Ditemukan 11775 dokumen yang sesuai dengan query :: Simpan CSV
Penelitian ini membahas Mutu Keramahan Pelayanan Puskesmas Penyengat Olak Kabupaten Muaro Jambi menggunakan Model Gap SERVQUAL di latarbelakangi masih terdapat keluhan pasien terhadap unsur non klinis khususnya perilaku keramahan petugas, meskipun layanan secara keseluruhan dinilai ‘’Baik’’. Menggunakan metode kualitatif dengan desain studi kasus explorative, data didapat dari wawancara mendalam kepada 15 pasien, 14 petugas pelayanan, dan 5 informan manajemen,observasi langsung dan Focus Group Discussion (FGD),serta dilakukan juga triaggulasi sumber dan metode.Temuan penelitian menunjukan masih terdapat kesenjangan (Gap) di lima tahapan Model SERVQUAL, Gap 1, meski manajemen sebenarnya sudah memahami harapan pasien, tetapi cara melihat arti keramahan sedikit berbeda dengan yang diinginkan pasien. Gap 2, manajemen belum mampu menuangkan harapan pasien sepenuhnya ke SOP. Gap 3 pelaksanaan di lapangan belum selalu sama dengan aturan yang ada, terutama diunit tertentu, Gap 4, janji layanan yang sebagaian kecil masih berbeda, Gap 5 sebagain kecil menyampaikan perbedaan antara pelayanan yang diinginkan dengan yang dirasakan terutama di unit tertentu yaitu pendaftran dan informasi. Pasien berharap keramahan lebih pada unsur yang dapat dirasakan secara emosional, dan manusiawi ditandai dengan kecepatan petugas merespon kehadirannya dengan menyapa lebih dulu, dengan ekspresi yang tidak kaku, datar, atau terbebani, berbicara dengan posisi tubuh menghadap ke pasien dan kontak mata secara wajar, jadi terasa akrab, tidak dihalangi aktivitas lain yang tidak terkait dengan pasien.Sementara petugas menilai keramahan lebih pada unsur teknis yaitu dengan ukuran sudah terlaksananya SOP. Unsur Keramahan yang dominan dalam penelitian ini adalah Welcome, Efficiency, Empathy, Acknowledgement, Servitude, dan Safety. Kesimpulan dari penelitian ini, bahwa mutu keramahan di Puskesmas Penyengat Olak dinilai baik oleh sebagian besar pasien, kecuali pada unit tertentu dan masih terdapat celah (Gap) ditiap rangkaian model Gap SERVQUAL, paling krusial di Gap 2, karena mempengaruhi pelaksanaan Gap 3, 4, akibatnya keramahan yang di rasakan pasien masih bergantung pada inisiatif petugas karena belum tersistem. Perlu memperkecil tiap Gap dan memperkuat Gap 2 agar mutu keramahan meningkat secara sistem, sehingga pelaksanaanya dapat lebih konsisiten terukur dan ditingkatkan secara berkesinambungan.
This study discusses the quality of hospitality in the services provided by the Penyengat Olak Community Health Center in Muaro Jambi Regency using the SERVQUAL Gap Model. This study was motivated by the fact that there are still patient complaints about non-clinical elements, particularly the hospitality of staff, even though the overall service is rated as “Good.” Using a qualitative method with an exploratory case study design, data were obtained from in-depth interviews with 15 patients, 14 service staff, and 5 management informants, direct observation, and Focus Group Discussions (FGD), as well as triangulation of sources and methods. The research findings show that there are still gaps in the five stages of the SERVQUAL Model. Gap 1, management actually understands patient expectations, but their interpretation of friendliness differs slightly from what patients want. Gap 2, management has not been able to fully incorporate patient expectations into SOPs. Gap 3, implementation in the field is not always in line with existing regulations, especially in certain units. Gap 4, some service promises are still different. Gap 5, some express differences between the desired service and the perceived service, especially in certain units, namely registration and information. Patients expect hospitality more in terms of emotional and humanness, which is characterized by the speed with which staff respond to their presence by greeting them first, with expressions that are not stiff, flat, or burdened, speaking with their bodies facing the patient and making natural eye contact, so that they feel familiar and are not distracted by other activities unrelated to the patient. Meanwhile, staff assess hospitality more on technical elements, namely the extent to which SOP have been implemented. The dominant elements of hospitality in this study are Welcome, Efficiency, Empathy, Acknowledgement, Servitude, and Safety. The conclusion of this study is that the quality of hospitality at the Penyengat Olak Public Health Center is considered good by most patients, except in certain units, and there are still gaps in each series of the SERVQUAL Gap model, most crucially in Gap 2, because it systematically affects the implementation of Gaps 3 and 4. As a result, the hospitality felt by patients still depends on the initiative of the staff because it is not yet systematic. Therefore, it is necessary to reduce each gap and strengthen Gap 2 so that the quality of hospitality can be improved systematically, so that its implementation can be more consistent, measurable, and continuously improved.
Population, Family Planning and Family Development Program of National Family Planning Coordination Board showed decrease performance since decentralization in 2004 which family planning counselor/family planning filed officer at that time as the frontline of program also included that over to The Regional Government for Regional Device Organizationas as organizer and user. Then, with UU number 23 Year 2014, family planning counselor/family planning filed officer reorganized by National Family Planning Coordination Board and the Regional Organizationas of Family Planning as user hopefully the family pamily program will success as before Factors affecting of performance of family planning counselors are staff focus and process management and the most dominant is staff focus. Recommendation: Maximize efforts to improve the performance of family planning counselors through recruitment and distribution of human resources, education and training, additional funds and facilities, involvement and harmony of staff and targets relations also regular monitoring and evaluation
Keselamatan pasien merupakan hal yang harus ada dalam suatu jasa pelayanan kesehatan rumah sakit dan TKPRS (Tim Keselamatan Pasien) merupakan standar yang ada di rumah sakit di Indonesia sebagai syarat untuk akreditasi rumah sakit.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara pendidikan dan pengetahuan dengan perilaku tenaga kesehatan dalam mendukung keselamatan pasien. Penelitian ini menggunakan disain potong lintang (cross sectional).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan tenaga kesehatan mempunyai hubungan bermakna dengan perilaku dengan p value = 0.0001 dengan OR=45.250 artinya tenaga kesehatan berpendidikan tinggi mempunyai peluang 45.250 kali untuk mendukung perilaku keselamatan pasien dibandingkan pendidikan dibawah SLTA. Pengetahuan tenaga kesehatan mempunyai hubungan bermakna dengan perilaku p value= 0.0001 dengan OR= 75.417 artinya tenaga kesehatan berpengetahuan baik mempunyai peluang 75.471 kali untuk mendukung perilaku keselamatan pasien dibandingkan yang kurang. Dengan diketahuinya hubungan antara pendidikan dan pengetahuan tenaga kesehatan dalam mendukung perilaku keselamatan pasien, peneliti menyarankan : Rumah Sakit hendaknya menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi tenaga ksehatan serta mendukung pendekatan interdisiplin dalam mendukung program keselamatan pasien.
Patient safety is something that must exist in a health service hospital and TKPRS (Patient Safety Team) is a standard that is in the hospital in Indonesia as a requirement for hospital accreditation.
The purpose of this study was to determine the relationship between education and knowledge of the behavior of health personnel in support of patient safety. This study uses cross-sectional design (cross-sectional).
The results showed that health education has a significant correlation with the behavior of the p value = 0.0001 OR = 45 250 health workers educated means having opportunities 45 250 times to support patient safety behavior than education below high school. Knowledge of health workers has a significant relationship with p value = 0.0001 behavior with OR = 75 417 means knowledgeable health professionals 75 471 times better to have the opportunity to support patient safety behavior than less. By knowing the relationship between education and knowledge of health professionals in support of patient safety behavior, researchers advise: Hospitals should provide education and training programs to improve and maintain the competency of ksehatan and support interdisciplinary approaches to support patient safety program.
A B S T R A K Kepuasan dan ketidakpuasan kerja karyawan merupakan aspek penting yang perlu mendapatkan perhatian organisasi dalam upaya peningkatan kemampuan karyawan disuatu organisasi. Apabila kepuasan kerja mereka terpenuhi, maka pekerja cenderung akan memiliki motivasi yang tinggi dalam bekerja, sebaliknya ketidakpuasan kerja akan mengakibatkan tingginya tingkat keluar masuk pekerja (turned over), ketidakhadiran, pemogokan dan tindakan-tindakan lain yang merugikan organisasi. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dilakukan di Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat Daya Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada bulan Januari dan Maret 2008 dengan sampel 53 karyawan untuk mengetahui gambaran tingkat ketidakpuasan kerja karyawan dan faktor-faktor yang berhubungan dengan ketidakpuasan kerja karryawan yang meliputi aspek insentif, kondisi kerja, supervisi, interaksi sesama rekan kerja, prosedur organisasi, kesesuaian pekerjaan dan promosi karier. Pendekatan kuantitatif menggunakan alat ukur kuesioner yang selanjutnya diuji melalui uji kai kuadrat dengan batas kemaknaan alpha 5% (0,05) dan Confindent Interval (CI) 95% serta uji regresi logistik ganda. Sedangkan untuk mengeksplorasi informasi penyebab tertimbulnya ketidakpuasan kerja karyawan dilakukan dengan metode wawancara mendalam terhadap karyawan, Kepala Dinas dan Kepala Sub Dinas sebagai informannya. Dari hasil penelitian diperoleh gambaran tingkat ketidakpuasan kerja karyawan 73,6%, insentif 60.4% tidak adil, kondisi kerja 69,8% tidak mendukung, supervisi 66% kurang baik, interaksi sesama rekan kerja 43,4% tidak mendukung, prosedur organisasi 58,5% tidak mendukung, kesesuaian pekerjaan 64,2% tidak sesuai, promosi karier 50,% tidak adil. Secara statistik menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara insentif (p-value 0,002), kondisi kerja (p-value 0,002), supervisi (p-value 0,049), interaksi sesama rekan kerja (p-value 0,025), prosedur organisasi (p-value 0,003) dan promosi karier (p-value 0,0005) dengan ketidakpuasan kerja karyawan. Sedangkan kesesuaian pekerjaan tidak ada hubungan dengan ketidakpuasan kerja karyawan (p-value 0,336). Analisis multivariat menunjukkan insentif dan kondisi kerja berhubungan secara signifikan dengan ketidakpuasan kerja. Sedangkan supervisi, interaksi sesama rekan kerja, prosedur organisasi, kesesuaian pekerjaan dan promosi karier tidak ada hubungan dengan ketidakpuasan kerja karyawan dan insentif merupakan aspek yang paling dominan mempengaruhi ketidakpuasan kerja karyawan. Untuk itu diharapkan kepada pihak manajemen organisasi supaya menyusun suatu kebijakan atau peraturan tentang sistem pemberian insentif dengan mempertimbangkan beban kerja, tanggung jawab, keterampilan, kemampuan dan prestasi kerja karyawan, mendesain ruangan kerja yang nyaman bagi karyawan, baik aspek temperatur, kebersihan dan penataan ruangan, melakukan supervisi serta bimbingan secara rutin dan terjadwal terhadap pekerjaan karyawan, meningkatan keakraban sesama karyawan melalui program budaya silaturrahmi, menyusun Tupoksi bagi semua bagian serta untuk semua karyawan, menempatkan dan memberikan pekerjaan sesuai pendidikan, ketrampilan dan kemampuan karyawan dan melaksanakan sistem promosi karier yang berdasarkan kejujuran, kemampuan dan kecakapan serta sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) yang berlaku. Daftar bacaan : 38 (1985 – 2008)
A B S T R A C T Satisfaction and unsatisfation of employees on working condition is the important aspect that needs to have an organization in increasing the employees’ ability within the organization. When their satisfaction on working condition has been fulfilled, then the workers inclined to have a high motivation to work. On contrary, unsatisfation raising the worker’s turned over, absenteeism, strike and others that inflicted a loss upon the organization. The research has been done health office district Aceh Barat Daya Province Nanggroe Aceh Darussalam on January and March 2008. This research using cross sectional design qualitative and quantitative approach covered 53 respondents the aim of research is to find out the picture of employees unsatisfation level on their job and factors related to that matter including, incentive aspects, working condition, supervision, workers interaction, the procedures on the organization, job compatibility and career promotion. For quantitative approach, those respondents were interviewed by using questionnaires, examined with chi square for alpha 5% (0,05), confident interval (CI) 95% and double logistic regression. Deep interviewed has been done to employees, head office and heads of sub office as the informant in exploring the causal information of employees unsatisfation. The result of picture obtained 73,6% of employees are unsatisfation, the [1] in incentive is 60,4%, working condition is 69,8% not supportive, supervision is 66%, workers interaction is 43,4% not supportive, organization procedure is 58,5% not supportive, the job compatibilityof is 64,2% the is a significant relationship between incentive (p-value 0,002), working condition (p-value 0,002), supervision (p-value 0,049), workers interaction (p-value 0,025), the procedures of organization (p-value 0,003) and promotion on career (p-value 0,0005) with employee’s unsatisfation while there is no relationship between the compatibility of the job with employees unsatisfation (p-value 0,336). Multivariate analysis shows there is a significant relationship between incentive the job employees unsatisfation. While there is no relationship between supervision, workers interaction, the procedure of the organization, job nature, career promotion with employees satisfaction. The incentive is the most dominant aspects that influencing the employee’s unsatisfation. There for, the management of the organization should arrange the policy or regulation about the system with the consideration on job load, responsibility, skill, ability and the working achievements. The management should design the comfortable working places with the consideration on the temperature, cleanliness and room ordering. Increasing the familiarity among the workers through the program of silaturrahmi’s culture and implementing the career promotion system based on honesty, ability, skill. and in accordance with government regulation that go into effect. References : 38 (1985 – 2008)
ABSTRAK Askesin merupakan salah satu program pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi penduduk miskin dan tidak mampu di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan jaringannya serta pelayanan kesehatan rujukan di rumah sakit pemerintah kelas III. Dari hasil evaluasi pelaksanaan program askeskin pada tahun 2006 rata-rata jumlah cakupan puskesmas di Kabupaten Serang masih rendah apabila dibandingkan dengan target pencapaian Indikator, diketahui bahwa persentase cakupan jaminan pemeliharaan kesehatan gakin dan masyarakat rentan hanya 8,5% (target 14%) dan visit rate hanya 10,59 (target 15%). Sejak dilaksanakannya program Askeskin belum diketahui tingkat kepuasan pasien askeskin terhadap mutu pelayanan puskesmas. Pengukuran kepuasan pasien merupakan salah satu indikator keberhasilan pelaksanaan program dan merupakan elemen penting dalam menyediakan pelayanan yang lebih efisien dan lebih efektif. Dengan cara ini diharapkan ada upaya konkrit yang dapat disarankan kepada pihak pemberi jasa untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat miskin sehingga dapat memenuhi harapan masyarakat yang berpengaruh pada niat berkunjung kembali ke puskesmas. Tingkat kepuasan pasien diukur dengan menggunakan lima dimensi mutu yang dapat digunakan untuk mengukur kepuasan pelanggan, yaitu tangible, reliability, responsiveness, assurance, dan emphaty (Parasuraman et.al, 1990). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien rawat jalan yang menggunakan Askeskin terhadap mutu pelayanan Puskesmas yang dilaksanakan pada akhir bulan Juni sampai Agustus tahun 2007 di 38 Puskesmas se-Kabupaten Serang dengan jumlah sampel 676 orang dengan menggunakan metode analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. Hasil Penelitian didapat tingkat kepuasan berdasarkan lima dimensi mutu bahwa masing-masing dimensi tangible, reliability, responsiveness, assurance dan empahty sudah diatas 50% dan dari kelima dimensi tersebut paling besar pada dimensi assurance. Kepuasan umum pasien sebesar 72,8% dengan niat berkunjung kembali sebesar 83%. Variabel karakteristik pasien yang paling dominan berpengaruh adalah status pendidikan, status pekerjaan dan status perkawinan, sedangkan variabel lainnya sebagai variabel confounding. Hasil Importance Performance Analysis didapat beberapa faktor yang menjadi prioritas utama yang harus diperhatikan dan perbaiki yaitu, waktu tunggu pemeriksaan cepat, petugas terampil dalam bekerja dan petugas mengerti yang dibutuhkan pasien. Dalam rangka memperbaiki mutu pelayanan tersebut disarankan bagi puskesmas agar memberikan pelayanan dengan terampil, membuat alur proses pelayanan, meningkatkan pengetahuan petugas puskesmas dan membuka waktu pelayanan puskesmas pada sore hari, melakukan ‘ghost shopping’ untuk melihat tingkat kepuasan pasien dan memantau kinerja pemberi pelayanan serta membentuk tim pengendali mutu dan diharapkan dinas kesehatan agar senantiasa membuat kebijakan yang mendukung upaya peningkatan mutu pelayanan di puskesmas. Daftar Pustaka: 78 (1980 – 2007).
ABSTRACT Askeskin is one of government programs in providing free health service for poor and not wealthy people in Public Health Center (Puskesmas) and the network and health service reference in government hospital III rd class. From evaluation result of askeskin program implementation in 2006 the average of puskesmas coverage in Serang Regency still low if compared to target of achievement indicator, known that coverage percentage of gakin health maintenance guarantee and susceptible people only 8,5% (target 14%) and visit rate only 10,59 (target 15%). Since Askeskin program conducted the askeskin satisfaction level toward puskesmas service quality was not yet known. Patient satisfaction measurement is one of the success indicators for program implementation and an important element in providing a more efficient and effective service. By this way, expected concrete efforts that could suggested for service giver to improve poor people health service that fulfilled people expectation, which affecting re-visit intention to puskesmas. Patient satisfaction level measured by using five dimensions quality that could be use for measuring client satisfactory, which are tangible, reliability, responsiveness, assurance, and empathy (Parasuraman et.al, 1990). This research aim was identifying outpatient satisfaction level that conducted in the end of June to August year 2007 in 38 Puskesmas of all Serang Regency with samples of 676 people by using analytical method with cross sectional research design. From research result, obtained satisfaction level that based on five dimensions quality, which are tangible, reliability, responsiveness, assurance, and empathy was over 50% and from those five dimensions, the largest was assurance dimension. General patient satisfactions as much as 72.8% with re-visit intention as much as 83%. The most dominant affecting patient characteristic variable are education status, working status and marriage status, while other variables as confounding variables. From result of Importance Performance Analysis obtained several factors that become main priority need to be paid attention and fixed, which are quick waiting duration for examination, skillful officer in working and officer understand patient needs. In order to fix those services quality, suggested for puskesmas to provide service that competent, making service plot processes, improving puskesmas officer knowledge and opening puskesmas service time at afternoon, conducting “ghost shopping” to identify patient satisfaction level and monitoring service giver performance, forming quality control, and expecting health agency always form policy that support service quality improvement efforts in puskesmas. References: 78 (1980 – 2007)
