obat, Pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan Republik Indonesia, mewajibkan penulisan resep dan penggunaan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah melalui Permenkes RI No.085/Menkes/Per/I/1989 tentang kewajiban menuliskan resep dan/ atau menggunakan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah, yang ditetapkan sejak tanggal 28 Januad 1989. Agar upaya pemanfaatan obat generik ini dapat mencapai tujuan yang diinginkan, maka peresepan harus berdasarkan nama generik, bukan nama dagang, namun pada. kenyataannya penulisan resep obat generik tidak selalu dilakukan dengan tertib. Upaya pemasyarakatan obat generik harus mendapat dukungan dari semua pihak, karena dilihat dari aspek sosial maupun ekonomi, program ini mempunyai kendala yang cukup besar. Secara garis besar kendala ekonomi menyangkut kepentingan apotek, dokter, pabrik obat dan kendala sosial di pihak pasien yang belum memahami ani obat generik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mcngetahui gambaran dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pengimplementasian kebijakan penuiisan resep dan/ atau menggunakan obat generik di RSU Cilegon pada tahun 2007. Penelitian ini menggunakan penggabungan metode kuantitatif dan kualitatif, dengan menggunakan data primer yang diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam dengan informan, sedangkan data sekunder diperoleh melalui telaah dokumen dengan penelusuran resep obat generik pasien rawat jalan scjumlah 379 Iembar resep. Hasii pcnelitian secara kuantitatif menunjukkan bahwa secara umum pelaksanaan Permenkes RI No. 085/Menkes/Per/I/1989 belum sesuai dengan yang diharapkan. Prosentase penggunaan obat generik untuk pasien rawat jalan rata-rata baru mencapai 52 %. Hasil penelitian secara kualitatif menunjukkan bahwa Direktur, Komite Farmasi dan Terapi, dan lnstalasi Farmasi belum berperan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Permenkes RI No. 085/Menkes/Per/I/1989. Sosialisasi obat generik perlu ditingkatkan dengan melibatkan dokter maupun masyarakat, adanya metode yang mengatur pelaksanaan kebijakan tersebut, formularium yang secara periodik dievaluasi dan direvisi, dilaksanakannya supevisi, serta diberlakukannya mekanisme reward dan punishment.
Tesis ini membahas implementasi Peraturan Menteri Kesehatan No.HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang kewajiban menggunakan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Hasil penelitian pendahuluan menyatakan bahwa penggunaan obatgenerik di rumah sakit pemerintah pada tahun 2009 sebesar 65,31% dan 2010 sebesar 57,24%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Permenkes 068/2010 inibelum terimplemetasikan secara maksimal di rumah sakit pemerintah. Masih adakomunikasi yang belum efektif antara Kementerian Kesehatan, Direktur Rumah Sakit, Dokter dan Apoteker. Juga, dari hasil penelitian ini, disarankan bahwapemerintah harus lebih terintegrasi dalam melakukan sosialisasi dan mendukung implementasi Permenkes ini dengan melakukan dukungan terhadap faktor-faktoryang terkait dalam implementasi Permenkes 068/2010 ini. Termasuk melakukankomunikasi efektif terhadap Kementerian Dalam Negeri dalam mengimplementasikan Permenkes ini. Penghapusan terminologi nama “generik bermerek dagang” yang beredar di Indonesia, sehingga obat yang beredar adalah obat paten dan obat generik. Langkah ini untuk menjamin mutu, keterjangkauan harga obat dan kemudahan akses masyarakat terhadap obat. Kementerian Kesehatan hendaknya membuat standar baku dalam pemantauan penggunaan obat generik sehingga didapatkan data yang valid. Kata Kunci : Obat Generik, Implementasi, Kebijakan, Rumah Sakit.
This study described the implementation of the Regulation of Peraturan Menteri Kesehatan No. HK.02.02/MENKES/068/I/2010 about the obligation to use generic drugs in government hospital. Study design of this research is qualitative. The results of preliminary research that the use of generic drugs in government hospital in the year 2009 of 65,31% and 2010 amounted to 57,24 %. The result indicates that the Permenkes 068/2010 has not been implemented maximally in the government hospital. There is ineffective communication between The Ministry of Health, Director of Hospitals, doctors and pharmacists. Also, it is suggested the government should be more integrated doing socialization dan support to the factors which involved in the implementation of this Permenkes 068/2010. Include make an effective communication to the Ministry of Home Affairs. Removal the terminology name of “generic branded name” that circulated in Indonesian, so there is only “ethical drugs” and “ generic drugs”. The aims are to ensure quality, affordability of drug prices, and easy access for public to get the drug. Ministry of health should make a standard in monitoring the use of generic drugs, so we can get a valid data. Key words : Generic Drugs, Implementation, Policy, Hospital
Background: The tip of iceberg phenomenon in Indonesia, which is related to drug abuse, is already at an alarming stage. The effects of Tramadol drug abuse are not only on the health side but on the socio-economic aspects of society as well as security and order. The POM Agency has issued Head of POM Agency Regulation No.10 Year 2019 regarding Guidelines for the Management of Certain Drugs which are often misused with the aim of protecting the public from misuse and misuse of certain drugs. PBF is a distribution company for certain drugs which is suspected to still be a gap for the distribution of certain drugs such as Tramadol. This study aims to determine the implementation of the policy of managing certain drugs which are often abused in Jakarta specifically the distribution of tramadol drugs by PBF. Subjects and Methods: This study used a qualitative approach by means of interviews and document review, this research was conducted in March to June 2020. The main informants in this study were BPOM officials, BBPOM in Jakarta, Jakarta Provincial Health Office and 6 PBF. The variables studied were the size and objectives of the policy, resources, characteristics of the implementing agency, communication between organizations, disposition of implementers, and the social, economic, political environment. Data were collected by interview and document review. Data were analyzed descriptively. Result: the implementation of policies on the management of certain drugs which are often abused in Jakarta, especially the distribution of Tramadol drugs by PBF has not been optimal. The size and objectives of the implementation policy are optimal. Resources in the form of budgets have not been allocated specifically, facilities are good, HR is not optimal in terms of numbers, Characteristics of implementing agencies in the form of relationships between organizations are not optimal and fragmentation is good, Communication between organizations namely transmission, consistency and clarity is optimal, Implementing disposition in the form of understanding , the direction of acceptance and intensity is good, and social, economic and political environmental factors have supported the implementation of the policy. Conclusion: The performance of the implementation of policies on the management of certain drugs which are often abused in the Jakarta area, in particular the distribution of Tramadol Medicines in the Regulation of the Head of POM RI Number 10 of 2019 based on the theoretical variable Van meter and Van horn approach in general has not been optimally implemented.
Peran dan keberadaan tenaga medis sangat besar pengaruhnya dalam pemeriksaan dan mutu pelayanan kesehatan, sebingga Departemen Kesehatan mengembangkan kebijakan tenaga medis melalui Masa Bakti dengan dikeluarlkannya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1988 tentang Masa Balrti dan Praktek Dokter dan Dokter Gigi sebagal pe1aksanaan dari pemturan tersebut diterbilkan Keputusan Presiden daerah sehingga masih adanya kesenjangan antara jumlah kebutuhan dan jumlah tenaga medis yang benninat dan mau ditugaskan di daerah terpencil sangat terpencil, perbatasan dan pulau terluar.
Penugasan khusus tenaga kesehatan ke daerah perbatasan tidak dapat secara langsung mengakibatkan keberbasilan penurunan angka mortalitas dan mobilitas, karena penduduk di daerah perbatasan sangat kecil sehingga tidak berpengaruh terhadap pernbahan angka mortalitas dan angka mobilitas. Asumsi asumsi masih menggunakan kebijakan-kebijakan penempatan tenaga medis dalarn keadaan khusus seperti keadaan bencana, konflik, daerah terpencillsangat terpencil, masa bakti dan eara lain.
Saran utama yang diajukan kepada pembuat kebijakan adalah penyusunan kebutuhan tenaga keaehatan di daerah perbatasan haadaknya tidak haaya berdasarkan tuntutan kompetensi jenis tenaga yang dibutubkan tetapi perlu dilakekan secara terpadu (integrated} dan memperhatikan berbagai faktor terutama kondisi wilayah daerah dengan asas desentra1isasi sesuai kemampuan dan kondisi daerah. Segera dibahas dan dibentuk kebijakan khusus tentang penempatan khusus tenaga kesehatan di daerah perbatasan. Pola pengernbangan karier tenaga kesehatan pasca penugasan perlu dilakukan secara seimbang antara kepentingan organisasi dengan kepentingan tenaga medis itu sendiri baik jangka pendek maupnn jangka panjang.
