Hasil Pencarian :: Kembali

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query ::  Simpan CSV
cover
Juliet M.N. Pieter; Pembimbing: Ede Surya Darmawan; Penguji: Adang Bachtiar, Mardiati Nadjib, Jhon S.T. Marbu, Ati Nirwanawati
Abstrak: Pelayanan kesehatan dasar adalah jenis pelayanan publik yang mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial ekonomi dan pemerintahan. Undang Undang nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit pasal 40 ayat 1 disebutkan bahwa dalam upaya peningkatan mutu pelayanan rumah sakit wajib dilakukan akreditasi secara berkala minimal 3 tahun sekali. Selanjutnya dikeluarkan Permenkes 129/Menkes/ PER/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal yang menjadi panduan bagi daerah dalam melaksanakan penyelenggaraan SPM di Rumah Sakit. Salah satu model pengukuran yang sudah dikenal dan terbukti secara efektif untuk mengukur mutu manajemen adalah dengan pendekatan Malcolm Baldrige Assessment. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis mutu kinerja RSUD Cempaka Putih. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan kualitatif dengan melihat gambaran pencapaian SPM sebelum dan sesudah akreditasi. Posisi skor kinerja RSUD Cempaka Putih berdasarkan MBA didapatkan hasil 259 (self assessment) dan atau 241 (penilaian peneliti), maka masuk dalam kisaran/ rentang 0-275, berada dalam jenjang predikat early development. RSUD Cempaka Putih dapat mengembangkan bagian yang menjadi opportunity for improvement. MBA dapat digunakan untuk melakukan penilaian mutu organisasi secara umum dan juga secara khusus seperti penilaian yang dilakukan untuk melihat pencapaian SPM sebelum dan sesudah akreditasi di RSUD Cempaka Putih.

Basic health care is a basic and essential type of public service to meet the needs of society in socio-economic and governance. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 44 of 2009 on hospital article 40 paragraph 1 mentioned that in an effort to improve the quality of hospital services must be done accreditation periodically at least 3 years. Subsequently issued Permenkes 129 / Menkes / PER / II / 2008 on Minimum Service Standards that become guidance for the region in implementing the SPM in the Hospital. One well-known and proven measurement model that effectively measures quality management is the Malcolm Baldrige Assessment approach. The purpose of this research is to analyze the quality of RSUD Cempaka Putih performance. The type of this research is descriptive analytic research with qualitative approach by looking at the achievement of MSS before and after accreditation. The position of RSUD Cempaka Putih performance score based on the MBA obtained 259 results (self assessment) and / or 241 (assessment of researchers), then entered in the range / range 0-275, is in the level of early development predicate. RSUD Cempaka Putih can develop part which become opportunity for improvement. The MBA can be used to assess the quality of the organization in general as well as in particular the assessment undertaken to see the achievement of MSS before and after accreditation at RSUD Cempaka Putih. Basic health care is a basic and essential type of public service to meet the needs of society in socio-economic and governance. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 44 of 2009 on hospital article 40 paragraph 1 mentioned that in an effort to improve the quality of hospital services must be done accreditation periodically at least 3 years. Subsequently issued Permenkes 129 / Menkes / PER / II / 2008 on Minimum Service Standards that become guidance for the region in implementing the SPM in the Hospital. One well-known and proven measurement model that effectively measures quality management is the Malcolm Baldrige Assessment approach. The purpose of this research is to analyze the quality of RSUD Cempaka Putih performance. The type of this research is descriptive analytic research with qualitative approach by looking at the achievement of MSS before and after accreditation. The position of RSUD Cempaka Putih performance score based on the MBA obtained 259 results (self assessment) and / or 241 (assessment of researchers), then entered in the range / range 0-275, is in the level of early development predicate. RSUD Cempaka Putih can develop part which become opportunity for improvement. The MBA can be used to assess the quality of the organization in general as well as in particular the assessment undertaken to see the achievement of MSS before and after accreditation at RSUD Cempaka Putih.
Read More
B-1937
Depok : FKM UI, 2017
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Janita Ristianti; Pembimbing: Puput Oktamianti; Penguji: Purnawan Junadi, Arum Ambarsari
Abstrak: Tesis ini membahas Evaluasi Rencana Strategis Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2017-2022 Terhadap Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan Pada Indikator Pelayanan Kesehatan Penderita Hipertensi. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain non-eskperimental. Hasil penelitian Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan pada indikator pelayanan hipertensi yang mengalami kenaikan signifikan dalam renstra DKI Jakarta tahun 2017-2022 didalam faktor struktur yang paling berperan dalam peningkatan ketercapaian signifikan tersebut adalah bentuk program yang terjadwal seperti kegiatan posbindu dan KPLDH serta kegiatan strategis daerah yang dilaksanakan di pasar, trans jakarta, taman dan MRT, kemudian terdapat juga kerjasama lintas sector seperti Dinas Sosial, Dinas Pendidikan dan Disnakertrans. Kemudian hasil penelitian menyarankan dinas kesehatan DKI Jakarta dapat menyusun kebijakan terkait pelayanan hipertensi yang terpisah dengan program lain, termasuk kebijakan pembiayaan kesehatan SPM hipertensi sebagai mandatory regulation dalam hal penyusunan unit cost untuk masing-masing komponen layanan sebagai dasar perumusan costing SPM hipertensi. Kemudian penguatan kebijakan lintas sektor dan program dalam upaya perluasan cakupan pelayanan SPM khususnya hipertensi melalui pendekatan kolaborasi, serta memberikan edukasi dan sosialisasi kembali kepada masyarakat akan pentingnya melakukan pemeriksaan rutin terkait dengan hipertensi. 
This thesis discusses the Evaluation of the DKI Jakarta Provincial Health Office's Strategic Plan for 2017-2022 on Minimum Service Standards (SPM) in the Health Sector on Health Service Indicators for Hypertension Sufferers. This research is a qualitative research with non-experimental design. The results of the research on Implementation of Minimum Service Standards (SPM) in the Health Sector on hypertension service indicators which experienced a significant increase in the DKI Jakarta strategic plan for 2017-2022 in the structural factors that play the most role in increasing this significant achievement are the form of scheduled programs such as posbindu and KPLDH activities as well as activities regional strategies carried out in markets, trans jakarta, parks and the MRT, then there is also cross-sector cooperation such as the Social Service, the Education Office and the Manpower and Transmigration Office. Then the results of the study suggest that the DKI Jakarta Health Office can formulate policies related to hypertension services that are separate from other programs, including the hypertension MSS health financing policy as a mandatory regulation in terms of compiling unit costs for each service component as the basis for the formulation of hypertension MSS costing. Then strengthening cross-sectoral policies and programs in an effort to expand the scope of MSS services, especially hypertension through a collaborative approach, as well as providing education and socialization to the public about the importance of carrying out routine checks related to hypertension.
Read More
T-6726
Depok : FKM-UI, 2023
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Shofi Sari Azima; Pembimbing: Ede Surya Darmawan; Penguji: Vetty Yulianty Permanasari, Wiku Bakti Bawono Adisasmito, Irham Putra, Aprilia Krisliana
Abstrak:
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi kebijakan anggaran berbasis kinerja terhadap capaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) HIV Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun Anggaran 2024. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam, studi dokumen, dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun proses penganggaran telah mengikuti siklus perencanaan, pengesahan, pelaksanaan, dan evaluasi, namun belum sepenuhnya mencerminkan prinsip anggaran berbasis kinerja. Kesenjangan terjadi pada penentuan target kinerja yang masih bersifat administratif dan belum berorientasi pada outcome seperti penurunan kasus HIV atau pencapaian target 95-95-95. Selain itu, belum optimalnya penggunaan sistem informasi seperti Siscobikes serta belum terintegrasinya hasil evaluasi ke dalam proses perencanaan turut memengaruhi efektivitas alokasi anggaran. Berdasarkan perhitungan kebutuhan anggaran dengan acuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 6 Tahun 2024 tentang Standar Teknis Pemenuhan SPM Kesehatan, estimasi anggaran untuk menjangkau 38.588 orang sasaran adalah sebesar Rp1.610.068.963,00 namun alokasi yang tersedia masih jauh dari kebutuhan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan penguatan dalam penyusunan anggaran yang berbasis kinerja, peningkatan kapasitas perencana, serta integrasi antarsektor dalam mendukung perencanaan dan penganggaran yang lebih berorientasi hasil guna mendukung upaya pengendalian HIV dan tercapainya ending AIDS 2030.

 
This study aims to analyze the implementation of performance-based budgeting policy in achieving the Minimum Service Standards (SPM) of HIV infection at the South Tangerang City Health Office in Fiscal Year 2024. A qualitative approach was used, with data collected through in-depth interviews, document review, and observation. The findings indicate that although the budgeting process follows the planning, approval, implementation, and evaluation cycle, it has not fully reflected the principles of performance-based budgeting. A key gap lies in the determination of performance targets, which remain administrative in nature and are not yet outcome-oriented—such as reducing HIV cases or achieving the 95-95-95 global targets. In addition, the use of integrated information systems like Siscobikes remains suboptimal, and evaluation results have not been effectively incorporated into the planning process, thereby affecting the efficiency of budget allocation. Based on budget needs calculations referring to the Minister of Health Regulation No. 6 of 2024 on Technical Standards for Fulfilling Health SPM, the estimated budget required to reach 38,588 target individuals is Rp1.610.068.963,00; however, the current allocation falls significantly short of that need. Therefore, it is necessary to strengthen performance-based budget planning, improve the capacity of planners, and promote cross-sectoral integration to support result-oriented budgeting and planning, in order to enhance HIV control efforts and achieve the 2030 AIDS elimination target.
Read More
T-7354
Depok : FKM UI, 2025
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Raphita Sinambela; Pembimbing: Adang Bachtiar; Penguji: Purnawan Junadi, Prastuti Soewondo, Baequni, Donna Pandiangan
Abstrak: Dinas Kesehatan sebagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang bertanggung jawab di bidang kesehatan untuk mencapai indikator standar Pelayanan Minimal (SPM) setiap tahun. Untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat yang semakin meningkat saat ini, Dinas Kesehatan dapat terus berbenah dalam peningkatan kinerjanya baik dari sumber daya manusianya dan faktor organisasi. Perilaku pegawai merupakan salah satu faktor yang mendukung keberhasilan organisasi baik dilihat dari pengetahuan dan sikap pegawai untuk pencapaian SPM. Kesiapan organisasi salah satu tools yang dapat digunakan Malcolm Baldrige Assessment mencakup: kepemimpinan; perencanaan strategi; fokus pada pelanggan; penilaian, analisis, dan manajemen pengetahuan; fokus pada pekerja; manajemen proses; dan hasil. Penelitian dilakukan untuk melihat gambaran hubungan antara Perilaku Pegawai dan faktor-faktor organisasi dengan Kinerja Capaian Standar Pelayanan Minimal. Metode penelitian kuantitatif, desain crossectional, melalui pengisian kuesioner dengan google form oleh 232 responden (pegawai). Hasil penelitian seluruh variabel independen memiliki hubungan yang signifikan dengan kinerja capaian SPM. Variabel Pengukuran, Analisis, Pengetahuan Manajemen secara bivariat (p = 0,0001; OR = 46,12; 95% CI = 21,29 – 99,91) dan multivariat (p = 0,0001; OR = 8,288; 95% CI) merupakan varibel dominan berhubungan dengan kinerja Dinkes Kota Sibolga. Total skor kriteria Malcolm Baldrige pada hasil kinerja Dinas Kesehatan Sibolga memperoleh hasil di level Excellent pada posisi Benchamark Leader.
The Health Service as a Regional Apparatus Organization (RAO) is responsible for the health sector to achieve Minimum Service Standard (SPM) indicators every year. To meet the current increasing need for public health services, the Health Service can continue to improve its performance both in terms of human resources and organizational factors. Employee behavior is one of the factors that supports organizational success, both seen from employee knowledge and attitudes towards achieving SPM. Organizational readiness is one tool that Malcolm Baldrige can use Assessments include: leadership; planning strategy; customer focused; assessment, analysis, and knowledge management; focus on workers; management process; and result. The research was conducted to see a picture of the relationship between employee behavior and organizational factors and the performance of achieving minimum service standards. Quantitative research method, cross-sectional design, by filling out a questionnaire using Google Form by 232 respondents (employees). The research results show that all independent variables have a significant relationship with SPM performance. Measurement variables, Analysis, Management Knowledge bivariate (p = 0.0001; OR = 46.12; 95% CI = 21.29 – 99.91) and multivariate (p = 0.0001; OR = 8.288; 95% CI ) is the dominant variable related to the performance of the Sibolga City Health Office. Malcolm Baldrige's total criteria score on the performance results of the Sibolga Health Service obtained results at the Excellent level in the Benchamark Leader position.
Read More
T-6906
Depok : FKM-UI, 2024
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Farista Widyastuti; Pembimbing: Robiana Modjo; Penguji: Dian Ayubi, Muhammad Rais Haru, Rizky Ramdhani
Abstrak:

Hipertensi merupakan penyakit tidak menular dengan prevalensi tinggi di Indonesia dan berisiko menimbulkan komplikasi serius jika tidak tertangani dengan baik. Di Kabupaten Belitung, capaian pelayanan hipertensi belum mencapai target 100% sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM). Penelitian ini bertujuan menganalisis implementasi pelayanan hipertensi berdasarkan SPM tahun 2024 menggunakan pendekatan kualitatif studi kasus dan model Donabedian (struktur, proses, hasil). Informan terdiri dari pengelola program, tenaga kesehatan, kepala Puskesmas, dan pemerintah desa di empat Puskesmas. Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi, dan telaah dokumen pada Februari–Mei 2025.
Hasil penelitian menunjukkan keterbatasan SDM, ketidakterpaduan regulasi, serta bervariasinya dukungan desa memengaruhi efektivitas layanan. Proses pelayanan seperti deteksi dini, terapi, edukasi, dan pencatatan di aplikasi ASIK belum berjalan sistematis. Capaian pelayanan tahun 2024 berada di kisaran 44,76–92,66% dengan rata-rata 76,10%. Kepatuhan pasien dalam minum obat rendah dan pengukuran mutu belum konsisten. Kesimpulannya, pelayanan hipertensi belum memenuhi target nasional. Diperlukan penguatan regulasi teknis, distribusi SDM yang merata, peningkatan kapasitas pelaksana, serta kolaborasi lintas sektor dengan dukungan desa dan kader untuk mewujudkan layanan hipertensi yang merata dan bermutu.

Hypertension is a prevalent non-communicable disease in Indonesia that poses a serious risk of complications if not properly managed. In Belitung Regency, hypertension service coverage has not yet reached the 100% target set by the Minimum Service Standards (SPM). This study aims to analyze the implementation of hypertension health services based on the 2024 SPM using a qualitative case study approach and the Donabedian model (structure, process, outcome). Informants included program managers, health workers, health center heads, and village government representatives from four selected health centers. Data were collected through in-depth interviews, direct observations, and document review from February to May 2025. The findings reveal that limitations in human resources, lack of integrated technical regulations, and varying levels of village support affect service effectiveness. Service processes such as early detection, therapy, education, and documentation through the ASIK application are not yet fully systematic. In 2024, service coverage ranged from 44.76% to 92.66%, with a district average of 76.10%. Patient medication adherence remains low, and quality measurement is inconsistent. It is concluded that the implementation of hypertension services in Belitung Regency has not met the national target. Strengthening operational regulations, equitable distribution of human resources, capacity building for service providers, and cross-sector collaboration with support from village governments and community health workers are needed to achieve equitable and quality hypertension care.

 

Read More
T-7343
Depok : FKM UI, 2025
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Ester Indahyani Jusuf; Promotor: Tris Eryando; Kopromotor: Dumilah Ayuningtyas, Tiurma MP Sialagan; Penguji: Anhari Achadi, Purnawan Junadi, Bambang Shergi, Lalu Hayyanul Haq, Harry Hikmat
Abstrak:

Hak untuk hidup adalah Hak Asasi yang dijamin oleh Negara sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28A dan pasal 28H ayat (1) dan Undang Undang Nomor 39 tahun 1999, yang kemudian menjadi acuan konsep Pemerintah dalam menjamin dan melindungi Hak Asasi Manusia berupa hak atas kesehatan sesuai dengan Undang Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan.
Walau pemenuhan hak atas kesehatan ini telah dijamin oleh Negara secara konstitusional dan hukum, namun pada implementasinya tingkat pemenuhan SPM Air Minum masih mencukupi. Negara dalam tulisan ini merujuk pada Undang Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang terdiri dari Penyelenggara Negara dan Masyarakat. Baik Penyelenggara Negara maupun rakyat punya peran sesuai pasal 1 butir; dan janji politik setiap WNI sesuai Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia pasal 16. Peran Negara dalam tulisan ini dibatasi pada peran Penyelenggara Negara (Pemerintah) yang wajib dipenuhi untuk implementasi SPM Air Minum sesuai aturan dan kebijakan hukum Indonesia, pada tulisan ini dengan pembatasan pada peran Eksekutif dan Yudikatif. Peran ini kemudian lahir dalam bentuk rangkaian tindakan Negara yang dikalkulasi, dijabarkan dalam program serta dikontekstualisasi sesuai situasi, kondisi sosial politik, alam secara global, termasuk alur hidrologi alam dan peran dunia internasional.
Sesuai dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, maka Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten dan Provinsi wajib memenuhi SPM Air Minum untuk setiap Warga Negara Indonesia tanpa kecuali, yang dalam penterjemahan level undang-undang dan peraturan yang lebih rendah dilakukan secara bertahap berdasarkan prioritas dengan pengawasan berdasar sistem IKU BKN dan sistem pelaporan keuangan yang diawasi oleh BPK. Berdasar penilaian IKU BKN maupun BPK, Pemerintah Daerah telah menjalankan perannya dengan baik dengan laporan keuangan yang WTP. Namun demikian hingga kini banyak orang tetap belum mendapatkan pemenuhan HAM bidang penyelenggaran SPM Air Minum.
Penelitian ini menggunakan metode gabungan kuantitatif dan kualitatif, deskriptif analisis. Obyek yang diteliti adalah aturan dan kebijakan hukum tentang pemenuhan SPM Air Minum, peran Negara serta bagaimana implementasi yang dikontekstualkan dengan keadaan di wilayah penelitian. Wawancara, diskusi dan observasi dilakukan pada orang dari Bappenas, 12 orang dari PDAM, 10 orang warga masyarakat, 1 politisi. Penelitian dilakukan di Pulau Sumatera, Provinsi Lampung. Pemilihan Kota/Kabupaten didasarkan Peraturan Gubernur Nomor 16 Tahun 2019, yaitu dengan mempertimbangkan potensi, areal pengambilan dan dampak lingkungan air tanah dari pengambilan air tanah. Wilayah yang dipilih adalah Kota Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Pesisir Barat. Peran penyelenggara Negara dibatasi dan dianalisis sesuai dengan tupoksi, baik peran langsung maupun tidak langsung.
Hasil penelitian ini mendapati bahwa peran Negara secara langsung telah sesuai dengann tupoksi dengan hasil yang baik dan laporan keuangan yang WTP sesuai dengan RKPD dan APBD, namun peran Negara yang tidak langsung belum dilaporkan/dielaborasi. Wilayah yang tidak terpenuhi SPM Air Minum adalah wilayah yang memang tidak direncanakan, belum dikalkulasi baik karena PAD yang kecil, atau tidak ada kesepakatan penyelenggaaraannya dilaksanakan dalam bentuk RKPD, APBD atau atau bentuk lainnya. Jadi walau mekanisme hukum dan kebijakan yang ada telah dijalankan dengan maksimal sesuai IKU BKN dan WTP, namun hasilnya tetap ada gap yang menunjukkan adanya wilayah yang tidak terselenggara SPM Air Minum. Gap ini dapat menjadi landasan untuk membuka peluang peran pihak ketiga (sektor privat) untuk ikut menyelenggarakan SPM Air Minum demi terpenuhinya hak konstitusional masyarakat di bidang kesehatan.
Mekanisme RKPD dan APBD adalah hasil dari proses demokrasi rakyat melalui Musrenbang Desa, Musrenbang Kecamatan, Forum SKPD, Musrenbang Kabupaten dan KUA KDH bersama DPRD. Mekanisme ini ternyata masih berpeluang besar untuk tidak melibatkan peran rakyat di dalamnya. Mekanisme partisipasi rakyat yang bukan berdasar pemilihan atau penunjukkan dari Pemerintah dan transparansi menjadi hal yang harus dipertimbangkan dalam perbaikan sistem Musrenbang.
Data penyelenggaraan SPM Air Minum menggambarkan juga ketidaktahuan rakyat tentang pentingnya hak atas kesehatan yang dapat berdampak pada kesehatan, kesakitan atu kelangsungan hidup mereka. Oleh karena itu pendidikan literasi tentang hak atas kesehatan seharusnya diselenggarakan sebelum rakyat memutuskan RKPD/APBD.
Ketidaktahuan, ketidakterlibatan atau ketidakpedulian rakyat akibat rendahnya tingkat literasi mereka tentu akan berdampak pada lambannya sistem sosial, hukum, kesehatan masyarakat dan pengabaian hak-hak rakyat
Kesimpulan penelitian ini adalah adanya gap antara konsep pemenuhan HAM konstitusional di bidang kesehatan dengan konsep penyelenggaran SPM Air Minum; pengaturan kebijakan hak kesehatan masih belum lengkap dan belum menjamin terpenuhinya SPM Air Minum; Peran Penyelenggara Negara terbatas hanya pada IKU BKN, RKPD atau WTP, yang berdampak lahirnya gap antara kemampuan memenuhi SPM Air Minum dan kebutuhan rakyat. Dengan demikian hipotesis bahwa jika Negara telah menjalankan peran sesuai kewajiban dan aturan hukum, maka SPM Air Minum terpenuhinya ternyata tidak sepenuhnya tepat.
Saran penulis adalah mengevaluasi kembali konsep penyelenggaraan Air Minum secara nasional terutama tentang peran langsung maupun peran tidak langsung lembaga negara; revisi mekanisme Musrenbang Desa; adanya parameter keberlanjutan SPM Air Minum dan penunjukkan lembaga yang wajib menyelenggarakannya; aturan tentang mekanisme sanksi yang lebih efektif jika terjadi pelanggaran hak atas kesehatan; serta mempertimbangkan pembuatan kebijakan tentang pelibatan pihak ke 3 (sektor privat) untuk mengatasi gap antara kemampuan Negara dan hak rakyat atas atas kesehatan berupa penyelenggaraan Air Minum sesuai SPM.


The right to life is a Human Right guaranteed by the State in accordance with the 1945 Constitution Article 28A and Article 28H paragraph (1) and Law Number 39 of 1999, which later became the reference for the Government's concept in guaranteeing and protecting Human Rights in the form of the right to health in accordance with Law Number 17 of 2023 concerning Health.
Even though the fulfillment of the right to health has been guaranteed by the State constitutionally and legally, in its implementation the level of fulfillment of the SPM for Drinking Water is still sufficient. The state in this article refers to Law of the Republic of Indonesia Number 25 of 2009 concerning Public Services consisting of State Administrators and the Community. Both State Administrators and the people have roles according to article 1 point; and political promises of every Indonesian citizen in accordance with Law of the Republic of Indonesia Number 12 of 2006 concerning Citizenship of the Republic of Indonesia article 16. The role of the State in this paper is limited to the role of State Administrators (Government) which must be fulfilled for the implementation of SPM for Drinking Water in accordance with Indonesian legal rules and policies, in this paper with limitations on the role of the Executive and Judiciary. This role then emerged in the form of a series of calculated State actions, described in programs and contextualized according to the situation, socio-political conditions, nature globally, including natural hydrological flows and the role of the international world.
In accordance with Law of the Republic of Indonesia Number 23 of 2014 concerning Regional Government, City/Regency and Provincial Governments are obliged to fulfill the SPM for Drinking Water for every Indonesian citizen without exception, which in the translation of lower levels of laws and regulations is carried out in stages. based on priorities with supervision based on the BKN IKU system and financial reporting system supervised by the BPK. Based on the BKN and BPK IKU assessments, the Regional Government has carried out its role well with WTP financial reports. However, until now many people still do not have human rights fulfilled in the implementation of SPM for Drinking Water.
This research uses a combined quantitative and qualitative method, descriptive analysis. The objects studied are legal rules and policies regarding the fulfillment of the SPM for Drinking Water, the role of the State and how implementation is contextualized with the conditions in the research area. Interviews, discussions and observations were carried out with people from Bappenas, 12 people from PDAM, 10 community members, 1 politician. The research was conducted on Sumatra Island, Lampung Province. The selection of cities/regencies is based on Governor's Regulation Number 16 of 2019, namely taking into account the potential, extraction area and environmental impact of groundwater from groundwater extraction. The selected areas are Bandar Lampung City, West Lampung Regency and West Pesisir Regency. The role of State administrators is limited and analyzed according to their main tasks and functions, both direct and indirect roles.
The results of this research found that the State's direct role is in accordance with its main duties and functions with good results and WTP financial reports are in accordance with the RKPD and APBD, but the State's indirect role has not been reported/elaborated. Areas that do not meet the SPM for Drinking Water are areas that have not been planned, have not been calculated either because the PAD is small, or there is no agreement to implement it in the form of RKPD, APBD or other forms. So even though the existing legal and policy mechanisms have been implemented optimally in accordance with the BKN IKU and WTP, the results still have gaps which indicate that there are areas where the Drinking Water SPM is not implemented. This gap can be the basis for opening opportunities for the role of third parties (private sector) to participate in implementing Drinking Water SPM for the fulfillment of people's constitutional rights in the health sector. The RKPD and APBD mechanisms are the result of the people's democratic process through the Village Musrenbang, Subdistrict Musrenbang, SKPD Forum, Regency Musrenbang and KUA KDH together with the DPRD. It turns out that this mechanism still has a big chance of not involving the people's role in it. Mechanisms for people's participation that are not based on elections or appointments from the Government and transparency are things that must be considered in improving the Musrenbang system.
Data on the implementation of SPM Drinking Water also illustrates people's ignorance about the importance of the right to health which can have an impact on their health, illness or survival. Therefore, literacy education about the right to health should be held before the people decide on the RKPD/APBD.
Ignorance, non-involvement or indifference of the people due to their low level of literacy will certainly have an impact on slow social, legal and public health systems and neglect of people's rights.
The conclusion of this research is that there is a gap between the concept of fulfilling constitutional human rights in the health sector and the concept of implementing SPM for Drinking Water; policy arrangements for the right to health are still incomplete and do not guarantee the fulfillment of the SPM for Drinking Water; The role of State Administrators is limited to IKU BKN, RKPD or WTP, which has the impact of creating a gap between the ability to fulfill the SPM for Drinking Water and the needs of the people. Thus, the hypothesis that if the State has carried out its role in accordance with legal obligations and regulations, then the SPM for Drinking Water is fulfilled is not completely correct
The author's suggestion is to re-evaluate the concept of administering Drinking Water nationally, especially regarding the direct and indirect roles of state institutions; revision of the Village Musrenbang mechanism; the existence of parameters for the sustainability of SPM Drinking Water and the appointment of institutions that are obliged to implement them; regulations on more effective sanction mechanisms in the event of violations of the right to health; and considering making policies regarding the involvement of third parties (the private sector) to overcome the gap between the State's capacity and the people's right to health in the form of administering drinking water according to the SPM.

 

Read More
D-570
Depok : FKM-UI, 2025
S3 - Disertasi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Galih Permana; Pembimbing: Pujiyanto; Penguji: Purnawan Junadi, Vetty Yulianty Permanasari, Mursalim, Ubbay Ujziana
T-4606
Depok : FKM-UI, 2016
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Anggi Asri Rusliana Dewi; Pembimbing: Dumilah Ayuningtyas; Penguji: Puput Oktamianti, Atet Kurniadi, Roni Razali
Abstrak:
Hipertensi merupakan faktor risiko kardiovaskular utama yang menyebabkan kecacatan di seluruh dunia dan di antaranya tidak menyadari kondisi kesehatannya sehingga sering disebut sebagai the silent killer. Angka prevalensi hipertensi di Indonesia cukup tinggi. Berdasarkan Riskesdas (2018), Provinsi Kalimantan Selatan menunjukkan prevalensi tertinggi hipertensi, namun presentase penderita hipertensi yang mendapat pelayanan kesehatan masih rendah. Kota Banjarbaru memiliki persentase terendah yakni 11,3% dari target 100%. Pelayanan kesehatan penderita hipertensi termasuk dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis implementasi kebijakan SPM bidang kesehatan penderita hipertensi di Kota Banjarbaru. Penelitian kualitatif dengan desain penelitian Rapid Assessment Procedure (RAP) dilakukan pada bulan Mei hingga Juni 2023 di Kota Banjarbaru Provinsi Kalimantan Selatan. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara mendalam, observasi dan telaah dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan SPM hipertensi belum optimal dapat dilihat dari laporan capaian SPM bidang kesehatan Kota Banjarbaru berada di posisi terendah di antara 12 jenis pelayanan kesehatan dasar. Kesimpulannya, beberapa kendala dalam implementasi SPM hipertensi yakni pencatatan dan pelaporan penderita hipertensi, rendahnya kesadaran masyarakat untuk melakukan pemeriksaan dan berobat di puskesmas sehingga datanya tidak tercatat, tidak ada alokasi anggaran khusus SPM hipertensi di puskesmas, dan tugas rangkap dari petugas kesehatan sehingga tidak maksimal dalam mencapai suatu program. Diperlukan upaya kerjasama lintas sektor untuk keterpaduan pencatatan dan pelaporan data pasien hipertensi, pengajuan anggaran SPM hipertensi, upaya mengajak masyarakat, dan membagi tugas secara adil bagi petugas puskesmas.

Hypertension is a major cardiovascular risk factor that causes disability worldwide and many of them are not aware of their health condition, so it is often referred to as the silent killer. The prevalence rate of hypertension in Indonesia is quite high. Based on Riskesdas (2018), South Kalimantan Province shows the highest prevalence of hypertension, but the percentage of hypertensive patients who receive health services is still low. Banjarbaru City has the lowest percentage, namely 11.3% of the 100% target. Health services for people with hypertension are included in the Minimum Service Standards (SPM) in the Health Sector which are regulated in laws and regulations and government policies. The purpose of this study was to analyze the implementation of the SPM policy in the health sector for hypertension sufferers in Banjarbaru City. Qualitative research with the Rapid Assessment Procedure (RAP) research design was conducted from May to June 2023 in Banjarbaru City, South Kalimantan Province. Data collection was carried out through in-depth interviews, observation and document review. The results of the study showed that the implementation of the SPM policy for hypertension was not optimal, as can be seen from the achievement report on SPM in the health sector in Banjarbaru City which was in the lowest position among the 12 types of basic health services. In conclusion, several obstacles in the implementation of hypertension SPM are recording and reporting of hypertension sufferers, low public awareness to carry out examinations and treatment at the puskesmas so that the data is not recorded, there is no special budget allocation for hypertension SPM at the puskesmas, and multiple assignments from health workers so that they are not optimal in reach a program. Cross-sector collaboration efforts are needed to integrate the recording and reporting of hypertension patient data, hypertension SPM budget submission, efforts to invite the community, and distribute tasks fairly for health center staff.
Read More
T-6687
Depok : FKM-UI, 2023
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Nandya Silvalinda; Pembimbing: Agustin Kusumayati; Penguji: Dumilah Ayuningtyas, Wachyu Sulistiadi, Eti Rohati, Salma Sabira
Abstrak:

Penelitian ini mengevaluasi implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) HIV/AIDS di Puskesmas Kota Depok tahun 2025 dengan pendekatan Six Building Blocks WHO. Penelitian kualitatif deskriptif ini mengumpulkan data melalui wawancara mendalam, FGD, observasi, dan telaah dokumen di empat Puskesmas terpilih. Temuan menunjukkan capaian layanan belum merata, dipengaruhi oleh keterbatasan sumber daya, pelaporan yang belum optimal, dan lemahnya koordinasi lintas sektor. Strategi percepatan yang disusun menekankan penguatan tata kelola, kapasitas tenaga kesehatan, sistem informasi, akses obat esensial, serta peningkatan kolaborasi multisektor.
Hasil penelitian mengungkap bahwa pelaksanaan SPM HIV/AIDS masih menghadapi kesenjangan antar sasaran dan wilayah. Kelompok populasi kunci memiliki capaian tinggi karena dukungan LSM, sedangkan ibu hamil menjadi kelompok dengan capaian terendah akibat keterlambatan pelaporan dari bidan mandiri dan rumah sakit. Sistem informasi HIV/AIDS (SIHA) belum terintegrasi penuh dan masih bergantung pada kemampuan individu petugas. Ketersediaan obat antiretroviral (ARV) terbatas pada satu Puskesmas dengan sistem distribusi yang belum merata. Pembiayaan program masih bertumpu pada dana BOK dan donor, sementara regulasi seperti Perwal HIV/AIDS dan SOP PrEP belum disahkan.
Penelitian ini menegaskan perlunya penguatan kebijakan teknis sesuai Permenkes No. 6 Tahun 2024, penataan SDM dan insentif yang berkelanjutan, serta integrasi pelaporan lintas fasilitas. Peningkatan kapasitas kader, inovasi komunitas seperti CLM, dan pemanfaatan teknologi pelaporan menjadi kunci percepatan pencapaian target SPM HIV/AIDS di Kota Depok.


This study evaluates the implementation of the Minimum Service Standards (SPM) for HIV/AIDS at Community Health Centers (Puskesmas) in Depok City in 2025 using the WHO Six Building Blocks approach. This descriptive qualitative study collected data through in-depth interviews, focus group discussions (FGD), observations, and document reviews at four selected Puskesmas. Findings indicate that service delivery is uneven, influenced by resource constraints, suboptimal reporting, and weak inter-sectoral coordination. The acceleration strategies developed emphasize strengthening governance, health worker capacity, information systems, access to essential medications, and enhancing multisectoral collaboration. The results show that the implementation of the HIV/AIDS SPM still faces disparities among target groups and service areas. Key populations achieved higher coverage mainly due to NGO support, while pregnant women had the lowest coverage due to delayed or incomplete reporting from private midwives and hospitals. The HIV/AIDS Information System (SIHA) has not been fully integrated and still depends on individual staff capacity. The availability of antiretroviral (ARV) drugs is limited to one health center with uneven distribution across facilities. Program financing still relies heavily on BOK and donor funds, while technical regulations such as the Mayor’s Decree on HIV/AIDS and the PrEP SOP have not yet been enacted. This study highlights the need to strengthen technical policies in accordance with Minister of Health Regulation No. 6 of 2024, ensure sustainable human resource and incentive management, and enhance cross-facility reporting integration. Strengthening community-based innovations such as CLM, capacity building for cadres, and the use of digital reporting systems are key strategies to accelerate the achievement of HIV/AIDS SPM targets in Depok City.

Read More
T-7452
Depok : FKM-UI, 2025
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Naila Falichatul Muannisa; Pembimbing: Wachyu Sulistiadi; Penguji: Dumilah Ayuningtyas, Evi Martha, Andri Mursita, Eti Rohati
Abstrak:
Penelitian ini membahas capaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) layanan usia produktif sebelum dan sesudah penerapan kebijakan Integrasi Layanan Primer (ILP) di Kota Depok. Tujuan penelitian adalah menganalisis kontribusi komponen pendekatan Primary Health Care (pelayanan terintegrasi, pemberdayaan masyarakat, kolaborasi lintas sektor) serta komponen penggerak (kerangka kebijakan, sumber daya manusia, pendanaan, tata kelola, dan pemantauan–evaluasi) terhadap capaian SPM. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain studi kasus pada enam Puskesmas, didukung analisis deskriptif capaian SPM tahun 2023–2025. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi ILP mendorong perubahan struktur layanan, peran kader yang lebih aktif, serta perluasan jejaring lintas sektor. Namun, capaian SPM menunjukkan variasi antar Puskesmas: beberapa wilayah mengalami peningkatan stabil, sementara lainnya menghadapi fluktuasi atau stagnasi. Faktor internal berupa kesiapan tata kelola, SDM, dan adaptasi digital, serta faktor eksternal berupa dukungan lintas sektor dan regulasi, terbukti sangat menentukan keberhasilan ILP. Dengan demikian, keberhasilan transformasi ILP memerlukan penguatan kebijakan operasional, pemerataan kapasitas SDM, serta kolaborasi multipihak agar peningkatan mutu layanan usia produktif dapat berkelanjutan.

This study examines the achievement of Minimum Service Standards (MSS) for productive-age health services before and after the implementation of the Integrated Primary Care (ILP) policy in Depok City. The research aims to analyze the contribution of selected Primary Health Care components—integrated services, community empowerment, and cross-sector collaboration—as well as enabling factors including policy frameworks, human resources, financing, governance, and monitoring–evaluation. A qualitative approach with an intrinsic case study design was employed across six Puskesmas, supported by descriptive analysis of MSS data from 2023–2025. The findings indicate that ILP implementation encouraged service restructuring, more active roles of health cadres, and the expansion of cross-sectoral partnerships. Nevertheless, MSS achievements varied: some areas recorded stable improvements, while others faced fluctuations or stagnation. Internal factors such as governance readiness, human resource capacity, and digital adaptation, along with external factors such as cross-sectoral support and regulatory alignment, were critical to ILP success. Therefore, the sustainability of ILP transformation requires strengthened operational policies, equitable human resource capacity building, and multi-stakeholder collaboration to ensure continuous improvement of productive-age health services.
Read More
T-7439
Depok : FKM-UI, 2025
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
:: Pengguna : Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
Library Automation and Digital Archive