Hasil Pencarian :: Kembali

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query ::  Simpan CSV
cover
Novi Arina Puspitasari; Pembimbing: Tris Eryando; Penguji: Artha Prabawa, Hidayat Nuh Ghazali Djadjuli
Abstrak: Difteri masih menjadi masalah serius di beberapa negara di dunia. meskipun vaksinasi difteri telah rutin dilaksanakan sejak tahun 70-an, masih terjadi laporan Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri terutama di negara berkembang. Menurut WHO, pada tahun 2000, dilaporkan 30.000 kasus dan 3.000 kematian karena difteri di dunia. Salah satu upaya pengendalian penyakit difteri adalah dengan penguatan sistem surveilans difteri. Dimana surveilans difteri berperan penting untuk menilai dampak dan sebagai sistem kewaspadaan dini agar bisa dilakukan penanggulangan difteri secara tepat dan cepat. Sistem surveilans yang baik sangat diperlukan untuk melihat pengembangan penyakit dan meminimalisir penularan penyakit. Untuk itu perlu adanya evaluasi system surveilans difteri di wilayah Dinas Kota Depok. Metode ini menggunakan pendekatan system yang terdiri dari input, proses, dan output. Sumber data yang digunakan adalah data primer dan sekunder yang diperoleh dari wawancara mendalam, observasi, dan telaah dokumen. Penelitian ini dilaksanakan di Dinas Kesehatan Kota Depok dan dua Puskesmas di Wilayah Kota Depok. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa dalam penyelenggaraan surveilans difteri ditemukan beberapa hambatan yakni kurangnya pelatihan bagi tenaga kesehatan surveilans di Dinas Kesehatan dan beban kerja yang tinggi di Puskesmas. Selain itu ketepatan dan kelengkapan laporan yang masih belum tepat waktu, diperlukan adanya sistem surveilans difteri agar surveilans difteri berjalan dengan baik.

Diphtheria is still a serious problem in several countries in the world. although diphtheria vaccination has been routinely carried out since the 70s, there are still reports of diphtheria outbreaks, especially in developing countries. According to WHO, in 2000, 30,000 cases were reported and 3,000 deaths from diphtheria in the world. One effort to control diphtheria is by strengthening the diphtheria surveillance system. Where diphtheria surveillance plays an important role to assess the impact and as an early vigilance system so that the diphtheria prevention can be carried out appropriately and quickly. A good surveillance system is needed to see the development of disease and minimize transmission of disease. For this reason, it is necessary to evaluate the diphtheria surveillance system in the Depok City Service area. This method uses a system approach consisting of input, process, and output. The data sources used are primary and secondary data obtained from in-depth interviews, observations, and document review. This research was conducted at the Depok City Health Office and two Puskesmas in the Depok City Area. Based on the results of the study, it was found that in the implementation of diphtheria surveillance there were several obstacles, namely the lack of health workers for surveillance at the Health Office and high workload at the Puskesmas. In addition, the accuracy and completeness of the reports are still not on time, and a diphtheria surveillance system is needed so that diphtheria surveillance works well.were collected by means of deep interview. The researcher suggests that library should improve the user education program and provide facilities which can help students to be information literate. 
Read More
S-9910
Depok : FKM UI, 2019
S1 - Skripsi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Siti Zubaidah; Pembimbing: Ella Nurlaela Hadi; Penguji: Tri Krianto, Hidayat Nuh Ghazali Djadjuli
Abstrak: Hasil Survei Cepat PHBS tatanan sekolah tahun 2014 mengalami penurunan angka presentase pada hampir semua indikator PHBS Sekolah dibandingkan dengan hasil PHBS tatanan sekolah tahun 2013. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan karakteristik demografi, tingkat pengetahuan dan sikap siswa dengan PHBS siswa sekolah dasar di Kota Depok tahun 2014. Desain studi cross-sectional digunakan pada 143 siswa dari seluruh siswa sekolah dasar Kota Depok tahun 2014. Sebanyak 58,7% siswa mempunyai PHBS baik, tetapi perilaku menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan setiap bulan, menggunakan jamban yang bersih dan sehat, dan perilaku mengkonsumsi jajanan sehat dari kantin sekolah masih kurang baik. Hasil penelitian menunjukkan umur terhadap PHBS, pengetahuan terhadap PHBS dan sikap terhadap PHBS memiliki hubungan yang bermakna dengan PHBS, dimana siswa usia 10-13 tahun memiliki peluang 3,5 kali berperilaku PHBS baik dibandingkan siswa usia 6-9 tahun. Demikian pula dengan siswa yang memiliki pengetahuan baik memiliki peluang 3,7 kali untuk memiliki PHBS baik dibandingkan dengan siswa yang memiliki pengetahuan rendah dan siswa dengan sikap positif memiliki peluang 3,4 kali lebih besar untuk memiliki PHBS baik dibandingkan dengan siswa yang memiliki sikap negatif terhadap PHBS.
 

 
This study was conducted through a rapid survey on clean and healthy living behavior or also known as Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) on a school base in 2014. The results showed that almost all indicators decreased compared to its result in 2013. Therefore, this study aimed to analyze the relationship between demography characteristics, knowledge, and attitude's elementary student in Depok, 2014. This study used cross-sectional design to 143 students of all elementary school in Depok. The results showed that 58,7% of the students were good in clean and healthy living behaviors. However, the behavior of weighing and measuring their height each month, using a clean and healthy latrine, and consuming healthy snacks from the cafetaria were still quite poor. This study also showed significant relationships between age, knowledge, and attitude towards clean and healthy living behaviors. Students age 10-13 had 3,5 opportunities to have a better clean and healthy living behavior compared to students age 6-9. Similarly, students who had good knowledge had 3,7 opportunities to have a better clean and healthy living behaviors compared to students who lack knowledge. Students with positive attitude had 3.4 opportunities to have a better clean and healthy living behaviors compared to students who had negative attitude towards it.
Read More
S-8653
Depok : FKM-UI, 2015
S1 - Skripsi   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Tri Amelia Rahmitha Helmi; Pembimbing: Tri Yunis Miko Wahyuni; Penguji: Helda, Nani H. Widodo, Hidayat Nuh Ghazali Djadjuli
Abstrak: Kelelahan merupakan efek jangka Panjang COVID-19 dengan proporsi tertinggi yang sering dilaporkan. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan infeksi COVID-19 dengan kelelahan pada populasi umum. Kelelahan diukur menggunakan instrumen MFI20 yang terdiri dari 4 dimensi kelelahan, yaitu kelelahan umum, kelelahan mental, kelelahan fisik, dan motivasi berkurang. Kuesioner daring diberikan kepada 416 orang populasi umum berusia 25-40 tahun dan tidak memiliki riwayat rawat inap karena COVID-19. Kelompok terpapar adalah penyintas 6-12 bulan pasca infeksi dan kelompok tidak terpapar belum pernah terinfeksi COVID-19. Hasil penelitian diketahui prevalensi kelelahan umum adalah 18.8% dan nilai POR interaksi COVID-19 dan penyakit 7.14 (95% CI 1.11-45.87) setelah dikontrol variabel lain; prevalensi kelelahan mental 9.9% dan POR 2.25 (95% CI 1.07-4.73; p value 0.031); prevalensi kelelahan fisik 8.9% dan POR 2.248 (95% CI 1.033-4.896; p value 0.041) setelah dikontrol pekerjaan, IMT, dan riwayat penyakit; serta prevalensi motivasi berkurang 9.9% dan POR 1.24 (95% CI 0.592.58; p value 0.556) setelah dikontrol IMT dan insomnia. Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan infeksi COVID-19 dengan kelelahan umum, kelelahan mental, dan kelelahan fisik pada populasi di Kota Depok. Sehingga perlu adanya tatalaksana terhadap penyintas untuk pencegahan dan pemulihan kelelahan
Read More
T-6412
Depok : FKM-UI, 2022
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Yohani Satya Putri Liman; Pembimbing: Purnawan Junadi; Penguji: Dumilah Ayuningtyas, Pujiyanto, Muhammad Rais Haru, Hidayat Nuh Ghazali Djadjuli
Abstrak:
Filariasis limfatik masih menjadi tantangan kesehatan masyarakat di Indonesia, khususnya di wilayah endemis seperti Kecamatan Membalong, Kabupaten Belitung, yang telah memperoleh sertifikat eliminasi namun, angka mikrofilaria rate di beberapa wilayahnya tetap berada di atas ambang batas nasional. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) filariasis tahun 2023 di Kecamatan Membalong dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan desain studi kasus. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, dan telaah dokumen terhadap pelaksana program di dua Puskesmas serta Dinas Kesehatan. Analisis menggunakan model Donabedian diperkuat dengan pendekatan Indeks Kualitas Kebijakan (IKK) dari LAN, dan model Van Meter dan Van Horn untuk mengevaluasi aspek structure, process, serta output dan outcome berupa dampak. Hasil penelitian pada aspek structure menunjukkan bahwa kebijakan POPM filariasis di Kecamatan Membalong tergolong efektif sebagai dasar pelaksanaan program dan telah memenuhi indikator kualitas kebijakan menurut pendekatan IKK. Strategi pelaksanaan dinilai adaptif, ditunjukkan melalui penyesuaian waktu, pelaksanaan, sweeping serta pelibatan lintas sektor. Namun, terdapat kendala keterbatasan jumlah sumber daya manusia dan pencatatan logistik yang masih manual sehingga menimbulkan potensi risiko. Sarana prasarana dinilai memadai, dan dana kegiatan juga mencukupi kebutuhan, meskipun terdapat perbedaan dalam sistem penganggaran antar Puskesmas. Pada aspek process, Komunikasi dan koordinasi antar pemangku kepentingan sudah berjalan, namun perlu ditingkatkan sebab penting dalam dimensi process IKK yang turut menentukan kualitas implementasi kebijakan pelaksanaan POPM. Pendataan sasaran telah dilakukan secara detail, namun akurasinya masih dipengaruhi oleh mobilitas penduduk. Sosialisasi telah dilaksanakan, namun belum sepenuhnya menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Pemberian obat telah mengikuti petunjuk teknis, namun belum seluruh sasaran hadir dan mengonsumsi obat di pos pelayanan. Sweeping efektif meningkatkan cakupan, namun keterbatasan SDM dan waktu membuat pelaksanaannya belum optimal. Fleksibilitas sweeping menjadi indikator penting dalam proses IKK untuk menilai efektivitas kebijakan. Kejadian ikutan pasca POPM umumnya bersifat ringan dan telah tertangani, tetapi pelaporan dan pemantauan masih bersifat pasif. Monitoring dan evaluasi POPM sudah terstruktur, namun masih terkendala kepatuhan, pelaporan manual, dan kurangnya integrasi. Hal ini menunjukkan perlunya penguatan indikator IKK, terutama dalam aspek efektivitas, efisiensi, dan umpan balik pelaksanaan kebijakan. Dari aspek Output, Cakupan obat di Kecamatan Membalong tinggi, namun prevalensi mikrofilaria masih >1% di beberapa wilayah. Dalam IKK, keberhasilan dinilai dari konsumsi obat yang valid serta dampaknya, bukan hanya capaian angka. Jumlah obat yang digunakan telah sesuai dengan sasaran, tetapi ditemukan selisih antara obat yang didistribusikan dengan yang benar-benar dikonsumsi oleh masyarakat. Hasil survei darah jari menunjukkan angka MF rate di wilayah Puskesmas Simpang Rusa masih di atas 1%. Pada aspek Outcome menunjukkan bahwa POPM filariasis menurunkan kasus namun eliminasi belum tercapai di seluruh kecamatan. Kesimpulan penelitian ini menegaskan bahwa Implementasi POPM filariasis di Kecamatan Membalong didukung kebijakan yang kuat dan strategi adaptif, namun masih terkendala kekurangan SDM, pencatatan logistik manual, dan pemantauan minum obat yang belum optimal. Cakupan pemberian obat tinggi, tetapi eliminasi belum tercapai karena masih ada wilayah dengan MF rate di atas ambang batas. Temuan ini menegaskan perlunya penguatan SDM, sistem pencatatan, dan kolaborasi lintas sektor.  Dalam IKK, hal ini menunjukkan efektivitas kebijakan masih perlu evaluasi dan penyesuaian strategi agar eliminasi filariasis dapat dicapai secara berkelanjutan.

Lymphatic filariasis remains a public health challenge in Indonesia, especially in endemic areas such as Membalong Subdistrict, Belitung Regency, which has received elimination certification; however, the microfilaria rate in several regions still exceeds the national threshold. This study aims to analyze the implementation of the Mass Drug Administration (MDA) program for filariasis prevention in Membalong Subdistrict in 2023 using a qualitative approach and case study design. Data were collected through in-depth interviews and document reviews involving program implementers at two primary health centers (Puskesmas) and the District Health Office. The analysis applied the Donabedian model, reinforced with the Policy Quality Index (IKK) from LAN, and Van Meter and Van Horn’s implementation model to evaluate aspects of structure, process, as well as output and outcome in terms of program impact. The findings on the structural aspect indicate that the filariasis MDA policy in Membalong is effective as the program’s foundation and fulfills policy quality indicators according to the IKK approach. The implementation strategy is considered adaptive, shown by schedule adjustments, door-to-door sweeping, and cross-sectoral involvement. However, challenges remain, such as limited human resources and manual logistic recording, which pose potential risks. Facilities and infrastructure are generally adequate, and funding meets the needs, although there are differences in budgeting systems between health centers. In terms of process, communication and coordination among stakeholders are established, but need strengthening, as these are essential in the IKK process dimension, which also determines the quality of policy implementation. Target population data collection has been conducted in detail, though its accuracy is still affected by population mobility. Socialization activities have been carried out, but have not fully reached all community groups. Medicine distribution has followed technical guidelines, but not all targets have attended and consumed the drugs at service posts. Sweeping has effectively increased coverage, but human resource and time constraints have hindered optimal implementation. The flexibility of sweeping is an important indicator in the IKK process dimension for assessing policy effectiveness. Adverse events after MDA were mostly mild and well managed, but reporting and monitoring remain passive. Monitoring and evaluation are structured but still hampered by compliance issues, manual reporting, and lack of integration. This highlights the need to strengthen IKK indicators, especially in effectiveness, efficiency, and feedback in policy implementation. In terms of output, drug coverage in Membalong is high, but microfilaria prevalence remains above 1% in some areas. According to the IKK, success is measured not just by coverage numbers, but by valid drug consumption and real impact. The number of drugs used matches the target, but discrepancies remain between drugs distributed and those actually consumed. Blood survey results show that the MF rate in the Simpang Rusa health center area is still above 1%. The outcome aspect indicates that the MDA program has reduced cases but elimination has not yet been achieved throughout the subdistrict. The study concludes that MDA implementation in Membalong is supported by strong policy and adaptive strategies, but still faces barriers such as limited human resources, manual logistics recording, and suboptimal drug consumption monitoring. Coverage is high, but elimination has not been achieved, as some areas still have MF rates above the threshold. These findings underscore the need to strengthen human resources, data recording systems, and cross-sector collaboration. According to the IKK, this suggests that policy effectiveness still requires evaluation and strategic adjustment to achieve sustainable filariasis elimination.
Read More
T-7304
Depok : FKM UI, 2025
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Dhea Synthia; Pembimbing: Tri Krianto; Penguji: Syahrizal Syarif, Trisari Anggondowati, Hidayat Nuh Ghazali Djadjuli
Abstrak:
Kepatuhan minum obat antihipertensi menjadi prioritas teratas dalam efektifitas pengobatan penderita hipertensi. Ketidakpatuhan dalam pengobatan berisiko membuat tekanan darah tidak terkontrol. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui determinan kepatuhan minum obat antihipertensi pada penderita hipertensi di Kota Depok. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan populasi penderita hipertensi di Kota Depok dan jumlah sampel sebanyak 185 orang yang diambil menggunakan teknik cluster sampling. Data dikumpulkan dengan cara pengisian kuesioner oleh responden dan dianalisis secara univariat, bivariat, dan multivariat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 54,1% penderita hipertensi di Kota Depok terkategori tidak patuh minum obat antihipertensi. Persepsi individu dan faktor predisposisi yang berhubungan dengan  kepatuhan minum obat antihipertensi diantaranya persepsi kerentanan, keseriusan, manfaat, hambatan, efikasi diri, isyarat untuk bertindak, usia, pengetahuan dan sikap tentang hipertensi dan kepatuhan minum obat antihipertensi. Efikasi diri menjadi faktor paling dominan berhubungan dengan perilaku kepatuhan minum obat antihipertensi (OR:2,63; 95%CI:1,055-6,563) dengan hasil penderita hipertensi yang memiliki efikasi diri rendah berisiko 2,6 kali untuk berperilaku tidak patuh minum obat antihipertensi. Oleh karena itu, perlu adanya pengembangan pelatihan guna meningkatkan efikasi diri penderita hipertensi seperti keterampilan mengelola kesehatan, manajemen stress, dan adanya kelompok pendukung.

Adherence to taking antihypertensive medication is the top priority in the effective treatment of hypertension patients. Non-adherence risks causing uncontrolled blood pressure. This study aims to determine the determinants of adherence to taking antihypertensive medication in patients with hypertension in Depok City. It used a cross-sectional design with a population of hypertensive patients in Depok City and a sample size of 185 people taken using cluster sampling. Data were collected through questionnaires filled out by respondents and analyzed univariately, bivariately, and multivariately. The results showed that 54,1% of hypertensive patients in Depok City were categorized as non-adherent to taking antihypertensive drugs. Individual perceptions and predisposing factors associated with adherence include perceived susceptibility, severity, benefits, barriers, self-efficacy, cues to action, age, knowledge, and attitudes about hypertension. Self-efficacy is the most dominant factor associated with antihypertensive medication adherence behavior (OR: 2,63; 95% CI: 1,055–6,563), with hypertensive patients with low self-efficacy being 2,6 times more likely to exhibit non-adherent behavior. Therefore, it is necessary to develop training to increase self-efficacy in hypertensive patients, such as health management skills, stress management, and support groups.

Read More
T-7227
Depok : FKM UI, 2025
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Yeremia Prawiro Mozart Runtu; Pembimbing: Syahrizal; Penguji: Artha Prabawa, Helda, Jhon Sugiharto, Hidayat Nuh Ghazali Djadjuli
Abstrak:
Eliminasi Tuberkulosis (TB) di Indonesia pada tahun 2030 dapat dicapai dengan cakupan pemberian terapi pencegahan tuberkulosis (TPT) yang optimal. Namun cakupan pemberian TPT Kota Depok sebesar 8,57% dari target 50% di tahun 2023. Penilaian pelayanan TPT dilakukan untuk mengetahui tingkat kepatuhan layanan TPT berdasarkan komponen input dan proses serta mengetahui masalah utama yang menghambat layanan TPT di kota Depok. Penelitian mixed method didahului fase kuantititaif menilai tingkat kepatuhan puskesmas terhadap standar layanan TPT komponen input dan proses melalui kuesioner yang diisi mandiri oleh tim TB puskesmas. Tingkat kepatuhan dikategorikan baik (>81%), cukup (60%-80%), dan kurang (<59%). Lalu diikuti fase kualitatif dengan wawancara mendalam kepada penangungjawab program TB puskesmas. Dari 15 puskesmas, 87% (13) puskesmas tidak mencapai target nasional cakupan pemberian TPT. 60% (9) puskesmas mendapatkan skor cukup pada komponen input dan 27% (4) puskesmas mendapatkan skor cukup pada komponen proses. Tingkat kepatuhan terendah dari komponen input antara lain tidak tersedia logistik TST (85,7%), analis laboratorium dan tenaga farmasi belum dilatih program TPT (85,7%), tidak tersedianya alat TCM TB di dalam Puskesmas (73,3%), tidak tersedia logistik obat TPT untuk 1 tahun (63,7%). Tingkat kepatuhan terendah dari komponen proses adalah penemuan kasus TBC Laten tidak dilakukan dengan menggunakan rontgen dada di dalam Puskesmas (100%) dan tidak adanya kunjungan oleh Dinas Kesehatan untuk bimbinan teknis program TPT (46,7%). Persepsi tenaga kesehatan dianalisis secara tematik menunjukkan bahwa keterbatasan logistik dan tenaga kesehatan yang belum dilatih program TB dan TPT, kegiatan investigasi kontak belum dilakukan pada kasus indeks milik rumah sakit, kurangnya KIE dari tenaga kesehatan kepada keluarga pasien serta kurangnya supervisi dari dinas kesehatan menjadi hambatan layanan TPT di kota Depok. Program TB nasional perlu menetapkan standar layanan TPT. Dinas Kesehatan Kota Depok melakukan pelatihan kepada tim TB puskesmas da monitoring ketersediaan logistik TPT. Puskesmas melakukan edukasi tujuan dan manfaat TPT kepada populasi berisiko.

Elimination of Tuberculosis (TB) in Indonesia by 2030 can be achieved by providing optimal coverage of tuberculosis prevention therapy (TPT). However, the coverage of providing TPT in Depok is 8.57% of the target of 50% in 2023. The TPT service assessment was carried out to determine the level of TPT service compliance based on input and process components and to find out the main problems that hamper TPT services in Depok. This mixed method research was preceded by a quantitative phase assessing the level of compliance of puskesmas with TPT service standards for input and process components through a questionnaire filled out independently by puskesmas TB team. The Level of compliance is categorized as good (>81%), sufficient (60%-80%), and poor (<59%).This was followed by a qualitative phase with in-depth interviews with the person in charge of the puskesmas TB program. Of the 15 puskesmas, 87% (13) of puskesmas did not reach the national target for TPT coverage. 60% (9) puskesmas got a sufficient score on the input component and 27% (4) puskesmas got a sufficient score on the process component. The lowest levels of compliance from input components include unavailability of TST logistics (85.7%), laboratory analysts and pharmaceutical personnel not having been trained in the TPT programs (85.7%), unavailability of TB GenXpert in the puskesmas (73.3% ), no TPT drug logistics available for 1 year (63.7%). The lowest level of compliance with the process components was that latent TB case detection was not carried out using chest x-rays in puskesmas (100%) and there were no visits by the Depok District Health Office for supportive supervision on the TPT program (46.7%), The perception of health workers analyzed thematically shows that limited TPT logistics and health workers who have not been trained in TB and TPT programs, contact investigation activities have not been carried out in index cases belonging to hospitals, lack of IEC from health workers to the patient's family and lack of supervision from the health service are barriers to service TPT in Depok. the national TB program sets TPT services standards. The Depok District Health Office conducted training for puskesmas TB team and monitored the availability of TPT logistics. Puskesmas educates the aims and benefits of TPT to at-risk populations.
Read More
T-7018
Depok : FKM UI, 2024
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Anggiasih Sakanti; Pembimbing: Helda; Penguji: Tri Yunis Miko Wahyono, Mohammad Imran, Hidayat Nuh Ghazali Djadjuli
Abstrak:
Usia keberangkatan jemaah haji yang makin tua menempatkan mayoritas jemaah haji Indonesia dalam kelompok risiko tinggi kesehatan sebelum keberangkatan haji. Salah satu kondisi kesehatan yang memicu penyakit infeksi adalah malnutrisi (status gizi kurang atau gizi lebih). Malnutrisi dapat menurunkan imunitas dan mekanisme pertahanan tubuh terhadap penyakit infeksi seperti pneumonia. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan status gizi dengan kejadian penumonia di Arab Saudi. Desain penelitian kohort retrospektif dengan populasi jemaah haji Indonesia tahun 2023. Sumber data berasal dari Siskohatkes Shar’i Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan. Analisis multivariat menggunakan cox regression. Dari 173.599 jemaah haji proporsi pneumonia di Arab Saudi adalah 2,1%. Setelah dikontrol oleh jenis kelamin dan memperhitungkan variabel interaksi status gizi dan usia serta status gizi dan merokok, risiko jemaah haji dengan status gizi kurang, berusia > 60 tahun dan perokok adalah 6,89 kali (95% CI 4,91 – 8,86) untuk mengalami kejadian pneumonia di Arab Saudi dibandingkan jemaah haji dengan status gizi normal, berusia < 60 tahun dan bukan perokok. Risiko jemaah haji dengan status gizi lebih, berusia > 60 tahun dan perokok adalah 3,94 kali (95% CI 3,03 – 4,85) untuk mengalami kejadian pneumonia di Arab Saudi dibandingkan jemaah haji dengan status gizi normal, berusia < 60 tahun dan bukan perokok.

Due to their advanced age at the time of departure, most Indonesian pilgrims are at high risk for health problems before to the hajj. Malnutrition (under- or over-nourishment) is one of the health disorders that can lead to infectious disease. The body's defenses against infectious diseases like pneumonia might be weakened by malnutrition. Aims to ascertain the correlation between pneumonia incidence and nutritional status. Methods of this study is retrospective cohort with Indonesian hajj pilgrims’ population in 2023. The Ministry of Health's Siskohatkes Shar'i Hajj Health Center is the source of the data. Cox regression is used in analysis. Pneumonia affects 2.1% of the 173,599 pilgrims in Saudi Arabia. The risk of pneumonia incidence in Saudi Arabia is 6.89 times (95% CI 4.91 – 8.86) higher for undernourished pilgrims aged > 60 and smokers than for pilgrims with normal nutritional status, aged < 60, and non-smokers, after adjusting for sex and considering the interaction variables of nutritional status and age as well as nutritional status and smoking. Compared to pilgrims with normal nutritional status, under 60 years of age, and no smoking, the incidence of pneumonia in Saudi Arabia was 3.94 times (95% CI 3.03 – 4.85) higher for overweight, smokers, and older pilgrims
Read More
T-7009
Depok : FKM UI, 2024
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
cover
Fitri Aulia; Pembimbing: Helda; Penguji: Tri Yunis Miko, Hidayat Nuh Ghazali Djadjuli, Galuh Budhi Leksono Adhi
Abstrak:
Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular yang masih menjadi salah satu penyebab utama masalah kesehatan di dunia. Kasus TBC di Indonesia termasuk yang tertinggi kedua setelah India dengan persentase kasus mencapai 8,5%. Data Riskesdas tahun 2018 melaporkan prevalensi TBC Paru di Indonesia sebesar 0,42%. Berdasarkan penelusuran literatur, masih sedikit yang mengkaji mengenai faktor risiko TBC Paru dari berbagai level secara bersamaan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor yang berperan pada level individu dan kelompok secara bersamaan terhadap kejadian TBC Paru di Indonesia menggunakan analisis multilevel. Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan menggabungkan data Riskesdas Tahun 2018 sebagai sumber data untuk variabel level individu dan data BPS tahun 2018 sebagai sumber data untuk variabel level provinsi. Data yang berjumlah 938.389 sampel digunakan sebagai sampel penelitian. Berdasarkan hasil penelitian, variabel yang berperan terhadap kejadian TBC Paru pada level individu adalah usia (POR=4,93; 95% CI: 4,36-5,57), tingkat pendidikan (POR=1,63; 95% CI: 1,49-1,77), riwayat penyakit DM (POR= 3,77; 95% CI: 3,32-4,28), kepadatan penduduk (POR= 3,11; 95% CI: 1,81 - 5,33), kemiskinan (POR= 1,35; 95% CI: 1,07 - 1,71), dan ketersediaan fasyankes (POR= 1,36; 95% CI: 0,98 - 1,89). Selain itu, variabel yang berperan terhadap kejadian TBC Paru pada level provinsi adalah kepadatan penduduk (MOR= 1,41), kemiskinan (MOR= 1,46), dan ketersediaan fasyankes (MOR= 1,45). Berdasarkan besar kontribusi, variabel individu (usia, tingkat pendidikan, dan riwayat DM) secara bersama-sama berkontribusi sebesar 2,4%. Pada variabel konteksual, variabel kepadatan penduduk, kemiskinan, dan ketersediaan berkontribusi masing-masing sebesar 4,1%, 0,5% dan 0,8%. Namun, jika ketiga variabel dimasukkan secara bersama-sama ke dalam model, kontribusinya meningkat menjadi 9,3%.

Tuberculosis (TB) is an infectious disease which is still the main cause of health problems in the world. Indonesia is the second highest country after India with 8.5% of all cases in the world. Riskesdas data in 2018 reported that the prevalence of pulmonary tuberculosis in Indonesia was 0.42%. There have been many studies that have examined the effects of factors contributing to the prevalence of pulmonary TB at individual, environmental, or global level. Based on the results of a literature search, there are still few studies that examine the risk factors for pulmonary tuberculosis from various levels. This study aimed to analyze the factors contributing at the individual and group levels simultaneously on the prevalence of pulmonary TB in Indonesia using multilevel analysis. The study design used was a combination of two study designs (hybrid design)-cross sectional and ecological study designs. This study used secondary data by combining data from two different sources: Riskesdas in 2018 as the data source for individual-level variables and BPS in 2018 as the data source for province-level variables. There were 938.389 samples were used in this study. Based on the result, it is known that the variables that contribute to the incidence of pulmonary tuberculosis at the individual level were age (POR=4.93; 95% CI: 4.36-5.57), level of education (POR=1.63; 95% CI: 1 .49-1.77), history of DM (POR= 3.77; 95% CI: 3.32-4.28), population density (POR= 3.11; 95% CI: 1.81 - 5.33 ), poverty (POR= 1.35; 95% CI: 1.07 - 1.71), and availability of health facilities (POR= 1.36; 95% CI: 0.98 - 1.89). In addition, the variables that contribute to the incidence of pulmonary TB at the provincial level are population density (MOR = 1.41), poverty (MOR = 1.46), and availability of health facilities (MOR = 1.46). = 1.45). Based on the contribution, individual variables (age, education level, and history of DM) together contributed 2.4%. In the contextual variables, population density, poverty and availability contributed respectively 4.1%, 0.5% and 0.8%. However, when these three variables were included in the model together, their contribution increases to 9.3%.
Read More
T-6500
Depok : FKM-UI, 2023
S2 - Tesis   Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
:: Pengguna : Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
Library Automation and Digital Archive